Sejak zaman dahulu, batik telah menjadi bagian penting dalam siklus kehidupan masyarakat Nusantara. Motif-motifnya memiliki makna filosofis yang mendalam, mencerminkan falsafah hidup yang berakar pada konsep visualisasi jagat raya. Dalam tradisi Jawa yang dikenal dengan berbagai upacara, wastra batik masih menjadi komponen utama yang tak tergantikan. Hal ini terungkap dalam talkshow berseri: Menyingkap Pesona Wastra Indonesia, sesi ke-4; bertema Batik dan Alur Kehidupan, di Auditorium M. Jusuf Ronodipuro, RRI Jakarta, 27 Juli 2024 lalu.
Talkshow ini diikuti 70 peserta yang hadir secara langsung di RRI, dan 17 peserta online. Sebanyak 27 orang berasal dari luar komunitas Pusaka Indonesia. Ini menunjukkan semakin meluasnya jangkauan acara ini dibandingkan dengan talkshow sebelumnya. Acara dibuka dengan sambutan oleh Sekretaris Jenderal Pusaka Indonesia, Nyoman Suwartha. Beliau menyampaikan bahwa batik adalah salah satu warisan budaya yang agung dan luhur. Beliau juga menekankan bahwa Pusaka Indonesia kini mulai mengadakan pelatihan pembuatan batik, dengan harapan ke depannya akan semakin memperluas jangkauan dalam mewujudkan konsep “hening, beraksi, dan mencipta mahakarya”.
Batik dan Upacara dalam Kehidupan

Sri Sintasari Iskandar
Sri Sintasari Iskandar, yang akrab dipanggil Neneng, selaku narasumber, didampingi Benny Gratha, menjelaskan bahwa tema “Batik dan Alur Kehidupan Masyarakat Jawa” merujuk khusus pada daerah Yogyakarta dan Solo. Beliau menguraikan bagaimana batik digunakan dalam berbagai fase kehidupan seseorang, mulai dari masa kehamilan seorang ibu hingga kematian seseorang.
Misalnya, dalam upacara mitoni atau tingkeban (upacara syukuran tujuh bulan kehamilan), suami memakai batik motif Sido Mukti. “Sido” berarti harapan, melambangkan harapan baik di masa depan. Seusai siraman, istri atau calon ibu akan berganti kain batik sebanyak tujuh kali dengan motif yang berbeda, antara laini:
- Wahyu Kinasih dan Wahyu Tumurun berlatar putih, melambangkan harapan datangnya berkah dan kasih dari Tuhan.
- Udan Liris, berarti hujan gerimis, melambangkan kesuburan.
- Truntum, menyiratkan cinta kasih dan kebaikan yang beruntun.
- Sido Mulyo, merupakan harapan akan kemuliaan hidup.
- Sido Drajat, melambangkan harapan hidup berderajat tinggi dan baik.
- Sido Mukti, melambangkan harapan kehidupan mulia dan bahagia.
- Lurik Tumbar Pecah, melambangkan harapan akan kelahiran yang lancar dan selamat.
Neneng juga menjelaskan penggunaan motif batik dalam berbagai upacara lainnya, seperti motif kain batik yang digunakan sebagai alas saat seorang ibu melahirkan, motif batik untuk menggendong kendil berisi ari-ari, hingga motif kain batik yang digunakan pada upacara terapan saat anak perempuan mendapatkan menstruasi pertama, serta motif yang digunakan dalam prosesi lamaran, akad nikah, hingga penutup jenazah.
Kesan dan Refleksi Peserta
Lisa Dewi, salah satu peserta, mengungkapkan kesannya, “Kesan saya sangat positif. Bukan hanya mendengar sharing Bu Neneng, tetapi juga berbagi, menjalin koneksi dengan sesama pecinta wastra, itu membuat saya sangat senang,” ujar pegiat wastra untuk almamater sekolahnya, Sanur Wastra.
Sementara itu, Ficky Yusrini, kader Pusaka Indonesia, menyampaikan, “Saya tidak pernah absen mengikuti kelas wastra ini karena menurut saya, kedua narasumber, yaitu Sri Sintasari (Neneng) Iskandar dan Benny Gratha, adalah pakar yang sangat menguasai wastra. Banyak hal baru yang saya dapatkan dari penjelasan mereka.” Ia menambahkan, setelah sesi, ia menjadi lebih memahami filosofi batik yang menyatu dengan kehidupan manusia. “Di situ ada simbol doa, harapan, dan filosofi, yang semuanya adalah informasi baru bagi saya. Semakin takjub dengan kedalaman dan keluhuran batik yang terkait dengan budaya. Insight ini, entah kenapa, justru memunculkan kegelisahan buat saya. Gelisah, karena mengapa ilmu sepenting ini tidak saya dapatkan dari sekolah atau dari lingkungan? Gelisah, karena saya yang lahir di kota pusat tradisi dan sejarah batik, malah tidak tahu apa-apa tentang batik. Gelisah, karena sepertinya tidak ada lagi yang peduli dengan warisan budaya yang luhur ini,” ujarnya. Meskipun demikian, acara ini juga membuatnya optimis dan semakin mencintai kekayaan tradisi bangsa ini.

Foto bersama Peserta Wastra Batik dan Alur Kehidupan
Setelah sesi, acara ditutup dengan pemilihan busana terbaik. Terpilih sebagai pemenang adalah Indra Tjahjani, yang mengenakan motif kain batik dari Indramayu, yang memiliki makna filosofis tentang kehidupan yang berkelanjutan. Indra, yang sejak tahun 2000 aktif mengajak mahasiswanya untuk mencintai wastra Nusantara, juga berkegiatan di Griya Peni dan Bekasi Berkain. Pemenang lainnya adalah Wiwiek Rahayu, yang mengenakan kain batik dengan motif gedegan, anyaman bambu. Turut hadir meramaikan acara ini adalah Nanang Sharna, desainer fashion dan seniman batik asal Pengging, Solo, yang pernah mendesain batik untuk Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan. Beliau juga piawai memasak, dan pada sesi wastra lalu, beliau menyajikan beberapa olahan makanan berbahan dasar sorgum untuk peserta yang hadir.
Wendy B.S
Kader Pusaka Indonesia Wilayah DKI Jakarta-Banten