“Banyaknya masalah di negeri ini yang membuat bangsa ini terpuruk di masa sekarang, tidak datang dengan tiba-tiba. Mereka, para penjajah, telah memikirkannya, sehingga kita lupa apa sesungguhnya makna merdeka? Apa makna kedaulatan? Apa makna Pancasila? Bhinneka tunggal ika?” Refleksi ini disampaikan oleh Prof. Yudhie Haryono, Direktur Eksekutif Nusantara Centre, dalam orasi pembukanya di acara Pagelaran Pancasila Sakti yang bertempat di Auditorium RRI Jakarta. Mengambil momen Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2023, pagelaran yang diinisiasi tiga lembaga, yakni Pusaka Indonesia, Persaudaraan Matahari, dan Nusantara Centre ini mengusung tema “Menyalakan Api Pancasila di Sanubari Bangsa Indonesia.”
Prof. Yudhie juga menghentakkan kesadaran dengan pemaparan tentang penjajahan yang sudah berlangsung sejak 500 tahun silam, dan terus terjadi dalam bentuk yang berbeda di masa sekarang. “Kita mengalami apa yang disebut darurat nasional!” Satu-satunya cara untuk mengembalikan kewibawaan Indonesia, menurut Prof. Yudhie, adalah dengan mengembangkan kesadaran Pancasila.

Prof. Yudhie – Sumpah Nusantara
Masih dengan semangat menggelorakan kesadaran Pancasila, Prof. Yudhie mengajak semua yang hadir mengucapkan Sumpah Nusantara, yang berbunyi:
Sumpah Nusantara
Kepada Semesta kami bersumpah
Terus menerus menjadi agensi Pancasila
Kepada Nusantara kami bersumpah
Terus menerus melawan penjajahan lokal, nasional, maupun internasional
Kepada Indonesia kami bersumpah
Kami wakafkan jiwa raga kami untuk terus memimpin dan memastikan Indonesia menjadi raya, jaya, sekaligus ultima di dunia
Pentingnya membangkitkan kesadaran Pancasila juga disampaikan Ketua Umum Pusaka Indonesia dan Pendiri Persaudaraan Matahari, Setyo Hajar Dewantoro (Mas Guru SHD), dalam orasi budaya. “Bahwa kita sesungguhnya adalah bangsa yang agung. Di dalam DNA kita, ada rekaman keagungan dari bangsa Nusantara silam, Nusantara purba. Itulah yang hendak kita bangkitkan pada kesempatan kali ini. Kesadaran bahwa kita pernah menjadi bangsa yang jaya.”
Mas Guru SHD yang membuka pagelaran ini lewat persembahan tarian Wilwatikta Binangkit, yang artinya adalah kebangkitan kembali Majapahit, menjelaskan kenapa tema ini diusung. “Jika kita merujuk kepada sejarah perjalanan bangsa kita. Satu fase yang paling akhir, di mana kita menjadi sebuah imperium besar, sebuah kerajaan yang agung, adalah ketika kita menjadi Majapahit, sebagai kelanjutan dari Sriwijaya, Mataram Kuno, Kalingga, dan seterusnya. Kita punya harapan bahwa di masa kita menjadi negara kesatuan Republik Indonesia, keagungan dan kebangkitan ini kita bisa jayakan kembali. Kita punya visi, bersama-sama, kita menjadi bangsa yang betul-betul hidup di dalam kesadaran yang luhur. Menjadi sebuah negeri yang surgawi.”
Untuk itu, kuncinya adalah dengan menjadi bangsa spiritual. “Inilah pilar kebudayaan yang pertama, yang kemudian dirumuskan di dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa. Kita berketuhanan dengan cara yang universal. Kita tidak tersekat oleh agama. Kita mengayomi semuanya. Memahami bahwa semua orang berproses, semua orang berevolusi. Tapi kita berpegang pada satu hal. Kita menyadari, kita bersumber kepada Tuhan yang sama. Kita sama-sama menghirup juga udara yang sama. Kita berpijak di tanah suci yang sama. Kita meminum air suci yang sama.”

Sendratari Amukti Palapa
Puncak acara pagelaran adalah pementasan Sendratari Amukti Palapa yang dimainkan oleh para kader Pusaka Indonesia yang datang dari berbagai kota. Kerja kolaborasi kolosal yang menghadirkan tari-tarian dan permainan tradisional, teaterikal, komedi, serta kidungan, berlatar Majapahit. Mengisahkan, Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Patih Gajah Mada dalam menjaga kedaulatan kerajaan Majapahit. Ratu Tribhuwana digambarkan sebagai sosok yang anggun, berwibawa, bijaksana, dan tegas terhadap para pejabatnya yang menyimpang serta terhadap bangsa asing yang berniat menjajah. Ratu juga sosok pemimpin yang setia pada tuntunan Hingsun. Begitupun Gajah Mada, dimunculkan sebagai sosok ksatria pemberani berhati murni yang menjadi teladan bagi para ksatria lainnya. Di penghujung pagelaran, diceritakan bahwa Majapahit merupakan cikal bakal negeri ini, telah disarikan keluhurannya dalam Pancasila.
Pagelaran ditutup dengan dinyanyikannya lagu Sabda Nusantara dan Bangkit oleh Genta Mahakarya Band, sambil bersama-sama menyenandungkan:
“Bangkitlah para ksatria..
Mengikuti rasa jadi mandala..
Bergerak maju dalam karya..
Menuju Indonesia raya jaya…”
Selain pagelaran, di area pintu masuk auditorium juga digelar bazar produk-produk pilihan dari Pasar Gemah Ripah, dari snack, minuman, makanan, perawatan tubuh, hingga busana ecoprint. Ada pula display pameran rempah Nusantara oleh Warisan Otentik dan hasil pangan organik ala Sigma Farming.

Pasar Gemah Ripah
Salah seorang penonton, Ratna Hayati, menyampaikan kesannya selama mengikuti pagelaran. “Selama ini, kita nyaris tanpa sadar masih dijajah tapi secara halus dan sistematis. Kita lebih suka kulit yang putih mulus bak bintang drakor karena itu produk kecantikan yang menjanjikan kulit lebih cerah bersinar sangat laris. Kita tidak suka dengan sawo matangnya kulit khas Nusantara, hidung mancung dianggap lebih cantik, mata lebar, tubuh ramping, tarian dan makanan dari luar, busana dengan gaya bak bintang luar. Padahal kita punya kebudayaan, bahasa, wastra yang tak kalah mengagumkan,” ungkapnya.
Acara yang terbuka untuk umum ini juga dihadiri beberapa tokoh publik dari kalangan militer, akademisi, keagamaan, dan sosial, antara lain, Mayjen Danang Hadiwibowo, Sri Eko Sriyanto Galgendu, KRAy Intan Dewi Rumbinang, DR Datep Purwa, Kun Wardana Abyoto, PhD, Prof Syamsul Hadi, DR Ali Sujoko (BKKBN), Kombes Pol. Nurul Azizah (Divisi Humas Polri), dan beberapa nama lain, yang ikut menonton hingga selesai pagelaran.