Skip to main content

Dahulu kala, di tanah Majapahit yang maju dan damai, terdapat sebuah desa yang sedang menghadapi masalah lingkungan. Sungainya kotor, dan lama-kelamaan, air bersih semakin susah didapat. Satu per satu efek buruk pun bermunculan. Puncaknya, petani susah mendapatkan air bersih  untuk mengairi lahan mereka, hingga akhirnya terjadi gagal panen. Selidik demi selidik, ternyata ‘bencana’ ini ada hubungannya dengan turunnya kesadaran warga. Mereka tidak sadar telah berperilaku buruk dan merusak alam, seperti, membuang sampah sembarangan dan mengotori sungai. Di sisi lain, hidup tuan tanah yang serakah dan menebangi pohon demi keuntungan pribadi. 

Begitulah, tema yang diangkat oleh Pusaka Indonesia Wilayah Jawa Barat, dalam salah satu segmen pementasan Drama Musikal Amukti Palapa, yang akan dipentaskan, 1 Oktober 2023 nanti. Drama, dialog, musik, kostum, hingga properti yang menggambarkan alam Tanah Pasundan di masa Majapahit, sedang dipersiapkan dengan baik oleh para kader Pusaka Jawa Barat, yang dimotori oleh Koordinator Seni Budaya Wilayah Jawa Barat, Ine Redjamat.  

Ide untuk mengangkat kondisi krisis air dan pentingnya menjaga kelestarian air, sudah ada sejak awal, sebelum menjadi segmen dari Drama Majapahit. Terinspirasi dari tradisi Kawin Cai, yang berasal dari beberapa tempat di Kabupaten Kuningan, yang masih berlangsung hingga saat ini. Kawin Cai adalah festival perayaan sebagai bentuk rasa syukur atas pentingnya air. Biasanya diisi dengan tarian, iringan musik dari instrumen karinding (yang biasa dipakai petani), dan pertunjukan seni lainnya. 

Sejak dulu, Jawa Barat punya tradisi pelestarian air, seperti parahyangan, sistem irigasi tradisional dan pranata mangsa (penanggalan untuk aktivitas pertanian), bukti bahwa leluhur kita sangat menghargai air. Teknologi kearifan lokal yang menarik untuk dipelajari generasi sekarang. 

Selama beberapa waktu, tim Jawa Barat sempat bolak-balik bongkar dan mencari-cari bentuk pertunjukan yang pas, namun tetap dengan ide utama yang sama: pemuliaan air. Beberapa dari kader, misalnya, mencoba memainkan karinding untuk ditampilkan. Karinding terbuat dari bambu, yang cara memainkannya disentil oleh ujung telunjuk sambil ditempel di bibir. Ada juga yang sudah menyiapkan tarian bertema air. Hingga akhirnya disepakati, menjadi sebuah konsep teaterikal, yang menjadi bagian dari drama kolosal Majapahit, untuk siap ditampilkan di Pagelaran 1 Oktober nanti. 

Sebuah pesan yang cukup kontekstual, mengingat sekarang kita menghadapi musim kering yang panjang, sungai yang kotor, sumber air yang semakin menghilang, dan potensi kelangkaan air mengancam beberapa daerah di negeri kita. 

Nantikan kejutan dari tim Pusaka Indonesia Wilayah Jawa Barat.  

 

Ficky Yusrini

Kader Pusaka Indonesia Jawa Barat