Isu lingkungan hidup bukan lagi hanya menjadi tanggung jawab aktivis atau pemerhati alam, tetapi menjadi panggilan bersama, termasuk bagi para seniman dan komunitas masyarakat. Hal ini pula yang menjadi pelajaran berharga bagi Pusaka Indonesia Wilayah Yogyakarta saat mengunjungi Pameran Seni Visual “Napak Teles” yang berlangsung pada 2–7 Mei 2025 di Jogja Gallery. Pameran ini diselenggarakan oleh Stekpohon Collective, kelompok mahasiswa Program Studi S1-Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, sebagai bentuk kontribusi seni terhadap isu pelestarian air dan lingkungan.
Bagi para pengurus dan kader Pusaka Indonesia Yogyakarta, kunjungan ke pameran ini bukan sekadar hadir sebagai tamu, tetapi menjadi momen belajar dan refleksi bersama. Melalui karya-karya seni yang ditampilkan, kami mendapatkan wawasan baru bahwa kepedulian terhadap bumi dapat diwujudkan melalui beragam bentuk ekspresi, termasuk seni visual.
Napak Teles, Menyadari Air sebagai Sumber Kehidupan
Dengan mengusung tema air, pameran ini menghadirkan 30 karya dari 16 seniman dan 7 komunitas yang mengeksplorasi makna air dalam kehidupan manusia, baik secara ekologis, spiritual, maupun budaya. Judul “Napak Teles” merupakan plesetan dari “Napak Tilas”, yang diartikan sebagai perjalanan untuk menilik masa lalu dan menemukan kembali nilai-nilai yang memengaruhi kehidupan hari ini. Kurator pameran, Agustinus Enrico, mengajak pengunjung untuk menyadari bahwa air bukan sekadar sumber daya alam, melainkan juga bagian dari identitas budaya dan spiritual masyarakat, terutama di Jawa, yang secara turun-temurun menghormati sumber air melalui kearifan lokal.
Hal ini menjadi titik perenungan bagi komunitas Pusaka Indonesia, yang selama ini juga berjuang merawat lingkungan melalui pendekatan budaya dan spiritual. Beberapa karya bahkan mengangkat inisiatif lokal seperti penggunaan daur ulang dalam pembuatan wayang dan gamelan, hingga dokumentasi pembuatan komposter dan penampungan air hujan oleh komunitas masyarakat. Para kader merasa dikuatkan bahwa apa yang telah dilakukan di Pusaka Indonesia, meski dalam skala kecil, sejalan dengan semangat para seniman yang berpartisipasi dalam pameran ini.

Sistem Penampungan Air Hujan
Refleksi Kader: Setiap Orang Bisa Menjadi “Seniman Bumi”
Bagi Robertus Suprobo Jati, Ketua Wilayah Pusaka Indonesia Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pameran ini menyadarkan bahwa perjuangan merawat bumi bukan hanya milik segelintir orang, melainkan tugas bersama. “Selama ini, isu keselamatan lingkungan seolah hanya digaungkan oleh orang-orang yang ‘turah wektu’ (punya waktu luang). Padahal, kita semua bisa terlibat. Kita bisa menghasilkan karya seni berupa indahnya tanah yang pulih, munculnya tunas-tunas buah yang sehat, air yang mengalir jernih di sungai-sungai. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menciptakan mahakarya, jangan biarkan para seniman ini meneriakkan pepesan kosong. Kita bisa jadi seniman bumi dengan kuas berupa cangkul dan sabit, dan bumi sebagai kanvasnya,” ujar Probo. Ia terinspirasi oleh karya-karya yang menampilkan bukan hanya keprihatinan, tetapi juga harapan dan solusi yang bisa diwujudkan melalui tindakan nyata.
Sementara itu, Tutik Wijayanti, Bendahara Wilayah Pusaka Indonesia DI Yogyakarta, mengaku bahwa ini adalah pengalaman pertamanya mengunjungi pameran seni, dan ia terkesan bahwa isu lingkungan bisa divisualisasikan dengan cara yang indah dan menyentuh. “Saya jadi sadar, bahwa apa yang dilakukan Pusaka Indonesia—seperti memilah sampah dan mengurangi limbah rumah tangga—walau sederhana, ternyata bermakna. Saya belum bisa zero waste, tapi saya sudah mulai. Dan itu bukan hal kecil,” ungkap Tutik.
Pameran Napak Teles menjadi pengingat bahwa seni dapat menjadi media yang kuat untuk membangun kesadaran ekologis. Kunjungan ini memberi semangat baru bagi kader Pusaka Indonesia Yogyakarta untuk terus melanjutkan upaya pelestarian lingkungan dengan pendekatan yang kreatif dan membumi.
Melalui refleksi dari pengalaman ini, kami yakin bahwa mewujudkan Indonesia Surgawi bisa dimulai dari langkah kecil: dari rumah, dari kampung, dan dari semangat untuk terus belajar dan berkolaborasi. Seni bukan hanya milik seniman, tetapi milik siapa saja yang mencintai bumi dan berani bertindak demi masa depan yang lebih lestari. Melalui kreativitas, kita bisa mengedukasi dan membuka kesadaran masyarakat akan pentingnya merawat Bumi sebagaimana yang telah sering disampaikan juga dalam kegiatan-kegiatan seni budaya di Pusaka Indonesia.
Wening Fikriyati, Tutik Wijayanti, Robertus Suprobo Jati, Prapti Alpandi
Kader Pusaka Wilayah Yogyakarta