Museum Bahari, salah satu museum yang harus dikunjungi di Jakarta. Ini cerita kami saat mengunjunginya untuk pertama kali.
Jauh sebelum bangunan ini dijadikan sebagai museum, bangunan Museum Bahari digunakan sebagai gudang penyimpanan rempah-rempah, kopi, teh, tembaga, timah, dan tekstil oleh VOC pada masa penjajahan Belanda. Fungsi bangunan ini berganti pada masa penjajahan Jepang, yaitu sebagai tempat penyimpanan barang logistik tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini digunakan sebagai gudang oleh PTT (Post Telkom Telegram) dan PLN, sampai akhirnya, bangunan ini diresmikan sebagai Museum Bahari pada tanggal 7 Juli 1977.
Saat kami ke Museum Bahari, pada 24 Februari 2024, hujan turun sehari sebelumnya sehingga menimbulkan hawa lembab dan dingin. Pengunjung saat itu cukup ramai dikarenakan weekend. Ketika melihat bangunan Museum Bahari dari luar, awalnya kami merasa sedikit takut dikarenakan bangunannya yang sudah tua dan terlihat seram, namun ketika masuk ke dalam, kami merasakan hal sebaliknya. Di bagian tengah museum tersebut terdapat taman kecil yang dipenuhi dengan pepohonan rindang yang memanjakan mata. Terdapat pula beberapa meja dan kursi untuk beristirahat ketika lelah berkeliling museum.
Museum Bahari juga sangat cocok untuk berfoto-foto karena memiliki vibes yang sangat estetik dan vintage. Ruangan ruangan di Museum Bahari pun sangat memanjakan mata dengan koleksi-koleksinya yang menakjubkan. Terdapat beberapa miniatur kapal, lukisan, bahkan kapal asli. Ruangan ‘perahu asli’ yang berisi banyak kapal adalah spot yang menurut salah satu tour guide adalah ruangan paling diminati pengunjung. Uniknya, pada dinding ruangan tersebut terdapat garam laut yang menempel karena pernah tenggelam oleh air laut.

Latihan wawancara di Kelas Jurnalisme Pusaka
Saat menaiki sebuah tangga dari ruangan ‘perahu asli’ (Gedung C), kami menemukan ‘Ruangan Memorial’. Ruangan ini membahas tentang Museum Bahari yang pernah terbakar karena korsleting listrik pada tahun 2018. Kayu-kayu yang digunakan untuk menopang bangunan tersebut adalah kayu ulin yang mempunyai sifat sulit untuk dipadamkan. Terdapat koleksi puing kayu ulin bekas kebakaran dan seragam pemadam kebakaran.
Dari ‘Ruangan memorial’, kami berjalan melewati ‘Jembatan Si Manis’ untuk memasuki ruangan yang berisi diorama tokoh-tokoh bersejarah. Kebanyakan dari tokoh-tokoh tersebut adalah para pedagang atau penjelajah yang mendatangi Indonesia untuk membeli rempah-rempah, sesuatu yang saat itu dijuluki sebagai ‘Emas Nusantara’. Terdapat ruangan rempah tempat kami bisa merasakan aroma khas rempah-rempah khas Indonesia.
Kesan
Sebagai sekelompok orang yang baru pertama kali berkunjung ke Museum Bahari, tentunya kami memiliki banyak pendapat, kesan, dan perasaan mengenai Museum Bahari ini. Berikut ini kesan pertama kami:
Aya Kasyfa Yasmin
“Kagum dan terinspirasi oleh keindahan serta kekayaan sejarah maritim Indonesia, serta pentingnya menjaga dan merawatnya untuk generasi mendatag. Saya terkesan oleh koleksi artefak yang dipamerkan dan pemahaman yang lebih dalam tentang peran laut dalam sejarah dan budaya Indonesia.
Felicity Naila Dewita
“Kegiatan di Museum Bahari Jakarta ini seru karena baru pertama kali dan jadi punya pengetahuan baru tentang sejarah di Indonesia.”
Pudak Wangi Harimurti
“Waktu pertama sampai, jujur saya merasa sedikit takut karena terlihat bangunannya sudah tua, namun saya menepis rasa tersebut karena mungkin itu hanya perasaan saya saja yang penakut. Setelah berkeliling, saya sangat kagum dengan lukisan Batavia di ruang koleksi, lukisan tersebut menggambarkan masa dulu. Selain itu, baru ngeh ternyata di Museum Bahari dindingnya terdapat garam laut yang menurut saya itu sangat unik. Kemudian terdapat beberapa kapal berbentuk unik yang baru pertama kali saya lihat bentuknya. Terdapat pula ruangan kecil berisi bermacam macam rempah. Saya bisa pegang dan menciumnya harumnya, pengalaman yang sangat unik untuk saya yang jarang ke dapur. Terakhir, di tengah museum tersebut terdapat open space yang terdiri dari taman kecil dan tempat duduk untuk beristirahat. Overall, saya sangat senang ke Museum Bahari karena menambah wawasan tentang sejarah Indonesia.”
Maria Agatha Sara Suati
“Sebelum saya mengunjunginya, saya berpikir bahwa museum ini mungkin akan tidak akan menarik perhatian saya. Namun saya salah besar. Begitu memasuki museum, saya disambut aroma khas laut yang dapat terhirup oleh saya. Mungkin karena lokasi museumnya yang dekat dengan laut. Kami dibimbing oleh seorang tour guide yang rentang usianya tidak jauh dari usia saya, jadi saya merasa seperti apa pun yang ada di museum tersebut dijelaskan oleh teman atau kakak kelas saya sendiri. Saya mendengar kisah-kisah yang menarik, unik, sedih, dan ironis. Dari kisah-kisah kapal Phinisi sampai kedatangan Cornelis de Houtman yang rakyat saat itu tidak sangka bahwa kedatangan bangsa Eropa untuk membeli rempah-rempah akan berakhir menjadi sebuah penjajahan. Ini membuat saya merasa sedih sekaligus kagum akan Bangsa Indonesia yang telah berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Seandainya Museum Bahari adalah seorang manusia, saya ingin berjabat tangan dan berterima kasih padanya karena telah menyadarkan saya tentang sejarah yang tidak pernah boleh kita lupakan, juga sekaligus pentingnya laut untuk kehidupan manusia hingga saat ini.”
Penulis: Aya Kasyfa Yasmin, Felicity Naila Dewita, Pudak Wangi Harimurti, Maria Agatha Sara Suati.
Tulisan tersebut dihasilkan dari Kelas Menulis Jurnalisme Pusaka untuk Remaja Se-Jabodetabek yang diselenggarakan oleh Pusaka Indonesia pada 18 dan 24 Februari 2024 di Museum Bahari, Jakarta.