Skip to main content

Batik sudah menjadi busana yang tidak terpisahkan dalam keseharian masyarakat Indonesia. Dari dulu, kita sudah familiar dengan seragam batik.  Begitupun para aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai kantoran, punya jadwal hari kerja tertentu untuk menggunakan batik. Di acara formal, kondangan, bahkan tidur pun, daster batik kerap menjadi busana pilihan. Batik selalu indah dan nyaman digunakan dalam berbagai kesempatan.

Batik adalah kain bergambar yang ragam hiasnya dibuat secara khusus dengan menggunakan malam sebagai bahan perintang warna, sehingga zat warna tidak dapat mengenai bahan kain yang tertutup malam saat pencelupan. Canting digunakan untuk membubuhkan malam ke atas kain, sebuah alat kecil menyerupai mangkuk berujung pipa dari tembaga, yang diberi gagang kayu atau bambu.

Batik pertama kali disebutkan dalam sastra Jawa abad ke-12. Suatu kain berwarna yang disebut sebagai “tulis warna” atau randi tinulis. Motif batik kawung ditemukan pada Arca Mahakala dari candi di Singasari, Jawa Timur, diduga berasal dari tahun 1275 – 1300. Pola batik juga ditemukan pada relief batu di Candi Prambanan.

Selain sebagai produk seni budaya, banyak ahli memperkirakan sejarah batik di Nusantara bisa ditarik lebih jauh lagi, merupakan hasil karya perpaduan antara seni dan teknologi leluhur bangsa Indonesia. Batik, dalam Tantra–tradisi spiritual bangsa Nusantara, adalah yantra, suatu bentuk sakral-geometri yang mendayagunakan simbol-simbol untuk mengakses energi Ilahi. Setiap goresan dan pola-pola yang dibentuk memiliki makna spiritual.

Menurut Iwan Tirta, dalam bukunya berjudul “Batik, Sebuah Lakon”, sejarah batik di Nusantara tidak lepas dari sejarah peradaban manusia dan evolusi pembuatan bahan pakaian. Setelah orang mengenal teknik pintal dan tenun yang menghasilkan kain, perkembangan berikutnya adalah menghiasnya. Salah satu cara membubuhkan ragam hias pada kain adalah teknik menahan pewarna.  Teknik kuno menahan pewarna, yang memunculkan ragam hias dan motif ini misalnya bisa ditemukan di kain simbut dari Banten dan kain ma’a dari Toraja, yang menggunakan bubur beras ketan. Banyak ahli berpendapat, teknik menahan pewarna ini sebagai asal muasal teknik batik. 

Teknik menghias permukaan kain dengan menahan pewarna ini sebetulnya dijumpai di mana saja, di seluruh belahan dunia. Sebelum ditemukan canting, perintangan warna menggunakan tangkai bambu, ada juga yang menggunakan bubur beras ketan.  Bangsa-bangsa Timur Tengah, Cina dan Afrika Barat diperkirakan sudah menggunakan metode merintang warna ini sejak seribu tahun lalu. 

Di Nusantara, teknik menahan pewarna ini berkembang pusat. Bubur beras ketan diganti dengan malam, sejenis lilin yang dibuat dari ramuan damar, lilin lebah, lemak hewani, dan beberapa bahan alami lainnya. Dalam keadaan cair panas, bahan ini dapat mengalir lancar, membentuk ragam hias, pada permukaan kain. Setelah dingin dan menggumpal, bahan ini tidak mudah retak dan lebih tahan pada cairan pewarna. Hasilnya, ragam hias muncul lebih baik, lebih jelas, dan dapat diperoleh bentuk-bentuk lebih rumit dan halus.

Metode pembatikan Nusantara paling berkembang di Pulau Jawa. Menghasilkan kain-kain batik dengan corak paling kaya, teknik pewarnaan paling berkembang, dan mutu pengerjaan paling halus dan paling cermat. Menurut Robyn Maxwell dalam Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade and Transformation, batik tulis yang dibuat dengan canting dan malam, menurut sejarah yang tercatat, baru berkembang pada awal abad XVII. Batik tulis adalah teknik pembuatan batik secara manual dan tradisional yang pertama kali dipraktikkan oleh leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi.

 

Natalia Puri Handayani

Kader Pusaka Indonesia DKI Jakarta – Banten

 

Sumber:

Presentasi Bapak Hartono Sumarsono  dalam Talkshow Membuka Tabir Keindahan Batik Nusantara, 11 November 2023

Lin, Lee Chor. Batik: Creating an Identity. Singapore: National Museum of Singapore; 2007.

Sumarsono, Hartono. Batik Pesisir Pusaka Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia; 2011.

Tirta, Iwan. Batik, Sebuah Lakon. Jakarta: Gaya Favorit Press; 2009