Skip to main content

Sabtu sore di hall besar di sebuah rumah berpekarangan luas yang juga kantor dan tempat pelatihan The Avalon Consulting, berlokasi di Ubud, Bali, terlihat beberapa laki-laki dan perempuan sudah berkumpul dengan mengenakan kain. Tak hanya itu mereka juga sedang menyiapkan setting musik dari perangkat audio. Mereka adalah peserta kelas tari tradisional dari program Pusaka Indonesia Wilayah Bali, yang diselenggarakan secara rutin setiap Sabtu sore, sejak November 2023 lalu.

Anak Agung Ratih Raikayanti atau biasa dipanggil Mbok Gung adalah pelatih kelas tari ini. Ia sangat antusias berpartisipasi di kelas ini secara sukarela meski jam terbangnya terbilang belum tinggi. “Saya ingin bakat dan ilmu tari yang saya miliki bisa tersalurkan. Kebetulan ibu saya adalah pelatih tari yang sudah berusia sepuh saat ini. Dari kecil saya sudah melihat beliau melatih karena kebetulan juga punya sanggar tari di rumah, “ tutur Mbok Gung yang asli Ubud ini. 

Tarian yang dipilih untuk dilatihkan adalah Tari Puspawresti yang menggambarkan sekelompok muda-mudi yang dengan penuh rasa hormat, dan ramah tamah menyambut kedatangan tamu yang berkunjung di desa.

Dari 13 orang pendaftar kelas ini, peserta tak hanya dari kader Pusaka Indonesia, melainkan juga umum. Fany Andriani misalnya, ia bukan kader Pusaka Indonesia namun menemukan informasinya melalui media sosial, kemudian tergerak mendaftar. Fany yang tidak memiliki latar belakang maupun pengalaman menari sebelumnya. Setelah mencoba mengikuti latihan 3x, ia mengaku bahwa latihan tari tradisional Bali itu tidak mudah. “Susah sih tapi saya masih mau terus belajar, “ kata Fany.

Refleksi Pembelajaran Tari

Sebagai Koordinator Seni Budaya Pusaka Indonesia Wilayah Bali, saya sungguh antusias dengan kelas tari ini. Hal yang unik adalah kita betul-betul dibawa untuk belajar menari dengan sukacita, dan kesukacitaan inilah yang menjadi modal untuk mengubah realitas diri dan lingkungan di sekitar kita. Pembelajaran lain yang saya dapatkan adalah tentang ketulusan, saat ini sangat sulit sekali mencari orang yang betul-betul mau belajar menari tanpa motif apapun, yang banyak berkembang saat ini. Sebagian besar orang hanya mau belajar menari  kalau saat ada keperluan pentas saja, atau saat diadakannya kompetisi. Tidak betul-betul menghayati esensi tari itu sebagai bagian dari mengekspresikan jiwa kita dalam kesukacitaan merayakan anugerah hidup. Maka berapapun yang mau belajar, sesedikit apapun yang mau datang belajar mesti kita lakukan dengan totalitas, memberikan yang terbaik dengan ketulusan yang paripurna.

Secara sederhana mungkin hal seperti ini terlihat remeh temeh, tetapi kegiatan apapun yang dilakukan dengan ketulusan, dan apalagi dibarengi dengan kesukacitaan merayakan hidup yang dituangkan lewat gerak harmoni yang indah (Seni Tari), ini membawa dampak yang luar biasa yang tak pernah terpikirkan oleh kita. Saat ini sudah saatnya kita kembali kepada apa yang ditulis dalam Tri Sakti Bung Karno. “Berbudaya sesuai Jati diri” hanya bangsa yang kembali kepada jati dirilah yang bisa bangkit menjadi bangsa yang luhur dengan peradaban yang konstruktif, membawa keharmonisan di bumi seperti harmoni yang ada di dalam gerak tari itu sendiri. Mari terus hening lewat menari, dan menari dalam hening.

 

Cahya Wardana

Kader Pusaka Indonesia Wilayah Bali