Perjalanan hidup manusia, dari kelahiran hingga kematian, dipenuhi oleh momen-momen penting yang menjadi tonggak kehidupan. Setiap fase dalam perjalanan hidup ini dianggap sebagai titik krusial, di mana diperlukan upacara-upacara yang sarat makna untuk menjaga dan melindungi individu yang tengah melangkah dari satu fase ke fase lainnya. Dalam upacara-upacara ini, wastra—kain tradisional Indonesia—memegang peranan penting. Tidak hanya sebagai busana, wastra, yang dibuat dengan penuh doa dan harapan, dipercaya mampu menghadirkan perlindungan, kebahagiaan, dan keselamatan bagi pemakainya.
Kisah ini terungkap dalam talkshow berseri “Menyingkap Pesona Wastra Indonesia” sesi 5, bertema “Tenun dan Alur Kehidupan”, yang diselenggarakan oleh Pusaka Indonesia bidang Seni dan Budaya, bertepatan dengan Hari Tenun Nasional pada 7 September 2024 lalu. Acara yang berlangsung di Museum Seni Rupa dan Keramik, Kota Tua, Jakarta, menampilkan dua narasumber pakar dan kurator wastra, Sri Sintasari Iskandar (Neneng) dan Benny Gratha.
Acara ini menarik perhatian 107 peserta yang hadir, baik secara offline maupun online, termasuk para tamu undangan dari kalangan pendidikan, seperti dosen dari IKJ Prodi Seni Kriya, guru, serta siswa dari SMKN 24 dan SMKN 27 Jakarta Jurusan Tata Busana. Latar belakang peserta cukup beragam, antara lain, 48 kader Pusaka, 30 peserta dari nonkomunitas, dan 20 peserta online yang setia mengikuti talkshow hingga akhir acara. Talkshow ini juga menjadi jembatan lintas generasi, menghadirkan partisipasi dari generasi X, milenial, hingga Gen Z.
Dalam sambutannya, Nyoman Suwartha, Sekretaris Jenderal Pusaka Indonesia, menyampaikan apresiasinya kepada seluruh peserta yang hadir, baik secara langsung maupun virtual. Beliau juga mengagumi keindahan busana eksotis yang dikenakan peserta, mencerminkan keragaman budaya Nusantara. Nyoman berharap kegiatan ini dapat mendorong generasi muda untuk melestarikan Wastra Indonesia. Ia juga berharap, ke depan, bisa terselenggara kolaborasi yang lebih besar lagi, semisal festival wastra, yang melibatkan lebih banyak komunitas.
Makna Wastra dalam Siklus Kehidupan
- Kelahiran
Benny Gratha menjelaskan, di Jawa, salah satu upacara penting saat usia kehamilan mencapai tujuh bulan adalah tingkeban atau mitoni. Wastra yang digunakan dalam upacara ini meliputi lurik Tumbar Pecah, kemben Liwatan, dan stagen Bangun Tulak. Di tanah Batak, upacara ini dikenal sebagai Mambosuri, yakni orang tua pihak perempuan memberikan Ulos Mangiring atau Bintang Maratur kepada calon ibu dan suaminya. Di Bali, berbagai wastra Bebali digunakan dalam upacara menjelang kelahiran bayi hingga bayi berusia enam bulan, yang disebut Upacara Satu Oton (210 hari). Upacara potong gigi juga melibatkan wastra gringsing yang ditampilkan dengan motif ikat ganda, teknik yang hanya diproduksi di beberapa tempat di dunia seperti Bali, Jepang, dan India.
- Pernikahan
Di tanah Batak, kata Benny, pasangan pengantin akan menerima ulos Ragi Hotang dari orang tua pihak perempuan (hula hula) pada saat upacara adat pernikahan. Ulos ini melambangkan harapan agar perkawinan mereka langgeng, seperti pohon rotan yang panjang, kuat, dan lentur. Selain itu, berbagai wastra digunakan dalam upacara pernikahan di Palembang, Sumatera Barat, Lampung, Sumba Timur, Lamaholot di Flores Timur, Pulau Lembata, dan Pulau Sawu.
- Kematian
Pada upacara kematian, wastra juga digunakan sebagai penutup jenazah. Di Lampung, wastra bernama Bidak digunakan, sementara Palompok juga menjadi pilihan untuk menutup jenazah. Cepuk, sebagai wastra sakral di Bali, digunakan untuk membungkus tulang. Di Sumba, wastra Hinggi Kombu digunakan baik dalam upacara pernikahan maupun pemakaman. Beberapa wastra bahkan ikut dikubur bersama jenazah, dengan jumlah yang dapat mencapai lebih dari seratus tergantung status sosial almarhum. Wastra Kalimbu Gambara Subi dari Pulau Bira, digunakan sebagai selimut saat ibu melahirkan, kemudian dalam upacara pernikahan, dan akhirnya sebagai penutup jenazah. Ketika digunakan sebagai penutup jenazah, kedua ujung biasanya dijahit, menandakan pemakaian berakhir. Di Sulawesi, tenun Pori Situtu, kain ukuran besar, digunakan sebagai pembatas dalam ruang upacara dan tidak dibawa ke liang kubur.
Kesan Peserta
Salah satu siswa dari SMKN 24 Jakarta mengungkapkan, “Banyak sekali hal yang dipelajari mengenai tenun dan maknanya. Apa yang saya pelajari menjadi tambahan pengetahuan di luar pelajaran di sekolah mengenai tekstil dan Wastra Nusantara. Pengalaman belajar ini cukup menyenangkan dan memberikan pemahaman tentang kain tenun yang menemani hidup kita mulai dari dalam kandungan, lahir, beranjak dewasa, menikah, hingga ke liang lahat.”
Suniah, guru SMKN 24 Jakarta, menyampaikan, “Di kurikulum sekolah kami ada elemen tentang eksperimen tekstil. Dengan adanya undangan ini, kami dan anak-anak bisa langsung melihat kain-kain tradisional yang dihasilkan masyarakat Indonesia pada zaman dahulu, yang biasanya hanya kami lihat di internet.”
Salah satu dosen IKJ bidang Kriya, Rahayu, menambahkan, ia berterima kasih atas penyelenggaraan kegiatan seperti ini. “Dengan adanya acara seperti ini, masyarakat luas lebih mudah mendapatkan informasi terkait wastra. Di IKJ ada Program Studi Kriya yang mempelajari tekstil dan ada mata kuliah tentang Wastra Indonesia. Namun, peminat Program Kriya tidak sebanyak program studi lain.”
Menambah keseruan acara, diadakan pemilihan busana terbaik. Salah satu pemenang adalah Tasya Widyakrisnadi yang mengenakan tenun Sumba dengan model vest panjang berwarna pastel yang dipadukan dengan kain batik. Tasya adalah mahasiswa FIB UI yang sedang menyusun disertasi mengenai tenun Sumba.
Wendy B.S.
Kader Pusaka Indonesia Wilayah DKI Jakarta – Banten