Berikut tulisan mengenai virus yang sudah direvisi mbak @dewi harsono , mohon konfirmasi nya Mas Guru @SHD apakah sudah oke, saya jujur blong ndak paham soal data2 ilmiah ini hi hi BENARKAH ADA VIRUS MEMATIKAN?
Sudah lebih dari setahun Indonesia ‘menjalani’ masa pandemi karena Covid-19. Konon menurut data yang ada, pada April 2021 sudah sekitar 1,6 juta orang di Indonesia terinfeksi Covid-19, diikuti dengan jumlah kematian sekitar 43300 jiwa. Tetapi, benarkah Indonesia mengalami pandemi Covid-19? Benarkah 1,6 juta orang Indonesia itu terinfeksi Covid-19? Benarkah 43300 jiwa tersebut meninggal karena Covid-19?
Yang benar-benar kita rasakan dalam setahun ini, akibat banyak kebijakan yang diatasnamakan upaya mengatasi Covid-19, adalah kesulitan hidup yang menerpa segala lini. Di mulai dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Transisi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), kemudian PPKM MIkro. Semua pembatasan ini diberlakukan tanpa standar yang jelas. Yang jelas dirasakan oleh kebanyakan masyarakat adalah kesulitan hidup dalam mencari penghidupan hampir di segala bidang – terutama dibidang pariwisata, seni dan budaya, kemudian anak-anak sekolah terganggu proses pembelajarannya, ketakutan serta kecemasan dimana-mana, kemerdekaan menjadi hal yang “terampas”.
Kita perlu berpikir kritis, benarkah ada virus berbahaya yang mematikan? Benarkah perangkat yang dipakai untuk memvonis kasus terkonfirmasi Covid-19 sudah tepat? Penetapan pasien atas kasus terinfeksi Covid-19, merujuk pada Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19) yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan RI, didasarkan kepada hasil tes swab PCR (Polymerase Chain Reaction) .
PCR ditemukan oleh Dr. Kary Mullis, molecular biologist asal Amerika Serikat pada tahun 1983, dan memperoleh Hadiah Nobel padah tahun 1993. PCR adalah alat untuk menggandakan suatu bagian tertentu DNA menjadi sangat banyak (dari 1 potongan DNA menjadi 1 miliar potongan DNA dalam 30 kali putaran saja). Hal ini mempermudah pekerjaan untuk Analisa forensic, diagnosa medis dan Kloning DNA. Apakah Dr. Mullis membuat PCR untuk mendeteksi virus (seperti yang deiajarkan di sekolah kedokteran barat)? Faktanya, Tidak. PCR hanya memproses potongan tertentu DNA, apakah itu DNA virus, jamur, bakteri, manusia atau apapun. Jadi PCR bukan alat untuk mendiagnosa suatu penyakit. Tetapi, karena para saintis tidak memiliki alat untuk mendeteksi virus, maka PCR digunakan dengan ditambah prosedur-prosedur lain seperti RT (Reverse Transcriptese) RNA menjadi DNA, probe, dan indicator diagnostic.
Jadi apakah benar virus yang berbentuk korona tersebut adalah penyebab dari suatu penyakit menular yang mematikan? Menjadi perhatian bahwa tanpa pembuktian sebab-akibat yang solid antara virus dengan suatu penyakit, maka virus (tersangka penyebab penyakit) tersebut tidak terbukti secara ilmiah sebagai penyebab penyakit. Ini adalah hal yang sangat mendasar, dan akan diikuti dengan konsekuensi yang fatal, antara lain alat deteksi penyakit menjadi tidak akurat, obat yang dipakai untuk memusnahkan penyakit menjadi salah sasaran, vaksin yang membuat tubuh manusia menjadi imun dari mahluk mikro yang bukan penyebab penyakit.
Postulat Koch merupakan “Gold Standard” untuk setiap penyelidian pembuktian suatu penyebab penyakit menular. Rangkaian logika sederhana di bawah ini adalah cara berpikir dari Postulat Koch untuk pembuktian virus sebagai penyebab suatu penyakit;
Ambil sample dari orang yang sakit dengan gejala tertentu. Lakukan isolasi, pemurnian, dan pembiakan sample tersebut dalam kultur yang murni. Masukkan (suntik) sample yang sudah dimurnikan kepada hewan yang sehat
Jika hewan sehat tersebut kemudian menunjukkan gejala sakit yang sama, cocokkan sample hewan yang sakit dengan sample yang berasal dari orang sakit tadi, dan seterusnya.
Sample yang dipakai sebagai referensi dari PCR haruslah sudah melalui penelitian yang seksama. Dalam hal ini, dalam dunia ilmu pengetahuan, kiblat untuk meneliti suatu sample virus adalah dengan mengikuti Postulat Koch. Kita harus mengetahui bahwa rangkaian RNA yang digunakan sebagai referensi PCR saat ini adalah RNA dari suatu virus yang telah diisolasi dan dimurnikan dan memberikan gejala penyakit COVID-19. Peneliti virus terkemuka seperti Luc Montagnier menyatakan bahwa pemurnian partikel, yaitu pemisahan suatu obyek dari segala sesuatu yang bukan obyek itu, merupakan prasyarat penting untuk membuktikan keberadaan suatu virus, dan dengan demikian membuktikan bahwa RNA dari partikel tersebut berasal dari virus baru.
Sampai dengan sekarang, belum ada bukti ilmiah bahwa rangkaian RNA yang menjadi patokan dalam alat RT PCR adalah penyebab Covid-19. Jadi bis akita simpulkan, analogi yang terjadi dalam hal ini adalah sebagai berikut, terjadi beberapa kali perampokan, setiap kali perampokan terjadi, walaupun berbeda tempat dan waktu, selalu ada ada si A – orang asing yang tiba-tiba selalu ada di tempat kejadian perkara. Maka kemudian diambil kesimpulan, bahwa A adalah tertuduh pelaku perampokan, walaupun belum ada pembuktian nyata dari perampokan-perampokan tersebut. Tanpa dasar yang pasti apakah kita akan terus melanjutkan masa pandemi ini, mengikuti pembatasan dan menerima vaksinasi Covid-19?