Jauh dari bayangan generasi saat ini, pernah pada masanya, harga segenggam pala lebih mahal dari harga segenggam emas. Sekarung cengkeh cukup untuk membeli sebuah kastil megah di Eropa. Itu baru pala dan cengkeh, belum lagi jenis rempah lainnya yang banyak tumbuh di sini dan menjadi primadona di berbagai belahan dunia. Alangkah kayanya negeri kita. Sekarang, punya pala 1 kilogram tidak bisa membeli emas 1 gram. Sangat murah. Namun demikian, bukan berarti rempah tak bernilai lagi. Kitalah sesungguhnya yang membuatnya tak bernilai karena tak memahami, tak mau mempelajari, buta sejarah, dan karenanya, tak tahu mau diapakan rempah yang melimpah di sekitar kita. Kita tak tahu bagaimana mengelola dan mengembalikan kedigdayaan rempah, yang pernah membuat negeri ini berjaya.
Kelas Online Nusantara Studies yang dibawakan oleh Prof. Yudhie Haryono dan Setyo Hajar Dewantoro (SHD) telah dimulai Kamis lalu (18 Januari 2024). Topik pembuka, mengungkap Jalur Rempah Nusantara, sangat membukakan mata tentang berharganya rempah. Menurut Prof. Yudhie, topik ini teramat penting, karena inilah kunci yang akan membangkitkan kembali kejayaan Nusantara seperti era Majapahit dan Sriwijaya. Negara kita, kata Prof. Yudhie, memiliki varietas rempah yang lebih banyak daripada negara penghasil rempah lainnya di Asia Tenggara, dan beberapa di antaranya memiliki kualitas yang terbaik. Karena itu, seharusnya NKRI dapat mencapai kejayaan bangsa dengan membangkitkan atau menghidupkan kembali ‘Jalur Rempah’, sebagaimana Cina membangunkan ‘Jalur Sutra’ yang dulu pernah ada di tahun 114 SM sampai 1450 Masehi.
Kita tak mengenal rempah kita sendiri. Pengetahuan tentang rempah tidak pernah diajarkan di sekolah. Tidak ada satu pun orang yang menjadi ahli rempah di negeri ini. Kita juga tidak dikenalkan pada sejarah bangsa sendiri. Nusantara sudah menjadi produsen rempah sejak ribuan tahun silam, dan rempah sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan ke berbagai belahan dunia oleh para pelaut Nusantara. Jalur Rempah membentang mulai dari Cina ke tepian Samudra Pasifik, lalu Selat Malaka, dan Selat Sunda ke barat. Jalur Rempah juga membentang ke India, Sri Lanka, Persia, dan Timur Tengah, serta menyusuri pantai timur Afrika dan Madagaskar.
Prof. Yudhie menambahkan, di Nusantara, Jalur Rempah purba membagi pusat produksi menjadi: 1) Pulau Timor untuk cendana; 2) Pulau Banda untuk pala; 3) Pulau Ternate-Tidore untuk cengkih; 4) Pulau Jawadwipa dan Swarnadwipa untuk kayu manis, kapur barus, kemenyan, lada, dan vanila. Saat zaman Majapahit dan Sriwijaya, komoditas rempah yang diekspor adalah kayu manis dan saat itu kayu manis merajai dunia.
Catatan sejarah rempah di Nusantara malah ditulis oleh ‘turis’ Portugal bernama Tomé Pires dalam buku Suma Oriental yang menginjakkan kaki di Nusantara pada abad 16. Tentunya ia bukan turis biasa, karena ekspedisinya membawa misi dagang untuk mengamankan sumber rempah. VOC menjadi perusahaan terkaya di dunia karena rempah Nusantara. Kita dijajah ratusan tahun, demi dikeruk rempahnya.
Sejak dulu kala, rempah tidak hanya diburu karena menambah cita rasa makanan, tetapi memiliki banyak manfaat lain, seperti pengawet makanan, pengawet mumi, pengawet kayu, parfum, dan sebagainya. Sebagian dari rempah yang memiliki khasiat kesehatan dan kecantikan disebut sebagai herba. Keberadaan rempah dan herba juga telah mendorong berkembangnya pengetahuan dan penelitian terhadap tanaman, yang banyak tumbuh di wilayah tropis ini. Pengetahuan tentang pengobatan dari tanaman ini telah berkembang di Nusantara sejak berabad lalu, para leluhur kita sudah terbiasa memanfaatkan rempah dan herba ini untuk pengobatan.
Sampai sekarang, potensi ekonomi dari komoditas rempah masih sangat besar. Idealnya, apabila dikelola dalam skala besar oleh negara, tentu akan berbeda ceritanya. Sebagai individu, kita bisa turut menggerakkan perubahan dengan mulai mempelajari rempah, menanam, dan mengonsumsinya. Sebab, inilah budaya luhur bangsa yang bisa mengantarkan kita pada kemandirian dan keberdikarian.
Ficky Yusrini
Kader Pusaka Indonesia Jawa Barat
sumber foto: shutterstock