Skip to main content

Wage Rudolph (WR) Supratman, komponis lagu kebangsaan RI “Indonesia Raya”, adalah seseorang yang patriotik dan revolusioner. Ia adalah salah satu dari tidak banyak komponis besar Indonesia yang menggunakan lagu sebagai media perlawanan melawan penjajah. Lagu “Indonesia Raya” adalah warisan W.R Supratman bagi bangsa Indonesia, menjadi koridor arah perjuangan mewujudkan Indonesia Raya yang Jaya.

Dalam rangka memperingati HUT RI ke – 79, Sabtu 17 Agustus 2024 lalu, Pusaka Indonesia menyelenggarakan Sarasehan dengan tema Mengenali Kembali Tujuan dan Filosofi Bernegara dalam Lagu-lagu W.R. Supratman, di Auditorium M. Jusuf Ronodipuro RRI Jakarta. Kolaborasi apik ketiga narasumber Ketua Umum Pusaka Indonesia Setyo Hajar Dewantoro, Laksda TNI Purn Untung Suropati, dan Direktur Nusantara Centre Prof. Yudhie Haryono mengajak peserta Sarasehan menghayati filosofi yang dituangkan dalam lagu-lagu karya W.R. Supratman. Sarasehan ini adalah momentum bagi kita generasi penerus bangsa, untuk menghidupkan kembali api patriotisme, semangat, kesadaran, dan pikiran-pikiran jenius W.R. Supratman.

Tidak hanya menggali dari sisi sejarah dan intelektual, peserta sarasehan juga diajak untuk menikmati beberapa lagu karya W.R. Supratman yang dibawakan dengan indah dan syahdu oleh para kader Pusaka Indonesia. Lagu-lagu yang ditampilkan yaitu Indonesia Raya 3 stanza, Ibu Kita Kartini, Dari Barat Sampai Ke Timur, Indonesia Hai Ibuku, Pahlawan Merdeka, dan Di Timur Matahari. Alunan merdu aransemen musik genre keroncong, ditunjang dengan kostum para penampil yang menggunakan pakaian tradisional Jawa, sejenak membawa seisi ruangan seakan kembali ke suasana Indonesia di era pergerakan nasional. Masa di mana W.R Supratman dan para pemuda Indonesia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Konser mini lagu-lagu WR. Supratman

Pembahasan materi sarasehan diawali oleh penelusuran Prof Yudhie terkait asal usul W.R Supratman yang orang pribumi asli. Diketahui dari namanya yang menggunakan weton Jawa, yaitu Wage, dengan nama Ayah Djoemeno Senen Sastrosoehardjo dan Ibu bernama Siti Senen. W.R Supratman bukan orang Yaman atau keturunan Timur Tengah seperti yang diperdebatkan di media. Nama tengah “Rudolf” disematkan kemudian, supaya W.R. Supratman dapat bersekolah di sekolah Belanda. Laksda Untung menambahkan, walaupun masa kecilnya dibesarkan dalam lingkungan militer Belanda (ayah W.R. Supratman adalah tentara KNIL), tetapi justru jiwa patriotisme tumbuh dalam diri W.R. Supratman. Ia menciptakan lagu Indonesia Raya di tahun 1926 (2 tahun sebelum Sumpah Pemuda) di usia yang terbilang muda, yaitu sekitar 23 tahun. Walaupun berusia muda, namun W.R Supratman memiliki pandangan yang sangat visioner tentang bangsa dan negara. Lagu-lagu W.R. Supratman banyak memuat tentang kesadaran, dan kebanggaan akan tanah air, Ibu Pertiwi Indonesia.

Mencermati setiap lirik dalam 3 stanza lagu Indonesia Raya, akan kita temukan kerangka pemikiran jenius W.R Supratman. Stanza 1 adalah pondasi dari suatu negara, dituliskan dalam syair lagu, “Marilah kita berseru, Indonesia bersatu”. Stanza 1 adalah menjadi ontologi, yaitu tentang bersatu, persatuan. Nantinya oleh Bung Karno diletakkan dalam Pancasila sila ketiga, Persatuan Indonesia. Stanza 2 terdapat epistemologi, yaitu bahagia. Seperti tertulis dalam lirik, “Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia”. Lewat stanza 1 dan stanza 2, maka tercapailah seperti yang tertulis di lirik stanza 3, “Marilah kita berjanji, Indonesia abadi”. Inilah aksiologinya, yaitu keabadian (immortality). Stanza 3, tidak bisa dicapai tanpa stanza 1 dan 2. Keabadian baru bisa dicapai, ketika bangsa dan negara ini bersatu dan bahagia.

Ketua Umum Pusaka Indonesia Setyo Hajar Dewantoro menyatakan, “Menghayati lagu yang digubah oleh W.R. Supratman, kita akan menangkap sebuah gelora patriotisme. Kita diajak menjadi sadar bahwa kita ini hidup, dihidupi oleh Ibu Pertiwi. Tanah yang kita pijak, air yang kita minum, tidak kita maknai  sebagai benda fisik semata. Tetapi kita menghayati keberadaan jiwa di baliknya, sehingga kemudian kita sebut sebagai Ibu Sejati. Yang dimaksud W.R. Supratman “Ibu Sejati” adalah tanah air ini. Yang memberikan sari pati makanan pada kita, memberikan air lewat mata airnya, lewat sumur, sungai, dan yang menumbuhkan pepohonan yang memberi oksigen pada kita,” jelasnya. 

W.R. Supratman mengajak kita kepada satu realisme: KESADARAN AKAN KASUNYATAN. Kita harus menghargai, memuliakan sesuatu yang nyata. Dalam hal ini tanah air kita. Tanah ini adalah Nusantara, disebut sebagai Ibu  Sejati. Maka tidak layak untuk dinistakan, menjadi obyek keangkaramurkaan, dan menjadi objek tempat kita menumpahkan segala keserakahan, kelicikan, kejahatan kita.

Harus ada yang mengambil peran, untuk kembali hidup dengan kesadaran luhur seperti yang dimiliki oleh W.R. Supratman. Harus ada yang memberi contoh nyata bagaimana kita memuliakan Ibu Sejati. Memuliakan tanah air kita. Menjadi contoh bagaimana kita sungguh sungguh membangun jiwa raga, agar kita sebagai sebuah bangsa bisa menjadi bangsa yang berbahagia.

 

Puri Handayani,
Wakil Ketua Bidang Riset dan Kajian Pusaka Indonesia