Skip to main content

Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasaskan peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan

(Ki Hajar Dewantara)

Soewardi Soerjaningrat, yang dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara (KHD), lahir di Yogyakarta, tanggal 2 Mei 1889. Berdarah bangsawan dari trah Pura Pakualaman yang mempunyai hubungan keluarga dengan Sri Paku Alam III dan Nyi Ageng Serang, ia memiliki keberpihakan yang tinggi kepada rakyat pribumi. Pembelaannya bahkan terbilang radikal. KHD bersama temannya, Dr. Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij pada tahun 1912 dengan visi mencapai kemerdekaan Indonesia. Berdirinya organisasi ini menunjukkan arah baru perjuangan melawan kolonial. Dengan itu, arah perjuangan kaum nasionalis menjadi lebih terorganisir, tegas menyatakan non kooperatif dan antikolonial.

Perjuangan itu ia buktikan lewat kritikan kepada Belanda dalam tulisan yang berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda”. KHD menulis, “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya…” Keberanian lainnya, beliau membuat Komite Boemi Poetra, komite tandingan yang melawan rencana peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda. Akibat dari tindakannya itu, KHD dan Dr. Cipto  ditangkap dan diasingkan ke Belanda. Tak lama berselang, Douwes Dekker pun ditangkap, karena menulis gugatan atas penangkapan kedua sahabatnya di harian De Express. Selama masa pengasingan, mereka bertiga kembali aktif dalam dunia jurnalistik dan menebar idealisme yang diusung Indische Partij. Tak disangka, kehadiran mereka memberi pengaruh kepada organisasi pelajar Indonesia di Belanda. 

Baca juga : Ki Hajar Dewantara, Pendidikan Masa Kini dan Generasi Pengejar Beasiswa

Beberapa tokoh pendidikan seperti Maria Montessori dan Rabindranath Tagore mulai menginspirasinya. Tagore yang juga memiliki sekolah di Shantiniketan, India, memiliki kesamaan visi dan misi dengan KHD dalam perjuangan memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan. Tagore dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan, dan bangga akan budaya bangsa sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan Inggris sebagai protes atas kekejaman Inggris terhadap rakyat India, sementara KHD juga menanggalkan gelar kebangsawanan agar bisa lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan.

Setelah 6 tahun di pengasingan, perjuangan KHD berlanjut ketika ia memimpin redaksi majalah Hindia Poetra milik Indische Vereeneging. Majalah ini digunakan sebagai media penting yang menjadi basis pergerakan demi tercapainya cita-cita kemerdekaan. Dalam perkembangannya, Hindia Poetra kemudian berganti nama menjadi Indonesia Menggugat. Perjuangan melalui bidang pers dan politik ini membuatnya tertangkap kembali. Saat menjalani hukuman, istrinya mengingatkan akan janjinya untuk mendirikan perguruan, meninggalkan politik, dan mulai mendidik kaum pribumi.

Kesadaran KHD terkait ketimpangan pendidikan yang diterapkan oleh kolonial yang bercorak elitis, diskriminatif, dan berorientasi kepentingan kolonial, mulai menguat. Hal inilah yang mendasari terbentuknya forum perkumpulan Selasa Kliwon dan Perguruan Taman Siswa sebagai upaya aktualisasi pendidikan yang antikolonial. Taman Siswa, dalam proses pendidikannya mengaplikasikan sistem among, sebuah sistem yang mewujudnya dua tujuan luhur: kemerdekaan substansial yang harus dicapai agar bisa hidup berdikari dan berdaulat, dan kodrat alam untuk menopang kehidupan dan sebagai sarana memajukan bangsa sendiri.

Perjuangannya dalam Taman Siswa tak serta merta tanpa hambatan. Di tahun 1932, kolonial mengeluarkan aturan ordonansi sekolah liar, bahwa kolonial berhak melakukan intervensi terhadap segala aktivitas yang dijalankan sekolah swasta. Tantangan ini tak membuatnya surut, KHD tetap mendidik dengan ketulusan dan pengabdian tanpa pamrih. Ia memberi teladan bahwa para pengajar Taman Siswa harus terjun langsung, hidup berbaur, merasakan getirnya hidup yang dialami masyarakat dan mendorongnya ke arah kemajuan. Inilah makna substansi pendidikan, yaitu memanusiakan manusia dan menjadikannya diri yang merdeka.

Bagi KHD pendidikan adalah proses tumbuhnya dimensi ragawi dan rohani yang terwujud dalam kesatuan jiwa dan raga. Pendidikan menjadi tuntunan hidup bagi anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia dan anggota masyarakat. Menurutnya, pendidikan yang dilakukan dengan keinsyafan ditujukan ke arah keselamatan dan kebahagiaan manusia, sebagai upaya memelihara dan memajukan kehidupan serta meningkatkan derajat kemanusiaan. KHD memandang pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat, dan kemajuan umat manusia secara universal dengan konsep Tri Pusat Pendidikan guna membangun fisik, mental, dan spiritual yang tangguh dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Perjuangan penting lainnya adalah rekonstruksi kebudayaan. KHD tidak hanya melihat kebudayaan sebagai identitas kultural an sich, namun juga sebagai benteng dalam mempertahankan dan memperjuangkan cita-cita bersama, keselamatan, kebahagiaan, dan kejayaan. Kebudayaan tak hanya dipandang sebagai kebanggaan kultural, namun juga sebagai pendorong semangat dalam mewujudkan kemerdekaan lahir dan batin. Seni pun tak luput dari perhatiannya. Bagi KHD, pengajaran seni diperlukan untuk menumbuhkembangkan budaya bangsa. 

 

Firman Sabar

Peserta Kursus Online Pikiran Jenius Pendiri Bangsa #2

Kader Pusaka Indonesia

sumber foto: RRI.co.id