Membakar sampah menjadi salah satu cara yang banyak dilakukan masyarakat Indonesia untuk mengurangi tumpukan limbah rumah tangga. Aktivitas ini biasanya dilakukan di halaman rumah, kebun kosong, atau lahan terbuka lainnya, dengan alasan lebih praktis jika langsung dibakar daripada harus menunggu proses pengangkutan atau pengomposan.
Asap mengepul, sampah seolah hilang, dan masalah beres. Tapi, benarkah sesederhana itu? Muncul pertanyaan yang patut direnungkan. Membakar sampah itu sebenarnya berbahaya atau tidak?
Dalam siaran Green Radio di RRI Pro 1 Jakarta pada 27 April 2025 lalu, Ketua Wilayah Pusaka Indonesia DKI Jakarta – Banten, sekaligus Wakil Koordinator Bidang Eco Enzyme dan Titik Titip Sampah (TTS) Akademi Bumi Lestari Pusaka Indonesia, Marie Yosse Widi Hapsari atau akrab disapa Sari, menjawab pertanyaan tersebut.
Baca juga: Edukasi Pilah Sampah lewat Program TTS
Mengapa masyarakat masih membakar sampah?
Ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, pola pikir bahwa membakar dianggap cara tercepat, termudah, dan termurah untuk menghilangkan sampah. Kedua, di banyak daerah, fasilitas pengolahan sampah belum tersedia. Belum ada layanan pengangkutan sampah sehingga masyarakat terpaksa membakar atau membuangnya ke sungai.
Pembakaran sampah bisa langsung terasa dampaknya: nafas menjadi sesak, dada terasa berat, dan mata perih. Itu baru efek jangka pendek bagi manusia. Lebih dari itu, sampah yang terdiri dari campuran bahan-bahan organik, plastik, cat, seringkali tidak terbakar sempurna sehingga menghasilkan zat-zat berbahaya ke udara. Jika dilakukan terus-menerus, akan berdampak lebih panjang dan serius seperti pencemaran tanah, udara, dan air.
“Membakar sampah bukanlah solusi. Memang sampah terlihat cepat hilang, tetapi dampaknya jauh lebih besar dan berbahaya, baik untuk kesehatan maupun lingkungan,” jelas Sari.
Baca juga: Solusi Sigma Farming untuk Pengelolaan Sampah di Pesantren Bumi Cendekia Sleman Yogyakarta
Solusi Sampah di Pemukiman Padat seperti di Jakarta
Di Jakarta, pembakaran sampah sembarangan dilarang berdasarkan:
- Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2008 – salah satu ketentuannya adalah larangan pembakaran sampah sembarangan yang dapat menyebabkan polusi udara dan membahayakan kesehatan masyarakat.
- Perda DKI Nomor 3 Tahun 2013 – yang mengatur sanksi denda atau hukuman penjara bagi pelanggar.
Namun kenyataannya, penegakan hukum saja tidak cukup. Hal ini perlu didukung dengan adanya sosialisasi dan edukasi mengenai bahaya membakar sampah agar masyarakat lebih sadar dan mampu mengelola sampah dengan benar.
Sari memberikan tip-tip untuk pengelolaan sampah, antara lain:
- Pilah sampah sejak dari rumah, pisahkan sampah organik, anorganik, dan sampah berbahaya.
- Manfaatkan bank sampah untuk sampah yang masih punya nilai jual.
- Daur ulang dan gunakan kembali barang-barang yang masih bisa dipakai.
- Edukasi diri dan lingkungan sekitar tentang bahaya membakar sampah.
Selain itu, ada cara alternatif pembakaran sampah dengan teknologi:
- Penggunaan Insinerator – Sampah yang dibakar dimasukkan ke insinerator, alat pembakaran khusus yang memastikan pembakaran bersih dan aman.
- Pengendalian Emisi – Asap pembakaran dinetralkan menjadi uap air untuk mengurangi polusi udara.
- Pemanfaatan Energi – Dengan tambahan teknologi tertentu bisa menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah.
Masyarakat diharapkan mengurangi sampah yang dibakar dengan memprioritaskan daur ulang secara mandiri terlebih dahulu. Setiap tindakan kecil hari ini akan membentuk masa depan bumi yang lebih sehat. Ayo kita mulai dari diri sendiri, demi terwujudnya Bumi Surgawi.
Widya Rahmadani
Kader Pusaka Indonesia Wilayah DKI Banten
Sumber foto: IDN Times