Skip to main content

Dunia pertanian di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai persoalan. Meski dikenal sebagai negara agraris, nyatanya pertanian Indonesia masih kalah saing dengan negara lain, baik dari sisi produktivitas maupun inovasi produk. Pada Seminar Nasional Pertanian Masa Depan yang diselenggarakan Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah (PIG) para narasumber mengulas tantangan dan peluang pertanian di negeri ini.

Wayan Supadno sebagai pembicara pertama membuka wawasan peserta tentang berbagai persoalan dunia pertanian kita. Salah satu problemnya antara lain mentalitas petani yang masih kurang percaya diri, dianggap sebagai profesi yang tidak menguntungkan sehingga mulai banyak ditinggalkan generasi muda. Selain itu biaya produksi pertanian masih tinggi dan hasilnya belum mampu bersaing dengan produk negara lain.

Dalam seminar hari itu Wayan yang juga biasa disebut “Pak Tani” ini juga menyoroti masih besarnya impor pada komoditas pertanian. Daging dan kedelai merupakan 10 komoditas pertanian tertinggi yang diimpor oleh pemerintah Indonesia. Sementara itu praktik pertanian saat ini mendegradasi kualitas tanah. Hal ini diakibatkan oleh penggunaan pupuk kimia sintetis yang tidak rasional sehingga membuat pH tanah terlalu rendah.

Pembicara kedua, Adolf Hutajulu menambahkan bahwa saat ini 95% tanah di bumi ini sudah sedemikian rusak. Bibit yang digunakan di pasaran pun 90% merupakan hasil rekayasa genetika atau GMO. Kerusakan akibat praktik pertanian yang tidak selaras dengan alam tidak hanya berdampak pada tanah dan tumbuhan tetapi juga pada kesehatan manusia. Banyak anak muda yang sudah mulai sakit-sakitan. Ini berbeda dengan generasi nenek moyang kita yang di usia 80 tahun pun masih aktif bertani.

Pemulihan Tanah Kunci Pangan Sehat

Terong Organik di Kebun Surgawi Mengwi, Bali

Terong Organik di Kebun Surgawi Mengwi, Bali

Melihat berbagai persoalan tersebut tentunya perlu langkah inovatif dan revolusioner agar tanah kembali pulih, lahan pertanian makin produktif dan masyarakat Indonesia bisa mendapatkan bahan pangan yang sehat. Untuk itu kedua pembicara mengajak kader PIG dan masyarakat luas untuk bertani secara organik. Selain itu perlu ada peningkatan kapasitas petani dari segi mentalitas dan kemampuan berinovasi.

Adolf Hutajulu, Praktisi Sigma Farming

Adolf Hutajulu, Praktisi Sigma Farming

Adolf Hutajulu bersama PIG telah memulai gerakan pemulihan tanah dengan metode Sigma Farming. Tahun ini dicanangkan visi 1000 kebun surgawi dan kebun buah-buahan. Sejak Juli 2022 juga telah dilaksanakan beberapa kali workshop yang melatih kader-kader cara bertani dengan pola Sigma Farming. Kegiatan pelatihan petani ini sekaligus diluncurkan hari itu sebagai program Sigma Farming Academy (SFA) yang dikomandoi oleh Niniek Febriany.

Dalam seminar tersebut Adolf juga bercerita bagaimana sebagian anak muda di PIG mulai menikmati kegiatan bertani sejak belajar Sigma Farming. Ia menegaskan kembali kepada siapapun yang belajar Sigma Farming untuk totalitas dalam mempraktekkan ilmu yang telah mereka pelajari selama pelatihan. “Petani Sigma harus punya prinsip, apapun yang saya tanam, apapun yang saya hasilkan dari tanah saya harus menyehatkan orang lain.”

Dari kegiatan Seminar tersebut ada beberapa kata kunci yang ditekankan oleh narasumber. Kader PIG harus totalitas, mampu membangun dan menjaga kredibilitas agar gerakan kita semakin besar dan meluas jangkauannya. Kita harus terus bergerak, dimulai dari diri sendiri dengan tekad yang kuat. Tidak perlu menjadikan keterbatasan diri untuk tidak bergerak maju. Tanpa lahan pekarangan pun kita bisa mulai bertani dengan memanfaatkan dinding dan pagar rumah. Pola pertanian Sigma mengajak kita memanfaatkan apapun yang ada di sekitar kita untuk bahan pembuatan pupuk dan pestisida.

Tertarik untuk bergerak bersama memulihkan tanah? Bergabunglah dalam gerakan Kebun Surgawi. Info selengkapnya dapat diakses di kanal media sosial PIG berikut:

Instagram Pusaka Indonesia Gemahripah

Youtube Bumi Surgawi