Di balik gemuruh ombak dan hamparan pasir Pantai Clungup yang memukau, tersimpan cerita perjuangan yang penuh inspirasi. Saptoyo, seorang anak nelayan dari Dusun Sendang Biru, Kabupaten Malang, Jawa Timur, tumbuh besar dengan kenangan akan keindahan laut dan kekayaan ekosistemnya. Di masa kecilnya, air laut bersih. Ia bisa menyaksikan ikan karang berwarna-warni dan lobster yang melimpah di pantai desanya. Masyarakat bisa menangkap lobster hanya dengan menggunakan tombak. Namun, kenangan indah itu perlahan memudar seiring waktu.
Pada sekitar tahun 2004, Saptoyo mulai merasakan kegelisahan ketika menyadari produksi dan keragaman ikan-ikan karang di desanya menurun drastis. Saptoyo, yang juga kader Pusaka Indonesia ini melihat kemungkinan penyebabnya ada dua hal: penangkapan berlebihan (overfishing) atau karena kerusakan ekosistem. Meskipun di masa itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan kebijakan yang ketat soal pemanfaatan sumber daya laut, namun kenyataannya implementasi di lapangan tidak berjalan efektif. Menaati aturan bagi masyarakat ternyata tidak mudah. Sementara bagi petugas berwenang, melarang masyarakat juga tidak gampang. Akhirnya, meski dengan sejumlah aturan, penangkapan ikan dengan bahan peledak atau perdagangan terumbu karang ilegal tetap marak.
Ayah Saptoyo di masa hidupnya bekerja sebagai nelayan. Namun meskipun hasil laut melimpah, ayahnya tidak pernah menangkap ikan secara berlebihan. Sebelum melaut, biasanya ia akan menanyai terlebih dahulu orang-orang yang membutuhkan ikan. Kemudian ia akan menangkap sesuai dengan jumlah pesanan, di samping untuk kebutuhan sendiri. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, Saptoyo melanjutkan sekolah di kota dan kembali ke desanya selepas sekolah menengah . Ia juga sempat bekerja jadi nelayan. Ia ingat satu pesan ibunya ketika itu, “Kalau cari ikan, secukupnya saja. Kalau habis cari lagi.”
Saptoyo melihat kerusakan ekosistem telah dimulai sejak sekitar 1998 ketika peristiwa krisis ekonomi terjadi. Era itu juga menandai berakhirnya Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi. Di masa itu, masyarakat mulai bergerak secara massal untuk menghancurkan hutan, termasuk hutan mangrove. Pada 2004, selain ikan menurun secara drastis, muncul masalah kelangkaan air bersih. Di titik itu, ia mulai sadar akan bahaya yang mengancam keberlanjutan hidup generasi mendatang. Ia pun tergerak melakukan sesuatu.
Pada 2005, ia mulai melakukan penanaman mangrove di sepanjang kawasan pesisir di desanya bersama keluarga dan beberapa teman dekat. Kenapa ia memilih mangrove? Sebab ia melihat bahwa kawasan hutan mangrove adalah yang paling sering diabaikan. Ketika masyarakat menghancurkan hutan lindung untuk mengambil kayu, lahannya masih diolah sebagai kebun. Sementara hutan mangrove, ketika sudah hancur, masyarakat biasanya akan meninggalkan begitu saja.
Lama-kelamaan, ternyata ia menemukan sejumlah orang yang memiliki ketertarikan yang sama, yang kemudian ia ajak untuk bergotong royong melakukan penanaman. “Ketika mulai ada orang lokal yang tertarik, saya jadi merasa punya beban moral bahwa apa yang saya perjuangkan ini harus berdampak,” paparnya. Ketika itu ia masih memiliki toko dengan omzet yang lumayan. Biaya penanaman dia peroleh dari penghasilan tokonya. Ketika mulai fokus dengan aktivitas restorasi yang telah ia mulai, Saptoyo memutuskan untuk menutup tokonya. Aset-asetnya ia masukkan ke bank. Sementara modal yang tersisa, ia gunakan untuk membiayai penanaman yang ia lakukan bersama anggota komunitasnya. Termasuk biaya operasional di lapangan dan biaya transportasi yang ia butuhkan ketika ia harus keluar untuk mencari jaringan.
Upaya yang dilakukan Saptoyo bukan tanpa tantangan. Pada Mei 2015, ia menyadari bahwa secara tidak sadar ia telah melakukan sebuah kesalahan secara regulasi. Areal yang ia tanami selama ini rupanya berstatus tanah negara (hutan lindung) dan dikelola oleh Perhutani. Masyarakat yang melakukan penanaman tanpa izin akan dianggap sebagai perambah. Sebagai upaya membela diri, Saptoyo menggunakan undang-Undang No 41 Tahun 1999 yang mengatur tentang perlindungan hutan. Pasal 62 dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa masyarakat punya peran pengawasan dalam pengelolaan kawasan hutan. “Saya tidak terima, karena sudah tidak ada yang diawasi. Makanya saya melakukan upaya recovery,” jelas Saptoyo.
Namun ternyata masalahnya tidak bisa dibuat jadi sesederhana itu. Saptoyo harus tetap berhadapan dengan hukum hingga ke Polres atas tuduhan masuk kawasan tanpa izin dan pungutan liar (pungli). Tuduhan pungli ini diberikan karena ia dan timnya mulai melakukan penjualan bibit mangrove. Namun bagi Saptoyo, pada dasarnya bibit mangrove tersebut dijual bukan untuk tujuan memperoleh profit. Itu hanya strategi agar masyarakat memiliki rasa kepemilikan. “Awalnya gratis. Tapi banyak yang menanam sekadar karena senang main ke pantai. Akhirnya banyak bibit yang mati,” jelasnya. Setelah menjalani beberapa proses pemeriksaan, dan atas dukungan dari teman-temannya, akhirnya kasusnya dihentikan dan dia bisa pulang ke rumah.
Kini, kawasan yang direstorasi berkembang menjadi Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna, sebuah destinasi ekowisata seluas 115 hektar. Pantai sepanjang 2,5 kilometer ini tidak hanya menjadi tempat wisata, tetapi juga pusat edukasi lingkungan. Salah satu program unggulannya, micro dive, mengajak pengunjung mengenal keindahan bawah laut dengan objek siput pasir.
Namun, pekerjaan Saptoyo belum selesai. Baginya, tantangan terbesar saat ini adalah menyadarkan masyarakat bahwa konservasi adalah investasi untuk masa depan. “Kita sudah mengembangkan, tapi masih ada yang menganggap kita menghalang-halangi mereka untuk mengeksploitasi sumber daya laut.”
Aniswati Syahrir
Kader Pusaka Indonesia Wilayah DKI Jakarta – Banten
Sumber foto: goodnewsfromindonesia.id