Skip to main content

Perjalanan mencari jalan pulang akhirnya kutemukan hari ini, di saat ngobrol dengan Ika. Pengakuan kepada diri sendiri, menerima diri ini apa adanya tanpa ada yang ditutup – tutupi. Untuk diri sendiri saja, aku tidak mau membuka diri dan menerima apa adanya. Bagaimana aku bisa bertumbuh? Pemahaman ini muncul dan aku baru sadar bahwa akibatnya sangat menghambat pertumbuhan jiwaku. Saat Ika bicara tentang pengakuan, air mataku turun. Di dada terasa ada yang tak enak, egoku tersentil tapi aku hanya diam. Seperti ini rasanya kalau ego tersentil. Rasa tak enak, sakit, tapi aku coba untuk terima dan rasakan karena ingin tahu seperti apa rasanya.

Proses pemahamanku berlanjut, sambil berbaring di lantai air mataku perlahan turun seiring lagu Nostalgia dari Secret Garden. Kilas balik masa kecil bermunculan, trauma, rasa sakit semakin membuat air mataku tak terbendung. Saat aku dibully dan dilecehkan. Sambil sesenggukan aku lihat diriku saat kecil, dan aku meminta maaf karena tak menghiraukan rasa sakitnya tapi terus menutupi dengan tertawa yang semu. Peristiwa demi peristiwa muncul, sampai ke kehidupan masa kini, bagaimana aku tidak menghargai tubuhku sebagai kendaraan jiwaku. Aku dengan seenaknya memakainya tanpa berpikir bahwa itu merusak tubuhku. Dada rasanya sakit dan sesak karena air mataku terus turun.

Selama ini aku terus – menerus mengingkari dan lari. Kucari pelarian semu yang kupikir bisa menutupi kesedihan dan kegelisahanku.  Terus bertumpuk hingga kini. Aku makin tak tahan, karena apa yang kucari tak juga kutemui yaitu kedamaian dan kebahagiaan. Orang menganggap aku lucu dengan lelucon recehku, ternyata itu adalah pelarianku pelampiasan rasa sedihku. Dengan melihat orang lain bahagia aku ikut bahagia, kebahagiaan yang semu karena datang dari luar diri. Saat sendiri maka kebahagiaan itupun menguap.

Fisikku pun kena imbasnya, sakit pilek dan batuk berkepanjangan yang sebetulnya sangat mengganggu kuabaikan. Aku anggap itu hal biasa, dan memang sudah sewajarnya. Aku merasa diriku kuat, sakit seperti itu ya biasa saja, tak perlu manja dan digubris. Aku tak mau mendengar tubuhku. Lagi – lagi aku menyepelekan kendaraan jiwaku.

Penerimaan dan pengakuan ke diri sendiri ternyata tak gampang. Sekali lagi ego yang tinggi dan tak mau merasa sakit lagi membuatku bertahan dengan keras kepala untuk tetap seperti ini, bersembunyi dalam cangkang amanku. Sesuatu yang kini baru kusadari, pelarian itu semakin membuatku terpuruk. Sulit untuk bahagia, tegang, dan tidak bisa mengalir apa adanya.

Saat berbaring itu kulihat lembaran kertas beterbangan dari tubuhku, dan terbakar terbawa angin. Kelegaan ini baru di lapis awal, perjalanan pulang jiwaku masih belum selesai. Meski begitu, badanku sudah terasa enteng. Malam itu ditutup dengan Meditasi Penjernihan Jiwa (Penyembuhan Luka Batin). Air mataku kembali turun, aku dituntun untuk meminta maaf pada tubuhku , juga orang – orang yang bermunculan begitu saja. Aku peluk jiwa – jiwa mereka, rasanya luar biasa damai. Seperti ini rasanya damai, indah dan akupun tidur sangat nyenyak.

Aku teringat pesan dari Immortal lewat Mbak Ay, berikut satu cuplikan paragraf terakhir dari pesan itu “ Tidak ada sebuah kebetulan anakku, dirimu sudah berada pada tempatnya sesuai dengan rancangan agung. Maka gunakanlah free will mu dengan tepat dan bijaksana. Ketulusanmulah yang menyelamatkanmu. Maka kembalilah pada kesejatianmu sebagai sebuah jiwa yang agung dan berkaryalah”. Jiwaku sudah memanggil untuk pulang, setelah bertahun – tahun berlindung ke pelarian semu. Kini saatnya pulang kembali pada kesejatian sebagai sebuah jiwa yang agung.

Penulis : Fransisca Sicilia Evi Wijayawati – Bendahara Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah. Foto oleh Ika Affifah Nur.