Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta Raharja yang artinya kekayaan alam yang melimpah dan kondisi yang aman tentram, adalah kalimat yang sering kita dengar, terutama untuk generasi yang mengalami masa-masa sekolah di era Orde Baru. Jargon yang indah, yang membawa kita pada bayangan tanah tumpah darah, rumah tempat kita lahir, tumbuh besar dan menua ini sebagai tanah yang subur, kaya dengan segala sumber daya dan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya, dan juga ketentraman.
Namun faktanya ternyata tak seindah itu. Atas nama pembangunan, tanah, air dan udara kita diperas, dikotori dan dihancurkan. Kita sekarang hidup di masa dimana banjir, longsor, polusi dan penyakit merajalela. Tanah subur makin sempit dan para petani pun tak mampu lagi membeli beras, nelayan tetap miskin, dan anak-anak muda desa berbondong-bondong ke kota dan menjadi buruh pabrik, atau kerja apa saja karena tak ada lagi pekerjaan untuk mereka di desa. Tanah air yang Gemah Ripah itu hanyalah mimpi, karena manusia mengelolanya dengan rakus dan keserakahan.
Tahun 2020, lahir sebuah gerakan yang diinisiasi oleh Guru Meditasi Setyo Hajar Dewantoro dan sekumpulan murid-muridnya, bernama Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah (PIG). Panggilan untuk mengembalikan kejayaan Nusantara itu sudah semakin kuat dan tak bisa ditunda lagi. Saatnya para spiritualis turun gunung berkarya di ranah praktis, dan bukan hanya di tataran energi.
Sebagaimana layaknya hukum energi Semesta yang presisi, maka perkumpulan ini pun menarik mereka yang mempunyai misi dan visi yang sama. Energi jiwa-jiwa agung yang terpanggil ini berkumpul dan menjadi simpul kekuatan untuk mulai melakukan perubahan. Menciptakan Bumi Sorgawi dengan menjadikan tanah Nusantara kembali menjadi tanah yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta Raharja.
Pada 17 Januari 2021, 45 kader dan pendiri Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah berkumpul di Desa Sumbersuko, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang untuk menyatukan rasa, dan pemikiran mengenai visi Indonesia yang jaya. Ini bukan perkumpulan biasa, karena yang hadir dan terpanggil bukanlah mereka yang berlimpah harta atau orang-orang besar dan sering tampil di media. Bukan kontribusi materi ataupun jejak rekam di kancah perpolitikan yang diharapkan, cukup ketulusan untuk berkarya sepenuhnya bagi masyarakat dan Ibu Pertiwi. Tak peduli anda siapa, punya uang berapa, jabatan anda apa, selama anda memiliki ketulusan hati dan bersedia untuk berkarya bersama, itu sudah cukup. Pada kelanjutannya Semesta yang akan bekerja menempatkan anda berkarya dimana sesuai talenta terbaik yang dimiliki. Konsep berorganisasi yang mungkin cukup absurd bagi kebanyakan orang.
Kami berkumpul di Pendopo Kembangkopi, sebuah tempat yang sangat asri, dengan kudapan khas pedesaan yang disediakan oleh masyarakat desa sekitar. Adalah Pietra Widiadi seorang aktivis lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, yang membeli tanah seluas 3600m2 di kaki Gunung Kawi ini pada tahun 2015 dan mengembangkannya sendiri.
Pietra yang juga pendiri Dial Foundation merancang Pendopo Kembangkopi sebagai etalase hasil produksi dan usaha warga. Disini tersedia juga layanan fasilitas belajar berupa ruang belajar, lahan pertanian atau pekarangan untuk praktek karangkitri dan karang kinten serta miniatur pengelolaan sanitasi yang sesuai dengan kondisi rumah tinggal.
Untuk mendorong masyarakat membangun rumah sehat dengan sanitasi yang baik, Pietra menggagas konsep home stay bagi warga setempat. Untuk tamu-tamu yang mengikuti pelatihan di Pendopo Kembangkopi dan memerlukan tempat tinggal, Pietra menawarkan mereka untuk menginap di rumah warga dengan membayar biaya Rp.100.000/malam sudah termasuk sarapan. Ada sekitar 20 rumah yang sudah berpartisipasi menjadi penyedia jasa penginapan hingga saat ini.
Rupanya konsep menginap di rumah warga, dan bukan di hotel atau penginapan biasa, merupakan hal yang baru bagi kebanyakan orang, termasuk untuk kader PIG yang datang dari luar kota. Nyoman Suwartha akademisi yang datang dari Depok bersama istrinya ini termasuk yang merasakan pengalaman pertama yang tak terlupakan menginap di rumah warga, yang tidak dia kenal. Awalnya canggung dan sungkan. Namun ternyata keramahan yang tulus dari Ibu Jumiatin dan Mbah Uti tuan rumah yang diinapi oleh Nyoman dan istri itu betul-betul memberikan kesan yang luar biasa.
Nyoman menyebutnya keberlimpahan dan kebahagiaan dalam kesederhanaan. “Pengalaman homestay yang sangat luar biasa.. Saya sangat merasakan keramahtamahan, ketulusan dan kasih yang nyata dari sosok bu Jumiatin dan mbah Uti. Seperti yang Pak Piet sampaikan, 100 ribu tidak bisa mengukur akan keberlimpahan yang kami terima. Mulai dari udara yang sejuk bersih, suara kokok ayam membangunkan di pagi hari, air dingin yang menyegarkan, hidangan yang disajikan, hingga oleh-oleh krupuk singkong, kue, telor puyuh dan tanaman puring, semuanya tak ternilai.”
Pengalaman serupa juga dialami oleh Agus Paterson yang datang dengan berkendara mobil dari Jakarta, dan menginap di rumah Ibu Rupiah dan Bapak Supriadi. “Meski tiba sudah larut malam, saya disambut penuh sukacita dan keramahan yang tulus. Selain itu saya juga dibuat terkesan oleh fasilitas kamar yang bersih dan nyaman dengan perabot lengkap seperti hotel. Tak hanya itu, keesokan harinya saya lagi-lagi dibuat terkesan dengan sarapan mewah yang disajikan. Rasanya kalau dihitung dengan materi, tak sebanding dengan apa yang kita beri dengan yang disediakan, itu dari sisi materi, belum lagi yang tak ternilai harganya. “Keramahan Ketulusan dan Sukacita” dalam melayani.”
Selain homestay, masih ada banyak produk-produk hasil pertanian warga yang dijajakan melalui Pendopo Kembangkopi, seperti kopi robusta dan minuman fermentasi buah-buahan. Selain itu makanan berat dan kudapan yang disajikan disini semua diolah oleh ibu-ibu warga setempat.
Konsep berbagi dan memberdayakan masyarakat yang awalnya cukup berat disosialisasikan oleh Pietra, terutama karena dia dianggap pendatang, bukan warga asli setempat, pelan-pelan membuahkan hasil. Bukan hanya trust pada niat baik dan ketulusan Pietra, warga juga mulai meniru dan mengelola lahan dan sumber daya yang dimilikinya dengan nilai-nilai keberlanjutan, agar sumber air terjaga, dan masyarakat bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dari kebun sendiri.
Satu hal penting yang Pietra tekankan dari presentasinya di depan para Kader PIG adalah “pembangunan itu bukan merusak”. Nilai itulah yang Pietra praktikkan dengan Pendopo Kembangkopi, contoh kecil bagaimana bumi Gemah Ripah itu bisa diwujudkan dengan bermodal ketulusan dan pengabdian yang paripurna pada Ibu Pertiwi