Skip to main content

Sejak kecil saya suka membaca. Hanya saja, karena saya tinggal di kampung dengan keterbatasan ekonomi, saya tidak pernah bisa membeli buku sampai bisa menghasilkan uang dengan keringat sendiri setelah dewasa. Membaca membuat saya asyik dalam kesendirian tanpa merasa kesepian. Dari suka membaca itulah, saya juga mulai tertarik dengan dunia kepenulisan. Makanya ketika ada flyer Kelas Menulis Jurnalisme Pusaka yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Matahari dan Pusaka Indonesia, saya langsung mendaftar.  

 Kelas berlangsung secara online via Zoom tanggal 5 November 2023. Bertindak sebagai host, Nenden Fathiastuti, Ketua Bidang Media dan Kampanye Pusaka Indonesia dan pemateri Ficky Yusrini, seorang penulis dan editor. Awalnya, saya mengira kelas akan berlangsung serius seperti belajar di sekolah. Ternyata, kelas berlangsung ramai dan seru! Menit-menit awal memang terasa agak formal, pengantar tentang apa pentingnya belajar menulis. “Sebagai pembelajar di Persaudaraan Matahari sebetulnya sudah tidak asing dengan tugas-tugas menulis, seperti tulisan reflektif dan sharing pengalaman hening sebagai bagian dari pembelajaran spiritual. Ini adalah modal awal untuk ditumbuhkan jadi potensi yang bisa diasah lagi, membuka talenta dan kreativitas lain yang mungkin tidak pernah disadari sebelumnya,” jelas Ficky.  

Selanjutnya, pemaparan lebih ringan dan makin mengalir. Keseruan dan kehebohan mulai terjadi saat semua peserta diberikan tugas menulis spontan dengan tema bebas, selama tujuh menit saat itu juga, tanpa kecuali, termasuk Wakil Sekretaris Jenderal Pusaka Indonesia, Ay Pieta. Panik, lucu, gaduh, dan riuh, mengalahkan kegaduhan anak-anak sekolah saat diberi tahu ada ulangan mendadak. Beberapa peserta diminta untuk membacakan tulisannya. Saya sempat ragu-ragu untuk mengangkat tangan, namun segera ditepis. Sadar itu sigel atau sisi gelap, akhirnya, dengan sedikit gugup, saya pun berhasil membacakan tulisan saya sendiri di depan teman-teman. Horeee…! Teringat juga, pesan dari Ay Pieta di sesi ini, menulis bisa menjadi wahana rileks dan melepaskan sumbatan-sumbatan yang selama ini mengganjal. 

Usai kelas, peserta diberikan tugas menulis setiap harinya. Menulis cepat tanpa berpikir, selama tujuh menit, tujuh hari berturut-turut, dengan tema yang sudah ditentukan. Temanya lucu-lucu. Kadang saya tersenyum, kadang mengerutkan alis. Menulis kali ini sangat jauh berbeda dengan belajar menulis saat saya di sekolah. Ada tema mandi, kursi, cermin, petir, lubang, sampai nama kota dengan nilai historis tinggi: Persepolis! 

Latihan menulis setiap hari dengan durasi tujuh menit memberikan pengalaman yang sangat mengesankan. Saya yang pernah suka menulis tapi terpaku pada berbagai aturan yang membuat saya menyerah, perlahan-lahan mulai bisa rileks. Ya, tentu saja kami di sini tidak diberikan nilai seperti saat duduk di bangku sekolah. Tugas yang diberikan di sini adalah untuk membiasakan diri merangkai kata, menyelaraskan dan menuangkan apa yang ada di dalam pikiran ke dalam bentuk kalimat yang berbeda-beda. Seperti kata pepatah, “Asa bisa karena terbiasa.” Penyakit saya, sering merasa tak mampu membuat akhir sebuah tulisan, dengan durasi yang relatif singkat ini membuat saya ‘dipaksa’ untuk menyelesaikan tulisan seadanya. Ya, meskipun tidak diawasi saat menulis, namun inilah tes kejujuran yang sesungguhnya! Ada kalanya dalam tujuh menit itu saya bisa menulis cukup panjang, namun ada kalanya juga pendek sekali. Namun, inilah kejutannya. Eh, ternyata saya bisa ya menulis sesingkat itu! Rasanya seperti mendapatkan door prize!

Seminggu kemudian, kelas online kedua diadakan lagi di 12 November 2023. Materinya tentang aspek penting dalam menulis, seperti cara penyajian tulisan yang simpel dan jernih, kekuatan gagasan yang ingin disampaikan, dan ketiga, gaya penulisan. Tentang gaya penulisan ini ada banyak teknik yang bisa dipelajari sebagai amunisi dalam menulis. Salah satunya adalah majas. Saya jadi teringat pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dulu yang sudah terkubur dalam ingatan. Padahal, seperti disampaikan Ficky, sebetulnya dalam praktik keseharian kita sering menggunakannya dan bahkan mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari.

Di pertemuan kedua ini pula, Ficky memberikan feedback yang semakin menumbuhkan minat, sekaligus kepercayaan diri yang nyaris tidak saya miliki untuk terus mengasah kemampuan menulis yang bagi saya tidak mudah, namun menyenangkan. “Teman-teman di sini sudah mulai kelihatan karakternya dari tulisan-tulisan PR yang dibuat,” begitu pernyataan Ficky. Tamparan buat saya, yang  selama belajar masih suka menunda-nunda PR, menyerah disibukkan dengan berbagai aktivitas harian.

 Setelah kelas kedua, atas permintaan mayoritas peserta yang menginginkan kelanjutan kelas, terkabulkan. Kelas berlanjut di WhatsApp Group (WAG) dengan materi dan latihan-latihan, tentunya, sebab menulis adalah praktik. Masih dengan style menulis spontan, pendek, dan rileks. Kelas lanjutan ini diikuti 80 peserta, siap berproses. 

 Buat saya pribadi, bukankah kesempatan untuk mengasah talenta sudah disodorkan?

Tinggal pilih, mau tumbuh atau mau tetap di zona nyaman. Dua bulir bening di sudut mata berbicara tentang rasa yang tak mampu tertuang ke dalam rajutan aksara. 

 

Aan Anamah

Peserta Kelas Menulis Jurnalisme Pusaka

Kader Pusaka Indonesia Wilayah Jawa Barat