Skip to main content

Di usia yang masih relatif sangat muda, saya sudah mengalami betapa tidak menyenangkannya hidup dalam api neraka. Saya tumbuh di tengah keluarga yang (pada saat itu) jauh dari kategori harmonis. Hidup di tengah pertikaian antar orang dewasa membuat saya mempertanyakan bagaimana cara menciptakan kehidupan yang damai. Di saat remaja yang lain mulai bermimpi untuk menjadi orang kaya, saya bermimpi meraih hidup yang penuh kedamaian. Neraka yang saya rasakan itulah yang pada akhirnya mendorong saya untuk meniti jalan spiritual. Tentu saja, perjalanan itu tidak langsung mengantarkan saya ke jalan keheningan sejati. Semenjak duduk di bangku perguruan tinggi, saya mulai gemar mempelajari kepercayaan di luar kepercayaan yang saya anut kala itu. Saya membuka cakrawala pengetahuan saya dengan mempelajari kepercayaan lain, baik melalui membaca buku maupun berselancar di dunia maya.

Saya terus mengedukasi diri saya dengan mengumpulkan teori-teori tentang bagaimana menciptakan hidup yang penuh kebahagiaan. Sayangnya, teori-teori tersebut hanya saya koleksi, tanpa saya praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu teori yang saya dapatkan dari pencarian saya tersebut adalah meditasi. Hampir semua buku spiritual yang saya baca, selalu menyarankan meditasi sebagai jalan ninja menuju hidup yang penuh suka cita. Saya pun sempat mencoba berlatih meditasi sendiri namun tentu saja saya gagal karena pada waktu itu pemahaman saya akan meditasi adalah laku mengosongkan pikiran. Sebaliknya, semakin saya mencoba mengosongkan pikiran semakin tidak karuan pikiran saya berkeliaran.

Akhir tahun 2016, gerak Semesta mengantarkan saya memulai kehidupan di Bali. Di pulau dewata ini, kesempatan saya untuk belajar spiritual semakin terbuka lebar. Saya bertemu dengan teman-teman yang berasal dari berbagai wilayah dari Indonesia maupun mancanegara yang membuat saya semakin nyaman dalam mempelajari spiritualitas. Tidak seperti kehidupan saya sebelumnya di Yogyakarta, pergaulan saya di Bali jauh lebih terbuka. Saya lebih nyaman menjadi diri saya karena teman-teman saya lebih menghargai perjalanan spiritual masing-masing orang. Kelas yoga maupun meditasi juga lebih mudah diakses di Bali. Saya beberapa kali mencoba mengikuti kelas meditasi yang dipandu oleh guru lokal maupun internasional. Namun, seringkali saya merasa tidak menemukan apa-apa dari kelas tersebut, yang pada akhirnya membuat saya tidak pernah kembali ke kelas-kelas itu lagi. Hingga akhirnya, di akhir tahun 2018 melalui pertemuan saya dengan seseorang di Ubud, saya memulai babak baru dalam perjalanan spiritual saya. Orang tersebut menyampaikan kepada saya bahwa saya cocok untuk belajar ilmu spiritual Jawa. Jujur saja, saya kaget mendengarnya karena menurut pemahaman saya (saat itu) spiritual Jawa cenderung ke laku supranatural yang mana jika ingin bersemedi maka harus pada hari-hari tertentu maupun di tempat-tempat yang dianggap magis. Akan tetapi, saya tetap membuka diri untuk mempelajari spiritual dari Nusantara.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Beberapa minggu setelah itu, saya berkunjung ke sebuah toko buku di Denpasar. Mata saya tertuju pada buku Suwung yang sudah jelas terlihat dari judulnya saja sudah pasti membabarkan ajaran leluhur Jawa. Selesai membaca buku Suwung, persepsi saya mengenai ajaran leluhur Nusantara mulai berubah. Ternyata ajaran spiritual dari negeri sendiri tidak kalah agung dengan ajaran yang selama ini saya pelajari yang sumbernya dari bumi bagian lain. Saya pun juga membaca buku Sastrajendra sebagai kelanjutan akan ketertarikan saya terhadap ajaran Mas Guru Setyo.

Tahun 2019, saya berjatah mengikuti kajian yang Mas Guru selenggarakan di Bali. Meskipun di kajian tersebut banyak hal yang belum saya mengerti, saya mengikuti rasa dalam hati saya bahwa saya harus kembali belajar di kajian-kajian berikutnya. Di tahun 2019 itulah saya mulai memahami apa itu meditasi. Dengan bantuan audio yang dibagikan pada para murid, saya mulai membangun kebiasaan meditasi duduk di pagi hari. Tentu saja ketika meditasi pikiran saya masih sering melayang kesana-kemari (sampai sekarang pun masih hehe), tetapi saya hanya mengikuti rasa dalam diri saya bahwa saya harus terus meniti jalan keheningan ini. Selain belajar meditasi, saya juga mulai belajar untuk mengikuti tuntunan dalam diri.

Akhir tahun 2019, tidak ada angin tidak ada hujan, muncul tuntunan dalam diri untuk saya kembali menjalani hidup di tanah kelahiran saya, Yogyakarta. Pada awalnya, pikiran egoistik saya menolak tuntunan ini. Terlintas di benak saya, kenapa saya harus meninggalkan kehidupan yang menyenangkan ini di Bali? Namun, tuntunan itu terus datang, menolak untuk diabaikan.

Akhir tahun 2019, saya pun kembali menjalani hidup baru saya di Yogyakarta. Setelah sebelumnya saya nyaman menjalani hidup jauh dari tempat yang saya anggap sumber masalah, saya harus kembali menghadapi dinamika di rumah. Namun, seiring dengan pembelajaran spiritual saya, pemahaman saya pun sedikit demi sedikit semakin meluas. Dahulu ketika remaja saya menumpuk banyak kekecewaan kepada orang-orang dewasa yang menyalakan api neraka di saat saya sedang tumbuh berkembang. Bertahun saya memelihara amarah tersebut hingga menjadi luka jiwa. Dewasa ini, saya mulai melepaskan kekecewaan-kekecewaan tersebut karena tekad saya untuk sembuh dari luka jiwa. Sembuh dari luka jiwa adalah jalan menuju kedamaian sejati, itu yang saya yakini.

Lebih lanjut lagi, saya pun memahami bahwa orang tua saya adalah juga produk dari orang tua mereka yang juga memiliki luka jiwa. Mereka terluka dan tidak memiliki cukup pengetahuan untuk menyembuhkannya. Jangankan menyembuhkannya, menyadarinya bahwa jiwa mereka terluka saja belum tentu terlintas di benak mereka. Dibanding dengan generasi saya, generasi orang tua saya lebih tidak familiar dengan ilmu kesehatan jiwa. Saya pun mulai menerima bahwa mereka yang dulunya saya anggap menyakiti saya, ternyata sudah memberikan yang terbaik yang mereka bisa berdasarkan level kesadaran mereka masing-masing. Selain itu, saya pun mulai melihat orang tua saya dengan pandangan yang semakin utuh. Saya mulai menyelami cerita perjalanan mereka sebagai manusia, mereka pun banyak melewati masa-masa yang sulit dari kecil hingga dewasa. Jika pada akhirnya mereka belum mampu menyembuhkan luka jiwa mereka dan dengan tidak sadar menurunkan luka itu kepada anak-anaknya, itu adalah hal yang sering terjadi di kota-kota besar. Jika saya terus menyalahkan mereka, maka saya juga akan menyalahkan kakek nenek saya dan para leluhur sebelumnya karena terus-menerus menurunkan luka jiwa.

Playing victim ini bukanlah solusi. Itu sama halnya saya menyalahkan kelahiran saya di bumi. Luka jiwa ini adalah salah satu resiko saya menjadi manusia di bumi. Barangkali memang tugas saya untuk memutus lingkaran setan ini. Estafet api neraka secara turun-temurun ini harus berhenti sampai di sini. Semesta memberi jatah kepada saya untuk belajar spiritual agar saya mulai menciptakan kehidupan surgawi. Neraka adalah modal awalnya. Tanpa pengalaman merasakan kehidupan neraka, saya tidak akan tergerak untuk belajar menciptakan kehidupan surga. Saya tidak akan ada di sini, menuliskan ini.

Tahun 2019 berlalu sebagaimana adanya. Meskipun saya sudah belajar meditasi, proses healing saya ya masih begitu-begitu saja. Masih banyak teori yang belum terintegrasi dengan laku saya sehari-hari. Masih sering lupa menyadari nafas. Masih sering lupa untuk menikmati momen masa kini. Lalu, di sepanjang tahun 2020 saya menjadi lebih dekat dengan Bapak. Waktu yang lebih banyak saya habiskan di rumah membuat saya semakin banyak berbincang dengan beliau. Perbincangan yang dulu sangatlah langka terjadi. Meskipun tidak langsung instan terjadi, sedikit demi sedikit saya mengurangi kekecewaan saya pada beliau. Jika dahulu saya melihat sosok Bapak hanya dari satu sisi, saya mulai melihat Bapak dari sisi yang lain. Darah spiritual yang mengalir di darah saya ini, barangkali memang berasal dari beliau. Di masa mudanya, beliau pun mempelajari ilmu spiritual jawa. Dahulu, Ia mempraktikkan meditasi. Namun, seiring semakin peliknya hidup menjadi manusia, beliau tidak lagi rutin menjalankan lakunya. Akan tetapi, beliau tidak pernah meninggalkan nilai-nilai yang dulu Ia pelajari. Beliau senang, mengetahui putrinya meneruskan legacy yang dulunya sempat Ia jalani.

Awal tahun ini, jiwa Bapak meninggalkan bumi. Pengalaman Bapak menjadi manusia resmi berakhir di 3 Januari 2021. Betapa lucunya pengalaman hidup saya di bumi kali ini. Ketika saya sudah mulai dekat dan membangun hubungan baik dengan Bapak, semesta menarik jiwa Bapak untuk pergi dari bumi. Jika saya menuruti pikiran egoistik saya, saya bisa saja mengutuk gerak semesta ini. Namun, saya memilih untuk mengalir bersamanya. Di saat masih banyak luka jiwa saya yang belum sembuh, dalam perjalanan menyembuhkannya saya dihadapkan dengan emosi negatif yang lain: grief. Sebagai manusia yang untuk pertama kalinya mengalami duka ditinggalkan orang terkasih, melewati masa duka ini tentu tidaklah mudah. Kehilangan orang tercinta di saat situasi dunia sedang tidak waras, saya ditantang untuk tetap menjadi waras.

Di sisi lain, peristiwa meninggalnya Bapak saya ini membawa banyak pelajaran untuk saya. Salah satunya, untuk selalu mengikuti tuntunan dari dalam diri. Sepeninggal Bapak, saya baru menyadari bahwa pesan untuk kembali ke rumah setelah sekian tahun merantau di pulau Bali adalah untuk menemani Bapak menghabiskan setahun terakhirnya di bumi. Sekaligus kesempatan saya untuk melepaskan emotional baggage saya terhadap Bapak yang selama ini membebani diri saya sendiri. Pun, di atas skenario-Nya yang tak terduga. Semesta sangatlah baik karena sebelum Bapak pergi, saya berkesempatan menyampaikan kepada Bapak, bahwa saya berterima kasih karena Ia telah menjadi Bapak saya. Saya juga sudah menyampaikan kepadanya bahwa saya menyayanginya. Meskipun pernah ada masa dimana saya menjalani hubungan anak dan ayah ini dengan terseok-seok. Saya menutup hubungan dengan Bapak saya di realitas fisik ini dengan ucapan penuh terima kasih.

Seperti tahun-tahun sebelumnya. Bulan berganti dengan cepat, tahun 2021 sedang berjalan menuju penghujungnya. Bagi saya, tahun 2020–2021 is just another level. Nderek Kersaning Gusti saya, sangatlah diuji. Begitu banyak momen-momen yang menurut kacamata manusia saya sangatlah tidak menyenangkan. Momen-momen yang kalau saya tidak terima membuat saya terjerembab dalam kesesatan jiwa. Sebagai manusia yang terus mencoba waras, saya belajar menerima peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan tersebut sebagai buah laku saya di masa lalu. Toh, pada akhirnya semua peristiwa bisa dijadikan bahan belajar. Belum lagi luka jiwa dan sisi gelap saya yang terus muncul di permukaan, rasanya tidak ada habisnya. Kalau sedang lelah, terkadang terlintas di benak saya untuk tidak lagi meniti jalan keheningan ini. Saya ingin menjalani hidup layaknya manusia kebanyakan yang masa bodoh dengan kesehatan jiwa dan raga. Untungnya, saya tidak tenggelam dan mengamini pikiran sesaat saya tersebut. Saya bersyukur, karena saya tetap memilih untuk selalu percaya kepada jalan yang sudah ditunjukkan oleh semesta.

Tantangan terbesar saya dalam meniti jalan keheningan ini tentu saja adalah konsistensi. Muscle memory dalam tubuh saya sudah mengenali kegiatan meditasi duduk semenjak 2 tahun yang lalu. Menyempatkan waktu 15–30 menit dalam sehari untuk meditasi duduk bukanlah hal yang berat lagi. Tantangan terbesar saya saat ini adalah konsisten meresapi aliran nafas, baik selama meditasi duduk maupun dalam kegiatan sehari-hari. Tumbuh besar tanpa mengenal hening, membuat saya fasih mengabaikan aliran nafas di dada. Jika saja konsisten meresapi aliran nafas adalah mata kuliah, sudah pasti saya mengulang kelas berulang-ulang kali. Bukannya segera lulus malah berujung jadi maba alias mahasiswa bangkotan (dijitak teacher Irma). However, I still love myself even if I am a slow learner.

Menilik kembali harapan saya sebagai manusia. Hidup damai adalah cita-cita saya semenjak usia remaja. Semesta telah memberikan petunjuk-Nya, tugas saya adalah mewujudkannya. Meskipun masih banyak sekali PR dalam rangka pemurnian jiwa. Saya berterima kasih kepada semesta karena seluruh rangkaian peristiwa di masa lalu telah mengantarkan saya di titik yang sekarang. Secara emosi, saya jauh lebih baik dari saya bertahun yang lalu. Jalan hening ini nyatanya memang membuahkan hasil. Selain secara emosi saya menjadi lebih baik.

Tahun 2021, Semesta membantu saya menghadapi satu isu kesehatan saya tanpa bantuan medis, setelah di tahun 2020 saya menyelesaikan isu yang sama dengan langkah operasi. Tahun ini semesta membuktikan kepada saya bahwa dengan hening saya bisa menyembuhkan diri. Berkah lainnya adalah saya juga dipertemukan dengan teman-teman sesama pejalan keheningan. Belajar spiritual kini tak lagi seberat layaknya dahulu ketika saya menjalaninya sendiri. Akhirnya, saya tidak gila sendirian. Bertemu dengan teman-teman di komunitas telah menginspirasi saya untuk semakin tekun menapaki jalan kesadaran. Cerita hidup mereka membuat saya semakin memahami bahwa dinamika hidup manusia sangatlah beragam, hal ini membuat saya semakin menghormati perjalanan setiap jiwa. Saya pun menjadi semakin menghormati perjalanan jiwa saya sendiri.

Terima kasih kepada Mas Guru Setyo Hajar Dewantoro, karena dengan dengan cahaya dan kasih murninya telah menginspirasi saya untuk mulai belajar menyalakan cahaya di dalam diri saya. Terima kasih atas ajaran luhur-Nya karena dengan itu saya mulai belajar mewujudkan cita-cita saya menjadi manusia yang hidup bahagia di planet bumi ini.

Thank you for being on earth, thank you for shining your light into the world. I am a lucky human as I have the opportunity to learn from you. Lastly, I thank myself as I never stopped believing.

Penulis : Tutut Tria Pertiwi, pejalan keheningan yang juga kader Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah berdomisili di Yogyakarta