Skip to main content

Kebun sayur milik warga di tetangga Dusun Ngemplak

Tiga bulan setelah mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai HRD di sebuah perusahaan property nasional, dengan basis penugasan di Makassar, mulai membuatku bosan karena  tanpa adanya kegiatan rutin. Aku perlu ada aktivitas yang berbeda dari biasanya, yang kujalani setiap hari di rumahku di Rembang Jawa Tengah. Kebetulan di Bulan Februari 2021 ada pelatihan yang diadakan Dial Foundation (Drive Innovation & Alternatives Livelihood) Foundation bersama EJEF (East Java Ecotourism Forum) yaitu Sustainable Livelihood Approach Angkatan V Seri 1 di Pendopo Kembangkopi Dusun Ngemplak, Desa Sumbersuko, Kecamatan Wagir di lereng Gunung Kawi Malang Jawa Timur. Aku sendiri tidak ikut pelatihan ini, hanya mengantar teman – teman kader Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah yang mengikuti pelatihan di sana. Kalau sekedar mengantar kemudian pulang, sepertinya sayang menyia – nyiakan kesempatan belajar banyak di sana. Jadi kuputuskan untuk belajar sendiri yaitu merasakan kehidupan di sana selama empat hari.

Ini catatan perjalananku selama menikmati hari-hari yang terasa lambat tapi penuh makna di Dusun Ngemplak.

HARI 1

Tak sabar rasanya untuk cepat – cepat berangkat ke Pendopo Kembangkopi. Perjalanan Jogja – Malang bersama teman – teman yang akan pelatihan, kutempuh dengan mobil selama 5 jam. Setelah makan malam di Malang, kulanjutkan perjalanan yang hanya tinggal beberapa kilometer lagi ke Pendopo Kembangkopi. Jalan sempit, gelap, naik turun, dan mataku yang tak terlalu awas saat malam hari, membuatku harus sangat berhati – hati.

Aku diantar ke rumah Bu Saodah, rumah di mana aku akan menghabiskan waktuku menginap selama 4 hari di sana. Kamarku ada di lantai 2, bangunan rumahnya tampak masih baru dan bersih. Karena badanku penat, kuputuskan untuk mandi malam ini. Saat berjalan ke kamar mandi, sekilas tercium bau hewan ternak. Sebenarnya aku paling tak tahan dengan bau seperti ini, membuatku mual. Tapi aku sudah memutuskan untuk tinggal di rumah warga, jadi aku harus bisa menerima apapun yang aku hadapi di rumah warga. Aku betul – betul ingin merasakan seperti apa hidup di desa, mencium aroma tanah sehabis hujan bercampur bau kotoran hewan ternak, dan sesekali mendengar lenguhan suara sapi di kandang sebelah rumah warga yang kutempati. Kucoba untuk tidur malam ini, sambil sesekali menggigil kedinginan setelah mandi malam dengan air yang super dingin.

HARI 2

Ternyata aku bisa tidur nyenyak di hari pertama ini, padahal biasanya agak sulit buatku untuk tidur di tempat baru. Udara pagi yang dingin, suara burung – burung, dan lenguhan sapi membuatku malas bangun. Hari ini hari pertama untuk menjelajah Desa Ngemplak dan sekitarnya. Hal paling nikmat yang selalu kulakukan setelah bangun tidur adalah sarapan, bukan mandi terlebih dulu. Bu Saodah sudah menyiapkan sarapan pagi dan teh manis  hangat. Masakan rumahan yang sederhana tapi enak, apalagi di akhir sarapan masih ditambah lagi dengan semangkok kolak pisang ubi. Lengkap sudah energi untuk jalan – jalan pagi ini.

Setelah mengalahkan kemalasan untuk mandi air dingin, aku ditemani Mas Fauzi local guideku mulai bersiap menjelajah desa. Kebetulan Mas Fauzi adalah keponakan Bu Saodah yang tinggalnya bertetangga. Tujuan pertamaku ke rumah warga yang membuat usaha tahu goreng di dekat Dusun Ngemplak. Masih sangat sederhana dan tradisional, memasaknya menggunakan kayu bakar dan peralatan yang sederhana. Tapi jangan ditanya hasilnya, tahu gorengnya enak banget. Aku dipersilahkan untuk mencoba sebebasnya, langsung ambil dari tempatnya setelah digoreng. Jadi masih panas, dan terasa asin karena ditambah dengan taburan garam.

Pemandangan dari Gunung Katu

Puas mencoba beberapa buah tahu goreng, kami melanjutkan perjalanan ke Gunung Katu, bertempat di Dusun Sumberpang Kidul, Desa Sumbersuko, Kecamatan Wagir, tidak jauh dari Dusun Ngemplak, tempatku menginap. Sebenarnya secara fisik aku tak siap, karena sepertinya jalannya naik dan berkelok juga licin setelah hujan semalam. Tapi kok nanggung rasanya kalau aku kelewatan untuk naik ke gunung ini. Aku pikir, kapan lagi aku bisa menjelajah naik gunung seperti ini. Kuputuskan untuk nekat saja. Betul saja, jalannya menanjak, kadang menyempit, dan licin sehingga aku harus berhati – hati. Semak – semaknya juga lumayan tinggi, dan banyak sarang laba – laba. Gunung Katu ini berada di ketinggian 705 meter di atas permukaan laut, dan sebenarnya lebih mirip dengan perbukitan.

Beberapa tahun lalu, ada tempat wisata di gunung ini, seperti spot – spot foto dengan latar belakang pemandangan kota, juga wahana – wahana ekstrem seperti extreme swinger, paralayang, dan paramotor. tetapi sekarang terbengkalai entah kenapa. Hanya kadang memang masih ada yang berkemah di gunung ini, karena memang ada fasilitas camping ground di sana. Di gunung itu, dari cerita Mas Fauzi juga ada petilasan pendharmaan Ken Arok. Melewati semak – semak dan jalan yang sudah tak terlihat lagi aku menuju ke tempat itu. Tidak terlihat mencolok, hanya ada dua tempat berisi batu dan kayu panjang yang dipagari kayu di sekelilingnya. Sepertinya sudah lama tidak ada yang berkunjung ke tempat itu.

Kuputuskan cukuplah hari pertama ini menjelajah desa. Akupun kembali ke Pendopo Kembangkopi untuk menikmati makan siang dan duduk santai setelah kelelahan menjelajah gunung dan hutan. Masakan desa habis kulahap, ada sayur bobor, dadar jagung, sambal, tak lupa kerupuk membuatku kekenyangan. Nikmatnya hari ini, walau lelah tapi puas rasanya. Tinggal istirahat, memilih foto – foto dan menuliskan pengalaman di hari ini.

HARI 3

Malam kemarin Bu Saodah menanyakan sarapan apa yang ingin aku nikmati. Karena Bu Saodah merasa bingung kenapa ayam goreng sarapan kemarin tak kumakan. Aku tertawa dan menjawab kalau lebih suka ikan, tahu, atau tempe karena rasanya lebih nikmat. Dan hari ini tersedialah sarapan urap daun pepaya, ikan pindang, dan tempe goreng kampung. Makin semangatlah aku di hari ketiga ini, dengan perut kenyang aku berjalan ke Pendopo Kembangkopi untuk ngopi, ditemani Mas Fauzi lagi juga Anis pelajar SMP di desa ini.

Kegiatan hari ini akan lebih membaur bersama warga, melihat kegiatan, dan menyapa mereka. Sepanjang jalan yang kami lalui selalu saja ada sapaan dari warga, tidak hanya sapaan bahkan kami diminta untuk mampir bertamu. Hal kecil yang sudah mulai hilang di daerah perkotaan. Kami menyusuri jalan desa yang berbatu, dan pemberhentian pertama kami di tempat penggergajian kayu di mana di sebelahnya ada rumah usaha pembuatan bawang merah dan bawang putih goreng. Cara pembuatannya sama seperti usaha tahu kemarin, masih tradisional dan sederhana, yaitu digoreng dengan bahan bakar kayu. Aku membeli beberapa bungkus untuk oleh – oleh.

Berjalan beberapa meter, ada beberapa ibu yang sedang berkumpul melakukan ‘mbiodo’, yaitu kegiatan gotong royong membantu tetangga yang punya hajatan. Mampir sejenak untuk ngobrol dan bercanda dengan mereka, seperti sudah lama kenal. Sayangnya kue – kue dan masakannya belum ada yang matang jadi aku tak bisa mencoba. Mereka menawariku untuk datang kembali besok.

Melewati satu rumah lagi yang mempunyai kebun salak. Kami minta ijin untuk mengambil buah salaknya. Dengan senang hati Mbah Tiana mempersilahkan, kami dipaksa ambil secukupnya setelah Mbah Ti tahu kami hanya mengambil dua biji. Salaknya memang masih banyak banget di pohon, sebagai orang kota merasa kok sayang banget ya tak diambil untuk dijual. Salaknya manis, segar, dan ada sedikit kecut. Segar karena benar – benar diambil langsung dari pohonnya, dan langsung dimakan. Sebagai ucapan terima kasih, Mas Fauzi membantu Mbah Ti untuk mengambilkan buah pepaya yang sudah masak di pohon.

Bersama Anis, teman kecil baruku di Dusun Ngemplak.

Jalan mulai menanjak, kami ingin ke kebun durian milik keluarga Anis biarpun belum berbuah. Sepanjang jalan, kami saling bertukar cerita dan sesekali berfoto bersama. Anis masih sekolah kelas 3 SMP, sedangkan Mas Fauzi guru di SMK. Kami tertawa bersama di sela – sela perjalanan. Ada beberapa tempat lagi yang kami kunjungi seperti peternakan burung puyuh, rumah warga yang menanam anggrek dan tanaman hias untuk dijual, juga kebun sayur yang tidak terlalu luas di pinggir jalan kampung.

Akhir perjalanan kami menyusuri jalan berkelok di sisi kanan kirinya ada berbagai pohon tumbuh rapat. Indah dan sejuk, juga lokasi yang pas untuk berfoto. Cuaca yang tidak terlalu panas, angin semilir membuat perut semakin lapar. Kami pun mengakhiri perjalanan dan kembali ke Pendopo Kembangkopi, duduk santai sambil ngopi diselingi saling ngobrol.

Obrolan berlanjut dengan salah satu fasilitator di tempat ini, Mbak Anggi yang berasal dari Kalimantan dan sedang melanjutkan S2 di Malang. Gelar S1-nya juga diambil di Malang. Kami saling bertukar cerita dan berdiskusi. Satu cara mendapatkan ilmu baru yang asik banget, lewat obrolan, pengetahuanku bertambah. Mbak Anggi lebih fokus sebagai fasilitator untuk anak dan remaja. Ternyata masih ada anak muda jaman sekarang yang mau tinggal di desa, di mana susah sinyal, dan tak ada hiburan. Aku yang tinggal baru tiga hari saja merasa gelisah kesulitan dengan sinyal yang timbul tenggelam. Tak gampang ternyata meninggalkan kemelekatan, biarpun itu hanya pada sinyal handphone dan internet.

Tiga hari tinggal di desa ini, aku merasakan bahwa negeri ini kaya. Satu desa saja mempunyai potensi yang bermacam – macam. Kekayaan dan potensi bangsa yang terhampar jelas di depan mata hanya menjadi proyek, bukan dianggap sebagai potensi. Pemberdayaan warga tidak akan segera maju kalau hanya menunggu pemerintah turun tangan, masyarakatlah yang harus berpartisipasi.

Di sini aku paham, bahwa selama ini kita hanya dicekoki dengan semua yang serba instan, yang sudah disetting secara seragam tanpa melihat kekhasan masing – masing daerah. Pendekatan di lapangan tak seindah teori yang hanya mengejar target pelaksanaan tanpa ada pengawasan lebih lanjut apakah program ini berjalan baik atau tidak. Pendekatan yang tidak humanis, yang hanya berdasarkan yang penting program sudah dilakukan, tercatat, dan ada bujet.

Di hari ketiga ini aku juga belajar, hal yang bersahaja selalu menarik dan abadi. Keramahan, tidak ada perasaan curiga terhadap orang baru, keterbukaan , dan ketulusan yang tidak dibuat – buat akan menjadi modal siapapun untuk bertumbuh.

Setelah menyelesaikan catatan harian di Pendopo Kembangkopi, akupun melangkah pulang ke homestay. Berbaring sejenak melepas kepenatan, tapi tidak bisa berlama – lama karena keburu malam dan akan semakin dingin untuk mandi.

Di sini pun aku belajar tentang tubuh. Saat pertama kali datang, aku mandi jam 19.30. Badan seperti diguyur air es, membeku. Mandi berikut – berikutnya, badan ini mulai bisa menyesuaikan diri. Memang masih dingin, tapi aku sudah tak menggigil. Artinya tubuhku sudah mulai paham, dia butuh menyesuaikan dan menerima itu.

Sama halnya dengan sisi gelap, di awal ada penolakan dalam diri. Kaget, tidak terima tapi kemudian mulai tahap penerimaan diri dan ya semua baik – baik saja. Sebagai orang yang kebanyakan mikir, sering yang terjadi aku takut kalau ada masalah, takut gagal, semua harus sempurna.

Hari ketiga ini banyak pelajaran aku dapat, selain itu juga ditambah pisang goreng panas dan teh manis panas membuatku bersyukur karena telah memutuskan untuk tinggal bersama di rumah warga dan belajar di Dusun Ngemplak ini

HARI 4

Pagi – pagi aku sudah bangun, karena hari ini aku akan melanjutkan perjalanan ke Surabaya untuk ikut acara Workshop Mahadaya di sana. Sebelum meninggalkan rumah Bu Saodah, putrinya memintaku untuk mengisi sebuah buku. Isinya tentang data kita dan kesan selama menginap di sana. Aku jujur menulis, makanan yang disediakan enak, keramahan keluarga, juga tempatnya yang bersih, tak lupa juga tentang bau hewan ternaknya yang khas. Itu kenangan yang berkesan buatku.

Sampai ketemu lagi keluarga baruku. Suatu saat nanti, aku pasti kembali untuk belajar lebih dalam lagi di sana.

#Catatankecilorangkotayangbelajarhidupdidesa

Penulis: Fransisca Sicilia Evi Wijayawati, mantan karyawan korporasi yang menikmati pensiun dini, dan saat ini berkarya sebagai Bendahara Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah.