Skip to main content

Pernahkah anda merasakan pompa air yang mati seharian, sementara rumah tak tersambung oleh aliran air dari PDAM? Kanan kiri tak ada pula tetangga yang bisa dimintakan tolong. Betapa tersiksanya kita ketika seharian tak bisa ke toilet dan harus menunda hasrat mandi karena tak ada air. Itu baru kebutuhan fisik yang terkait higienitas, bagaimana bila kita juga kesulitan air bersih untuk kita minum? Galon habis dan tak ada yang jual karena stok sedang kosong misalnya. Mau rebus air dari kran tapi tidak yakin dengan kejernihannya. Susah tiada tara, dan baru terasa betapa berharganya setetes air bagi kehidupan kita sebagai manusia, hal yang sering terlupa oleh manusia urban.

Definisi, filosofi, fungsi air – sumber daya air

Air merupakan salah satu dari empat elemen esensial bagi terbentuknya dan berlangsungnya kehidupan di bumi ini. Tubuh manusia yang tersusun sekitar 70% air, menggambarkan air memegang peran penting dalam menjaga kesehatan tubuh dan menjadi kebutuhan dasar. Demikian pula keberadaan air di alam juga tersedia berlimpah tersimpan dalam bentuk air laut 97% dan air tawar 3%. Berdasarkan potensi tersebut, maka air sering disebut sebagai sumber daya alam, yaitu adanya daya hidup yang bersumber dari alam untuk dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Pengelolaan air: pengendalian dan pemanfaatan

Sungai tercemar sampah

Terkait dengan pengelolaan air, berdasarkan ilmu hidrologi yang mempelajari keberadaan air di muka bumi ini, pada prinsipnya dapat dibedakan menjadi dua kegiatan utama yaitu pengendalian dan pemanfaatan air. Pengendalian air yang dimaksud adalah pada saat kondisi ekstrim tertinggi, volume air berlebih khususnya pada saat musim penghujan (banjir), maka daya rusak air ini yang harus dikendalikan sehingga meminimalkan risiko kerusakan, kerugian hingga kehilangan nyawa.

Di sisi lain, pemanfaatan air yang dimaksud adalah pada saat kondisi ekstrim terendah, volume berkurang hingga terjadi kelangkaan air pada saat musim kemarau (kekeringan), maka ketersediaan air yang minim ini harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan dua sistem pendekatan tersebut, secara teoritis tidak akan terjadi permasalahan yang serius terkait ketersediaan dan pemanfaatan air, asalkan dikelola dengan baik dan benar.

Konteks permasalahan sumber daya air (kuantitas, kualitas, kontinuitas, aksesibilitas)

Dewasa ini permasalahan utama di bidang sumber daya air yang perlu segera ditangani seiring dengan pertambahan jumlah penduduk adalah kelangkaan air secara kuantitas, kualitas, kontinuitas dan aksesibilitas. Tentu yang dimaksud kuantitas di sini adalah ketersediaan air baku air bersih sangat terbatas, secara kualitas juga banyak sumber air permukaan (sumur, danau, sungai) yang telah tercemar dan tidak memenuhi baku mutu standar air bersih. Keandalan untuk memastikan tersedianya air bersih secara kontinyu juga rendah terutama di musim kemarau, hingga kemampuan masyarakat (terutama di daerah pedalaman) untuk mengakses atau mendapatkan layanan air bersih juga terbatas.

Sebagai gambaran, berdasarkan data PAM Jaya tahun 2020, dari 10,4 juta penduduk DKI Jakarta, baru 63% pelanggan yang terlayani jaringan PAM, artinya sebagian masyarakat masih kesulitan untuk mengakses air bersih. Meskipun telah ada berbagai standar baku mutu air bersih, peraturan larangan membuang sampah di sungai, peraturan untuk industri yang membuang limbah cairnya ke sungai/badan air, serta aturan terkait lainnya, namun demikian masih banyak dijumpai sungai-sungai terutama di Pulau Jawa yang kualitas airnya masih di bawah baku mutu.

Di sisi yang lain, jumlah atau volume air yang berlebih juga tidak jarang menimbulkan masalah. Dari liputan berbagai media beberapa hari terakhir, kembali kita dihadapkan pada permasalahan banjir yang seolah sudah menjadi rutinitas berulang setiap tahunnya. Kejadian banjir memang unik, melibatkan banyak variabel, dan perlu komitmen, keseriusan bersama untuk mengatasinya. Unik karena kejadiannya bersifat probabilistik sebagaimana hujan yang sebarannya tergantung fungsi ruang (di suatu tempat turun hujan, tapi di tempat lain yang hanya berjarak 200 meter masih kering) dan waktu (bisa terjadi di pagi, siang, sore atau malam dengan durasi yang berbeda), serta intensitas hujan yang bervariasi. Banjir jelas melibatkan banyak faktor yang mempengaruhi, sehingga penanganannya tidak mungkin hanya berfokus pada satu titik tempat dimana terjadinya banjir saja.

Faktor-faktor yang perlu dilihat lebih seksama antara lain karakteristik daerah aliran sungai (DAS) dan kondisinya, kejadian hujan (intensitas dan durasi), perilaku masyarakat, kebijakan pengembangan wilayah, hingga komitmen para stakeholders dan pengambil keputusan. Kalau dilihat secara komposisi, terdapat 2 faktor alami yang utama; kondisi sungai dan curah hujan, yang secara sifat alaminya air hujan yang turun akan mengalir dari tempat tinggi ke rendah, melalui alur dan kapasitas sungai yang tersedia.

Sedangkan di sisi lain, nampak jelas intervensi manusia (faktor non-alami) lebih dominan yang berdampak pada percepatan sekaligus perbesaran kejadian banjir, beberapa contoh diantaranya perilaku masyarakat buang sampah ke sungai, saluran, atau got, keberadaan hunian liar di sempadan sungai, pengembangan kota di daerah hulu (wilayah konservasi) telah mengubah tata guna lahan sehingga mengurangi daerah resapan air, sebaliknya memperbesar koefisien limpasan permukaan. Hal ini diperparah dengan sistem birokrasi yang rumit dan kurang sinkronnya kebijakan diantara para pemangku kepentingan serta aspek politis yang kerap mewarnai setiap pengambilan keputusan.

Pengelolaan sumber daya air (paradigma lama, paradigma baru, pendekatan spiritual)

Dalam prakteknya, upaya pengelolaan sumber daya air khususnya penanganan banjir yang diterapkan banyak menggunakan paradigma lama, yaitu mengupayakan secepat-cepatnya air hujan yang turun, maupun genangan air untuk segera dialirkan ke saluran drainase lalu dibuang ke badan air atau sungai hingga ke muara. Dampak dari pendekatan ini adalah berubahnya sistem saluran alami (got, saluran drainase hingga sungai) yang diperkeras dengan pasangan batu atau beton. Hal ini memang mempercepat aliran air ke hilir, namun sekaligus memindahkan volume air limpasan ke daerah hilir tanpa ada pengurangan karena hilangnya kesempatan untuk diresapkan melalui dinding kanan-kiri dan dasar saluran akibat adanya lining (perkerasan). Tak jarang hal ini justru memindahkan genangan air dan banjir dari daerah hulu ke daerah hilir.

Paradigma baru yang sudah banyak dikenalkan dan diterapkan sejak satu dekade terakhir adalah Low Impact Development atau upaya pengelolaan sumber daya air untuk mengimbangi pengembangan wilayah perkotaan agar berdampak rendah terhadap lingkungan. Konsep pendekatan ini adalah justru untuk menangkap dan menahan selama mungkin air hujan yang turun di permukaan dengan cara ditampung (reservoir) atau diresapkan kedalam tanah (groundwater recharge) untuk nantinya dimanfaatkan saat musim kemarau.

sumur resapan sederhana di halaman rumah

Beberapa model teknologi yang biasa diterapkan antara lain pemasangan green roof (atap berlapis media tanah dan tanaman), bak penampungan air hujan (rain water harvesting), pembuatan lubang biopori, sumur resapan, kolam bioretensi, lahan parkir ber-conblock yang permeable dan desain taman untuk menjamin keberadaan ruang terbuka hijau. Dengan menerapkan beberapa model pendekatan ini (dikombinasikan), maka volume air hujan yang akan menjadi limpasan langsung dan genangan banjir bisa ditekan sejak dari awal turun ke atap hingga yang jatuh di atas permukaan tanah.

Bentuk pengelolaan yang bisa menjadi solusi sekaligus memperbaiki dua pendekatan yang telah ada adalah dengan melibatkan aspek spiritual dalam praktek/penerapannya, baik dalam skala individual maupun skala institusi pemerintah (pengambil kebijakan, pengambil keputusan). Kenapa hal ini penting, karena penanganan berbagai masalah termasuk contoh banjir diatas, sangat jelas penyebab dan keberhasilan penanganan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor manusia. Sebagaimana kita tahu, selain IQ (Intellegence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient) pada diri kita, terdapat kecerdasan yang lebih tinggi yaitu SQ (Spiritual Quotient). Selama SQ ini belum dikembangkan, maka semua tindakan dan keputusan yang diambil lebih didominasi oleh pikiran atau motif egoistik.

Dampaknya terlihat bagaimana kesimpangsiuran tata kelola, koordinasi antar institusi atau wilayah administrasi, yang masing-masing terlihat masih mementingkan ego-sektoral (minim kolabrasi yang memadukan). Tidak mengherankan jika kemudian pembangunan terkesan lamban, tidak bertahan lama, terjadi penyelewengan kekuasaan, dan sebagainya.

Lalu bagaimana kita bisa mengembangkan SQ dalam setiap diri? Salah satunya adalah dengan meditasi, hening cipta, untuk merasakan segala yang terjadi di sini dan saat ini. Menyadari keterhubungan dengan alam, sang sumber kehidupan yang meliputi segala keberadaan dan menjadi esensi dari setiap keberadaan. Sehingga kita akan tersadar, bahwa kita merupakan bagian dari alam semesta raya yang kita tempati saat ini. Lebih jauh, kita akan berpikir, berkata dan bertindak didasari kasih murni, dituntun oleh sang Diri Sejati sehingga segala keputusan yang diambil selaras dengan kehendak semesta. Jika kita masing-masing sudah sampai pada kesadaran ini, maka sebagai rakyat jelata kita tidak akan perlu pendidikan moral yang mengajarkan jangan membuang sampah sembarangan, jangan boros air, jangan menyakiti makhluk lain, jangan hanya mengeruk keuntungan dengan mengeksplorasi sumber daya alam (tambang, pasir, air, minyak bumi, dll) dan seterusnya.

Sebagai pejabat berwenang, pemangku kepentingan, penentu kebijakan dan pengambil keputusan tidak akan lagi menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan, sebaliknya akan berlaku segala pengambilan keputusan didasarkan pada hikmat kebijaksanaan. Pendekatan spiritual inilah yang akan menjadi basis perubahan mental dan kesadaran kita sebagai individu maupun pejabat institusi menuju transformasi diri menjadi manusia seutuhnya sesuai versi terbaiknya (full-fledged human beings).

Contoh penerapan (best practice) skala individu/ rumah tangga

vertical garden di rumah kami di Depok

Di jaman dulu, kita masih ingat bagaimana di setiap halaman rumah di desa selalu ada lubang persegi 1x1x1 m3 atau lebih (dalam Bahasa Jawa dikenal sebagai jugangan) untuk menampung sampah daun dan juga air hujan. Sehingga genangan air hujan sebagian besar akan tertampung dalam lubang tersebut dan sebagian sisanya diresapkan masuk kedalam tanah, karena sebagian besar permukaan tanah masih berupa lahan terbuka. Bentuk lainnya, kita bisa lihat di daerah Gunung Kidul, hingga Wakatobi, masyarakat telah beradaptasi dan berinovasi untuk mempraktekkan pemanenan air hujan sejak lama dengan bak/tandon penampung air (mulai dari bak besar hingga gerabah).

Kasus lain yang menarik, di negara maju yang telah menemukan kembali kesadaran dan budaya menghormati lingkungan alam, ibu bumi, bisa mengubah pola kebijakan pemerintah salah satu contohnya apa yang terjadi di Jepang. Mereka mulai menerapkan kebijakan “restorasi” untuk pengelolaan sumber daya air, yaitu saluran drainase termasuk sungai yang awalnya diperkeras bagian dinding dan dasarnya, justru dibongkar dan dikembalikan ke kondisi alaminya. Sehingga air bisa meresap kembali, menjamin interaksi dan perkembangbiakan biota air. Sungai yang semula diluruskan (dibuat sudetan), dikembalikan meander sesuai alur morfologi alaminya. Dengan kondisi ini, lingkungan kembali asri, hijau, berkualitas yang menopang kehidupan manusia untuk selalu selaras dengan alam.

Dua contoh pertama merupakan bukti bahwa nenek moyang, tetua kita dulu sudah menerapkan pola-pola adaptif pengelolaan air yang ramah lingkungan. Hal ini tentunya tidak lepas dari tingkat kesadaran (spiritual) dan kedekatan masyarakat dengan alam sekitar dimana mereka tinggal, saling bersimbiosis dan menjaga kelestarian lingkungan. Sedangkan contoh dari Jepang, menunjukkan bahwa dalam era modern seperti sekarang pun, kita bisa mengembalikan kebijaksanaan setempat (local wisdom) yang dulu pernah ada dengan memanfaatkan teknologi tepat guna, seperti yang dikenal dengan Subak (sistem pengairan/irigasi di Bali) untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Contoh-contoh diatas merupakan bukti nyata pendekatan spiritual melalui pemberdayaan SQ dan hening cipta sangat berpotensi diterapkan dalam setiap penentuan kebijakan, pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya air, maupun sumber daya alam lainnya di bumi ini.

Secara individu sebenarnya kita bisa turut berkontribusi nyata dalam konteks pengelolaan sumber daya air pada skala rumahan. Dengan halaman yang mungkin terbatas, kita bisa membuat lubang biopori sebagai media pengomposan sampah daun dan meresapkan air hujan. Alternatif lain dengan membuat sumur resapan yang lebih luas dan dalam, sebagai media mengisi kembali air tanah. Jika masih tersedia ruang, bisa memasang tandon air terbuka untuk memanen air hujan dan memanfaatkannya sebagai sumber air bersih air baku (menyiram tanaman, cuci motor/mobil, flushing, dll).

Untuk menjamin kualitas air hujan agar sesuai peruntukan menurut standar baku mutu, bisa ditambahkan unit filtrasi (media pasir, kerikil, ijuk, arang, dsb). Ketiga cara tersebut sudah banyak tersedia di Youtube, tinggal dipraktekkan dan disesuaikan dengan kemampuan kita. Di rumah kami, meskipun lahan yang tersisa terbatas, yang bisa diupayakan adalah pembuatan sumur resapan skala 1x1x1 m3, selain dengan menanam tanaman hias, aneka bunga yang ditanam dalam pot, halaman, maupun vertical garden.

Jika hal sederhana ini bisa diterapkan secara masif oleh sebagian besar keluarga di perumahan, oleh sebagian besar perumahan di tiap kecamatan, kabupaten/kota maka bisa dibayangkan dampak pengurangan limpasan air hujan yang berpotensi menjadi genangan dan banjir akan turun secara signifikan. Kita juga bisa bersinergi dengan pemerintah, dalam arti pemerintah membangun fasilitas dan infrastruktur penanggulangan banjir (tanggul pengaman, naturalisasi ataupun normalisasi sungai, pengerukan sedimen dasar sungai, dll) dan masyarakat turut memelihara bangunan/infrasturktur yang ada, tidak membuang sampah ke sungai, tidak membuang limbah cair sebelum diolah, serta tidak melakukan kegiatan yang menyebabkan erosi tanah. Dengan demikian variabel-variabel penyebab terjadinya banjir bisa ditata, diperbaiki dengan maksimal sehingga potensi kejadian banjir bisa diminimalisir bahkan dihindari.

Pusaka Indonesia Gemahripah, menjadi sarana yang tepat untuk menyatukan anak-anak bangsa, yang tergerak untuk membangun negeri melalui pendekatan spiritual, dengan semangat Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Biarlah bangkit dan makin bertumbuh Jiwa-jiwa Agung, mengembalikan kejayaan agung Nusantara, mewujudkan Indonesia Jaya yang Raya, Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta Raharja. Merdeka !

Penulis: Nyoman Suwartha, akademisi yang berdomisili di Depok, juga Sekretaris Pengurus Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah Wilayah Provinsi Jawa Barat.