Skip to main content

Medio Desember 2020, di depan Candi Arjuna, aku tertegun, tali serupa serat mengitarinya. Juga pada candi lainnya. “Dilarang memasuki area candi” kurang lebih begitu peringatannya.

Terakhir kali aku mengunjunginya tahun 2006, meski aku sering ke Dieng, namun sebatas ke Kejajar, menuntaskan kerinduan pada tanah kelahiran, tanpa pernah tergoda untuk menengok batu-batu yang aku tidak tahu dengan apa dahulunya mereka merekatkannya. Tertata sedemikian rupa. Sesuatu yang sangat biasa, karena sedari kecil aku sudah akrab dengannya. Terkadang melintas menuju Kalibening namun tak membuatku ingin menyinggahinya. Bahkan aku terkadang heran, di masa kecilku, pengunjung dari jauh datang sekedar berdoa di depan batu yang sedari dulu teronggok begitu.

Mematung di depan Candi Srikandi, aku merasakan sesuatu yang kering, gersang dan sepi, meski ratusan orang berada di sana, meski hijau daun melingkupi sejauh pandang. Aku merasa sepi di keramaian. Aku menangis tanpa sebab yang jelas. Dalam tangis itu aku mengucap : siapa pun yang merasakan kesedihanku, bantu aku untuk kembali menjadi yang seharusnya.

Dalam sadar, aku nekat melompat, melewati tali pembatas dan menyentuh batu candi. Aku menyebar sinyal, secara acak, entah siapa yang akan menangkapnya. Untuk memberkati Dieng yang mengering batinnya.

20 Februari 2020, sebuah pesan dari seorang pamomong di Gemah Ripah, menyampaikan bahwa akan ada retreat di Dieng dipimpin oleh Mas Guru. Ternyata pamomong tersebut salah satu yang menangkap sinyalku  Desember 2020. Haru dan bahagia.

Satu kesimpulan aku tarik, Dieng akan segera menerima giliran untuk diberkati. Aku terlalu gembira. Aku tidak bisa mengendalikannya. Kegembiraan yang penuh euforia, akan sesuatu yang seolah aku tunggu beratus tahun tiba-tiba nyata di depan mata. Ada rasa bernama terlena menyelinap di dalamnya. Karenanya lah babak baru dimulai. Titik balik.

3 Maret 2021, sebuah pesan gaib aku terima, bukan untuk yang pertama kalinya. Seperti pesan berulang. Untuk sambang ke Dieng. Bertemu pertapa yang sudah lebih dari 30 tahun berada di sana, beberapa ratus meter dari komplek Candi Arjuna.

Aku sempat menceritakan kepada Bapakku. Bapak angkatku tepatnya. Sampai beberapa hari tanpa jawaban. Tidak ada validasi. Di luar kebiasaan.

Kemudian aku menceritakan pula kepada Mas Guru. Setelah melewati beberapa pertanyaan , aku mendapat jawaban : Jalani saja. Sedemikian mantapnya, karena sebelum-sebelumnya aku tidak menanggapi pesan itu. “Ahh…sudahlah Rubi…itu hanya bisikan kerinduan sisi batinmu yang lain untuk sering-sering pulang, mengulang banyak cerita yang hilang oleh putaran kenangan”.

Kali ini aku merasa berbeda. Ada semacam penguatan, mengapa pesan ini justu berulang setelah aku bertemu dan belajar dengan Mas Guru Setyo. Merasa teristimewa, menjadi bangga yang cenderung jumawa.

Jumat, 5 Maret 2021 Eyang Lawu juga rawuh (hadir), menungguiku semalaman, bertepatan dengan malam diadakannya pertemuan online punggawa daerah Gemah Ripah. Aku semakin yakin.

Selasa 16 Maret 2021, setelah sempat tertunda beberapa kali karena jadwal datang bulan yang kacau, kondisi fisik yang tidak sesehat biasanya, aku berangkat ke Dieng. Meminta ijin Mas Guru dan pendampingannya.

Sebelumnya aku menerima penglihatan, kedua kaki dan tanganku terikat tali yang sama persis seperti tali yang mengitari Candi Dieng. Dengan usaha yang melelahkan, akhirnya terlepas. Aku memaknai sendiri sebagai pembebasan Dieng. Semakin memantapkan bahwa pesan untuk bertemu pertapa itu adalah rangkaian dari pesan-pesan yang harus ditindaklanjuti.

Drama dimulai setelah aku  berganti mobil di Wonosobo. Di tanjakan Krajan Kejajar, mobil berhenti tanpa sebab. Pada saat bersamaan pesan Mas Guru datang via WA “selalu waspada nggih” Aku merasa didampingi. Tenang. Kemudian aku berganti mobil dari seorang teman yang tinggal dekat pelataran Candi Dieng.

Tujuan pertama di Tuk Bima Lukar berjalan lancar.  Tujuan kedua ke tempat pertapa di depan Candi Dieng. Dieng terik saat aku mulai naik, mengiring rasa mual yang menjadi. Namun sesampai di tenda pertapa itu, tiba-tiba kabut menyambut dan tiba-tiba aku diserang rasa kalut. Bertemu dengannya, ada hawa dingin yang sangat mencekat, jantungku bekerja terlalu cepat, sehingga aku perlu beberapa waktu untuk menenangkannya. Sebuah tanda penolakan.

Aku sampaikan pesan tanpa bicara. “kapal yang ditunggu akan segera datang”. Tidak sampai dua menit aku keluar, aku tidak melihat wajahnya sama sekali, meski aku berhadapan tepat dengannya. Gelap tanpa cahaya di dalam tenda. Sesuatu yang sudah aku rasa kejanggalannya. Tidak ada utusan cahaya yang bersembunyi dari terangnya surya.Membawa serta sisa rasa tidak nyaman, aku hening di mobil dalam perjalanan turun ke kota.

Hari berikutnya aku berkunjung ke Gumelem, seorang rekan meminta waktu untuk bersambung rasa terkait usahanya yang ambruk karena plandemik. Dibonceng sepeda motor oleh sepupu yang seorang pembalap, aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres mengikuti. Sekali hampir jatuh di jalan menurun dan yang kedua kalinya kami berdua benar-benar jatuh di tanjakan yang hanya 100 meter dari tujuan. Masih belum cukup, ketiga kalinya motor mogok.Aku akhirnya luluh, ini bukan main-main. Kami naik mobil pick up dan pulang  bersamaan dengan motor balap yang mogok di atasnya.

Cerita menjadi semakin menghangat sesampainya di Jogja. Di hari yang sama, Jumat malam 18 Maret 2021, sebuah pertemuan dadakan dengan Mas Guru dan beberapa punggawa Gemah Ripah  Pusat dan manggala Gemah Ripah Yogya digelar.

Aku yang terbiasa tepat waktu bahkan datang awal, sore itu ada saja yang menjadikan aku datang terlambat, menempatkanku untuk duduk dihadap langsung oleh Mas Guru, seolah ditata sedemikian rupa agar tidak punya tempat menghindar. Dan…proses “pencucian” dimulai oleh Mas Guru.

Hal yang aku sampaikan pada pertapa itu seharusnya adalah genderang perang, bukan berita girang riang untuk mereka para koloni mahluk alam bawah. Ibaratnya satu kalimat yang sama “ kapal yang sudah ditunggu sudah akan datang” bila disampaikan kepada dua pihak yang berbeda kepentingan tentu akan berbeda cara menyampaikannya. Aku tidak menyadari bahwa aku bagian dari pasukan perang Mas Guru, seorang “bala dhupak” dan “bala kepruk” yang tentu saja mesti bersiap dengan segala kemungkinan, harus hening dalam segala tindakan dan….aku tidak lagi berperang sendiri seperti yang biasanya aku jalani.

Bahwa ketajaman rasaku menangkap pesan adalah pisau bermata dua. Yang apabila salah menerjemahkannya justru akan membuat celaka, akan menjadi TULAH DARIPADA MENJADI TUAH. Bukan hanya aku, tapi juga banyak orang yang menjaga perjalananku ke Dieng, merepotkan banyak punggawa, untuk sesuatu yang tidak perlu terjadi bila sebentar saja aku tidak lalai. Aku abaikan tuntutan suara Guru Sejati, melalui banyak peringatan namun aku terjemahkan sebagai ujian. Menyelinap begitu halus memanfaatkan kewelasasihanku pada semua mahluk, karena mereka tahu aku sangat pemaaf pada apa saja dan itu tidak pada tempatnya.

Bahwa anugrah yang aku bawa sejak lahir bukan sebuah kebanggaan, namun hanya instrumen untuk aku lebih waspada, untuk membantuku menyelesaikan tugasku menuju jiwa yang paripurna. Untuk menjadi penanda bukan untuk berbesar kepala. Bahwa semakin belajar spiritual harus semakin rendah hati dan mau mendengarkan dan semakin peka merasakan Guru Sejati sebagai tuntunan.  Bahwa keingintahuan yang tidak punya takaran hanya akan membawa ketidakselamatan.

Apa yang aku hadapi saat itu bukan anak siluman jalanan yang biasanya diam mendekam saat tahu aku akan lewat, tapi siluman penguasa pegunungan Dieng. Tempat yang aku pikir adalah bagian dari lingkungan yang aku hafal dan kenal, tapi ternyata…Dieng yang dulu adalah sumber dari energi dan pengetahuan murni dalam berjalannya waktu telah diambil alih oleh kekuasaan kegelapan siluman ular.

Bodohnya aku, merasa dekat namun tidak pernah mendekat pada tempat yang aku banggakan sebagai tempat keramat. Dalam pada itu, karena terlenanya para penjaga energi suci, Dieng kehilangan energi. Merasa terberkati menjadi tempat berdiri mandala suci namun lupa menjaga diri.

Masih saja seorang aku yang keras kepala, tidak akan menerima sesuatu begitu saja. Bahkan Mas Guru pun aku protes : “Kalau Mas Guru sudah tahu kalau yang akan dihadapi adalah hal berbahaya, mengapa aku tidak diingatkan? Bahkan disuruh menjalani?”

Setelah menuntaskan tawanya yang khas Mas Guru kemudian menjawab : “Ini memang yang harus dilalui. Untuk belajar mendengarkan rasa sejati, PEKA kepada tanda – tanda. Memangnya setelah diingatkan akan berhenti? Keingintahuanmu terkadang membahayakan.” Aku luruh. Aku belajar membedakan “PEKA” dan “PEKOK”, yang dalam bahasa Jawa artinya bodoh. Banyak pembelajaran lain yang aku terima malam itu, nantinya akan menjadi bagian proses bertumbuhku dalam episode tulisan yang lain.

Ternyata kapal yang akan lewat adalah KITA, para Ksatria Cahaya dalam Retreat Dieng pekan lalu yang tentu saja ancaman bagi mereka, yang aku salah memilih intonasinya saat menyampaikannya. Rawuh (hadir) nya Eyang Lawu adalah bagian dari penyertaannya untuk aku bersiap, membunyikan genderang perang. Penguasa Gunung Lawu yang tidak merelakan Dieng dikuasai kegelapan.

Retreat Dieng 26 – 28 Maret 2021 telah terlaksana dengan segala keriuhan yang menenangkan. Ada banyak cerita yang akan memerlukan puluhan halaman bila aku tuliskan. Aku masih berusaha mengendapkan segala pengalaman yang aku rasakan, menjadi bagian dari “kapal perang” yang disiapkan Semesta.

Energi yang berlimpah tumpah, memberkati Dieng, mengurai bentuk gaib tali pengikat kekuatan alam bawah. Membuka sumbat-sumbat Tirta Perwita Sari untuk mengaliri dan menggenangi tanah setinggi 2.500 mdpl ini. Jawaban dari kemustahilan bahwa ada kapal yang akan singgah pada ketinggian itu. Ternyata, kapal itu membawa lautnya sendiri, tidak memerlukan air dari mana pun karena kapal itu membawa serta air Perwita Sari bersamanya. Tentu saja pengawalan para penjaga kosmik yang tiada jeda adalah penyertaan pada perjuangan nahkoda dan penumpang kapal.

Candi Dieng memang masih dengan tali yang mengitari, namun tak lagi berisi mantra pengikat yang menjerat. Dia, sudah kembali menjadi mandala agung seperti seharusnya. Terjemahan dari penglihatanku yang berhasil melepas tali berserat di kedua kaki dan tanganku. Dieng sudah diberkati, Tirta Perwita Sari semakin melimpahi dan pondasi perjuangan Para Ksatria Cahaya sudah kokoh mendasari. Saatnya Melaju Dalam Hening Bening.

Menuliskan ini, menggenapi salah satu dari sekian banyak tugasku, bertarung dengan diriku sendiri, mengakui banyak kegilaan yang membahayakan, menuntaskan cerita awal dari sebuah perjalanan panjang. Seluruh bulu halus di tubuhku meremang, menjadi penyaksi dari terbukanya banyak tanya yang semakin gamblang.

Yogyakarta, 03 April 2021. Penulis: Rubiyanti Basuki, Sekretaris PIG Daerah Istimewa Yogyakarta