Skip to main content

Romi, begitu Ia biasa dipanggil. Wanita 53 tahun ini bernama asli Tutik Wijayanti, namun teman-teman di komunitas akrab memanggilnya Romi. Semenjak tahun 2020 Romi tekun belajar spiritual di bawah bimbingan Persaudaraan Matahari. Selain itu, senior citizen yang satu ini juga terlibat aktif sebagai kader Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah (PIG) DIY. Di saat kebanyakan ibu-ibu seusianya memilih slowing down untuk menikmati masa tua, lain halnya dengan Romi, semangat belajarnya masih menyala berapi-api. Pribadinya yang ceria membuatnya mudah berbaur dengan siapa saja, tak terkecuali dengan anak-anak muda. Di sinilah Ia sekarang, bersama-sama dengan kita semua belajar untuk kembali menyalakan semangat Api Pancasila.

Dari penampilannya saja terlihat jelas bahwa Ibu dari dua anak ini adalah wanita yang kuat dan penuh semangat. Anak keduanya bahkan menjulukinya ghost rider karena rambutnya yang pendek dan berwarna merah menyala. Karena semangatnya, kehadiran Romi selalu berhasil menghidupkan suasana. Semangatnya itu barangkali memang sudah mengalir deras semenjak tahun-tahun pertama kehidupannya. Di usia empat tahun Romi baru bisa berjalan. Untuk mobilitasnya, Romi kecil harus berjalan dengan menyeret kakinya, atau dalam bahasa Jawa disebut ngesot. Meskipun ngesot, semangat Romi tidak pernah melorot. Ia tak rendah diri karena teman-teman sebayanya kala itu kerap kali membantunya dengan senang hati. Sejak usia dua tahun Romi sudah menjalani terapi. Neneknya dengan rutin membalur kaki Romi dengan menggunakan tanaman herbal, hingga akhirnya di usia 4 tahun Romi kecil bisa berjalan.

Anak ke 8 dari 11 bersaudara ini tumbuh besar menjadi pribadi yang mandiri. Keluarganya tidak memiliki aturan-aturan yang ketat. Perihal kehidupan beragama, keluarganya juga cenderung membebaskan. Semasa SMP Ia menimba ilmu di sekolah dengan basis agama yang berbeda dari agama keluarganya. Ia juga terbiasa ikut ke rumah ibadah teman-teman yang berbeda keyakinan dengannya. Hal ini membuat Romi remaja mulai berpikiran terbuka, Ia tumbuh besar tanpa terikat erat dogma-dogma agama. Hal ini sangatlah sesuai dengan jiwanya yang bebas merdeka.

Romi adalah anak yang paling dekat dengan Bapak. Namun, Bapak meninggal dunia saat Romi masih remaja. Romi tetap tak kehilangan semangat, kepergian Bapak menjadikannya pribadi yang lebih dewasa. Lulus SMA, Romi tidak melanjutkan kuliah. Ia lebih memilih untuk berjualan. Kala itu, kakak lelakinya menawarinya untuk berjualan bensin. Pada tahun 1980-an di saat harga bensin masih 425 rupiah, mayoritas penjual bensin eceran adalah bapak-bapak. Meskipun demikian, Romi tidak mengenal kata gengsi. Dengan kemandiriannya Romi mengurus semua keperluan warung bensinnya sendiri. Ia bahkan melakukan kulakan sendiri. Dengan mengendarai motor Honda pada jamannya, Romi pergi ke SPBU sendirian. Karena jiwanya yang cenderung maskulin, sekali jalan Romi mampu mengangkut hingga 120 liter bensin. Sesuatu yang nyaris mustahil dilakukan gadis remaja kala itu, bahkan kakak lelakinya saja tidak mampu melakukannya. Tak hanya itu, Romi bahkan harus kulakan bensin 3–4 kali dalam sehari. Dengan 4 jerigen yang diletakkan di depan, belakang, samping kiri dan samping kanan Romi melakukan rutinitas kulakan, membantu perkonomian keluarganya.

Menginjak usia 20 tahun Romi menikah dengan laki-laki pilihan hatinya. Pak Wandi adalah suami yang setia menemani hidupnya hingga kini. Setahun setelah pernikahan, Romi dikaruniai seorang anak perempuan. Sejalan dengan kebutuhan hidupnya yang semakin meningkat, Romi ikut turun tangan membantu Pak Wandi mencari nafkah. Dalam perjalanannya bekerja, Romi bak kutu loncat. Ia sering kali berpindah tempat kerja. Ia tidak begitu senang jika harus terikat dengan pekerjaan lama-lama. Seringnya Ia bekerja sebagai pramuniaga. Dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, Ia mahir menawarkan barang dagangan. Hingga pada tahun 1998, setelah kelahiran anak keduanya Romi bersama Pak Wandi memutuskan untuk berhenti bekerja. Berbekal kelihaian Pak Wandi dalam memasak, mereka kemudian membuka sebuah warung soto. Meskipun sederhana, warung soto itulah yang hingga kini mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Jika Anda berkunjung ke Yogyakarta, mampirlah ke Warung Soto Pak Wandi yang berlokasi di daerah Banguntapan. Di sana kita bisa ikut merasakan nikmatnya hidup dalam kesederhanaan.

Sejak dulu Romi memang seperti kebanyakan energi. Romi rajin berolahraga sejak usia muda. Pada tahun 1990-an, ketika tempat gym di Yogyakarta masih sangat jarang dan saat pengunjung tempat gym kebanyakan adalah para pria, Romi bergabung untuk berolahraga bersama mereka. Hingga kini di usianya yang sudah tak lagi muda, Romi masih suka bergerak memeras keringat. Tahun-tahun ke belakang sebelum hidup kita dikoyak dengan isu pandemi, Romi rajin mengikuti kelas senam. Mulai dari zumba, aerobik hingga yoga semua pernah Romi coba. Jika sedang on fire Romi bisa mengikuti 4 kelas senam dalam sehari. Maka tak heran jika sekarang perawakan tubuhnya masih mantap. Selain itu, Ia juga jarang memiliki masalah kesehatan.

Perihal perjalanan spiritual, seiring dengan usia yang terus bertambah Romi mulai merasakan kekeringan jiwa. Romi yang selama hidup tidak tekun dalam mendalami keyakinan turunan mulai tergerak untuk tobat. Pada tahun 2014, salah seorang teman mengajaknya untuk belajar di sebuah padepokan. Ia mengiyakan ajakan temannya tersebut karena sepengetahuannya kala itu padepokan itu tidak mengajarkan sesuatu secara ekstrim.

Akan tetapi, lama-kelamaan Romi mulai terdoktrin dogma-dogma yang sebelumnya tak Ia percaya. Romi mulai percaya bahwa Ia adalah orang yang penuh dosa karena selama ini Ia abai dalam menjalankan ritual-ritual agama. Untuk menebus dosanya maka Ia harus tekun melakukan pembelajaran di padepokan, pikirnya saat itu. Semangatnya untuk tobat kala itu begitu menggebu-gebu. Ia bahkan secara drastis mengubah penampilannya. Gaya berpakaiannya yang semula cuek apa adanya diubahnya dengan menutup rapat seluruh tubuhnya. Romi yang maskulin mulai berpenampilan manis dengan mengenakan gamis. Entah setan apa yang merasukinya, Ia juga dengan sukarela membakar habis 40 pasang pakaian senamnya yang seksi-seksi. Tak hanya itu, Romi juga membakar tas-tas kulit yang Ia miliki. Perilaku yang membuat keluarganya berpikir bahwa Romi sudah kenthir.

Selama kurang lebih 2 tahun, Romi dengan rajin menimba ilmu agama di padepokan tersebut. Jika dipikir dengan akal sehat, sebenernya pelajaran yang ditawarkan padepokan tersebut kurang masuk akal. Untuk menebus satu dosa saja, Romi dianjurkan untuk melakukan solat tobat sebanyak 10.000 rakaat. Ritual yang membuatnya pegal-pegal dan mandi keringat.

Di sisi lain, karena ingin tobat Romi malah seringkali meninggalkan keluarganya sendiri. Untuk belajar di padepokan itu, Ia harus berangkat jam 9 pagi dan pulang jam 2 dini hari. Secara tak sadar, niatnya untuk mendekat dengan Tuhan malah menjauhkannya dari orang-orang tersayang. Romi malah abai pada fakta bahwa suami, anak-anak dan cucunya lebih membutuhkan kasih sayangnya.

Ketekunan Romi menjalankan ritual-ritual tak kunjung membawanya merasakan ketenangan jiwa. Jiwa Romi masih kering kerontang. Jiwanya yang pada dasarnya bebas merdeka, malah Ia kurung dalam dogma-dogma. Bukannya tenang, dirinya yang terdalam malah semakin meronta-ronta. Selain itu, lama-kelamaan Romi juga mulai mencium ketidakberesan di padepokan tempatnya belajar. Ia mendapati guru yang Ia percaya berbuat sesuatu yang tidak semestinya. Ia pun memutuskan untuk keluar, tak lama kemudian padepokan tersebut bubar.

Nenek dari 1 orang cucu ini kemudian kembali ke dirinya yang bebas merdeka. Ia melepas semua atribut keagamaannya. Ia kembali menjadi Romi yang seperti sedia kala. Ia tersadar dan mulai kembali memerdekakan dirinya. Meskipun tak lagi hidup dikekang banyak aturan, jiwanya masih merindukan jalan ‘pulang’.

Setelah itu, beberapa kali Romi sempat mencoba ikut kelas meditasi. Ia mulai mencicipi meditasi mulai dari meditasi dalam kelas yoga hingga meditasi yang diselenggarakan di salah satu klentheng di Yogyakarta. Namun, tetap saja Romi belum menemukan sesuatu yang menyegarkan jiwanya.

Tahun 2020, selancarnya di dunia maya mengantarnya mengenal Mas Guru Setyo Hajar Dewantoro. Hatinya tergerak untuk hadir di acara Ngaji Pancasila yang saat itu diselenggarakan di Yogyakarta. Di sesi meditasi pertama, Romi mbrebes mili. Hatinya bergetar tiap kali mendengar kata Pancasila dan NKRI. Jiwanya yang semula kering bagaikan terbasuh banyu perwita sari. Nyess, begitu katanya. Di kesempatan itu, Ibu Mami Irma bertanya kepadanya: “Apa motivasinya datang ke Ngaji Pancasila?” Romi menjawab bahwa Ia tergerak untuk ikut membela martabat bangsa namun selama ini tidak tau bagaimana caranya.

Semenjak pertemuannya dengan Mas Guru tahun lalu, sampai sekarang Romi rajin mengikuti pembelajaran spiritual di Persaudaraan Matahari. Bersama dengan teman-teman yang kebanyakan lebih muda darinya, Romi semangat untuk terus belajar memurnikan jiwa. Ia begitu mensyukuri gerak Semesta yang mengantarnya untuk kembali ‘pulang’ ke dirinya yang sejati. Ia begitu senang belajar spiritual tanpa harus terkekang banyak aturan. Wadah pembelajarannya ini begitu pas dengan jiwanya yang bebas. Selain itu, ajaran Mas Guru yang menginspirasi untuk selalu setia mengikuti gerak Semesta sangat sesuai dengan nilai-nilai yang Romi yakini. Dalam hidupnya, Ia tidak memiliki ambisi untuk hanya mengejar kesuksesan secara materi. Di benak Romi, Ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hidupnya mengalir, tak ada keinginan untuk mengejar materi dengan cara mati-matian. Ia mensyukuri hidup, apapun yang Gusti beri.

Saat ini, apapun dinamikanya Romi menikmati prosesnya dalam memurnikan diri. Kini Romi mengerti bahwa untuk ikut berkontribusi membangun negeri ini, Ia bisa mulai dengan membenahi diri. Menurutnya, bagaimana kita bisa berkontribusi pada negeri ini jika kita tidak kunjung selesai dengan diri sendiri. Romi meyakini, bahwa untuk menjadi manusia Pancasila maka kita harus membangun diri dengan pondasi yang kuat dan kokoh dengan terus memurnikan diri. Dan, hal itulah yang saat ini Romi tekun jalani.

Penulis : Tutut Tria Pertiwi, Kader PIG DIY