Skip to main content

Tahun 2045 ditetapkan sebagai garis waktu bagi realisasi visi Indonesia, karena tepat pada tahun itulah Republik Indonesia akan mencapai usia 100 tahun. Sejak proklamasi kemerdekaan pada 1945, kita telah menjalani nyaris 79 tahun masa kemerdekaan dan kita punya waktu 21 tahun lagi untuk menyongsong 2045.

Sudahkah Indonesia sekarang sudah benar-benar merdeka? Akan seperti apa nasib bangsa dan negara kita 21 tahun lagi? Ini pertanyaan yang butuh renungan mendalam. Yang pasti kita sudah menjadi negara yang merdeka secara legal formal, diakui sebagai negara merdeka oleh Perserikatan Bangsa-bangsa dan seluruh negara anggotanya. Tak ada lagi tentara VOC, Belanda, Inggris maupun Jepang yang menduduki negara ini. Tapi jika parameternya adalah 3 hal mendasar: 1. Sejauh mana negara-bangsa kita bebas dari penjajahan budaya? 2. Sejauh mana negara-bangsa kita bebas dari pengaruh negara lain dalam menetapkan konstitusi, membuat kebijakan negara dan menjalankan pemerintahan? 3. Sejauh mana negara-bangsa kita bebas dari pengaruh oligark nasional dan global? Jawaban yang jujur dari saya adalah: KITA MASIH JAUH DARI MERDEKA. Kita kalah merdeka dibandingkan Russia, Kuba, Iran bahkan Korea Utara.

Secara faktual memang terlalu banyak indikasi kebelummerdekaan kita: realita kita masih antitesa dari gagasan Trisaktinya Bung Karno: Berbudaya sesuai jatidiri, berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik. Kita tinggal jujur menyebutkan: 1. Corak budaya apa yang mendominasi di kalangan rakyat jelata hingga istana? Dogma seperti apa yang memenuhi pikiran dari mayoritas warga bangsa yang terekspresikan dalam cara berbusana, cara memberi salam di ruang publik hingga cara berperilaku dalam keseharian? 2. Apakah UUD versi 2002 dilahirkan dalam proses yang independen atau sangat kuat dipengaruhi pihak asing? Begitu juga UU Kesehatan, UU Cipta Kerja? Apakah keputusan Status Pandemi di Indonesia tahun 2020 itu murni hasil pertimbangan akal sehat para pemimpin negara atau hasil desakan WHO dan semua proxinya? Apakah demokrasi pasar/liberal itu senafas dengan Pancasila? Apakah ada yang mendesak kita menerapkan demokrasi pasar/liberal? 3. Siapa yang mendominasi struktur perekonomian nasional? Siapa yang mendapat manfaat dari tambang dan minyak? Apakah kita masih Raja Gula atau sudah jadi importir gula? Darimana asal kedelai yang jadi bahan baku tempe makanan kebangsaan kita?

Para pembaca yang saya kasihi, kita memang harus jujur membaca realitas kenegaraan dan kebangsaan kita saat ini. Jika tak ada perubahan mendasar dalam cara berbangsa dan bernegara maka jangan mimpi di tahun 2045 kita akan mencapai visi Indonesia Emas. Jika kita tak berbenah di semua sektor dari ipoleksosbudhankam ya jelas semua parameter kesejahteraan dan kedaulatan negara-bangsa akan memburuk. Meraih Indonesia Perunggu saja akan teramat susah.

Maka saya sama sekali tak respek pada Guru Besar dan aktivis yang sibuk bicara Pemilu Curang gara-gara calonnya kalah. Kenapa mereka tak membongkar sistem politiknya? Kenapa tak mengkritisi sistem demokrasi pasar/liberal yang kini berlaku dan membuat politik uang tumbuh subur di semua daerah dari Sabang sampai Merauke? Kenapa tak risau dengan tradisi politik dimana setiap pemilu rakyat disogok oleh kandidat dari beragam partai mulai dari 100 ribu hingga 500 ribu rupiah bahkan lebih? Sudah bukan cerita aneh jika rakyat di kalangan bawah gantian mengakali kandidat dari DPRD 2,1, Pusat dan DPD dengan menerima sogokan dari beberapa kandidat sekaligus tanpa ada komitmen suara yang bisa dipegang. Partai-partai entah pendukung 01, 02, 03 jelas melakukan politik uang. Mengapa para Guru Besar dan aktivis yang bicara curang-curang itu tak fokus bergerak mengembalikan UUD 1945 yang asli dan mendesak agar demokrasi pasar/liberal diganti dengan Demokrasi Pancasila?

Tanggal 30 Maret 2024 bertempat di Museum Bahari, Pusaka Indonesia berkolaborasi dengan Nusantara Centre menggelar acara strategis membahas masa lalu, masa kini dan masa depan Indonesia. Kita bicara tentang perubahan yang sistemik dan fundamental. Laksda (Purn) Untung Surapati menggagaskan Gerakan Kembali Ke Nusantara (GKKN) dengan 9 koridor antara lain perlunya kembali berbudaya sesuai jatidiri, penerapan Pancasila yang sesungguhnya terutama Sila Pertama karena mayoritas warga Indonesia saat ini baru sibuk berkeagamaan bukan berKetuhanan yang Maha Esa. Gagasan lainnya adalah pemisahan antara negara dan agama. Beliau menegaskan agar kita kembali pada karakter seperti di masa Majapahit, Sriwijaya; kita membutuhkan sosok yang agung dengan kualitas pribadi setara dengan Sri Kertanegara yang mempraktikkan doktrin politik dan militer Cakrawala Mandala Dwipantara, ataupun Mahapatih Gajah Mada yang menggaungkan Sumpah Palapa.

Sementara itu Prof. Yudhie Haryono menggagaskan Pancadharma: Rekonstitusionalisasi, Renasionalisasi, Reindustroalisasi, Refinansialisasi dan Rekapitulasi. Intinya, ditegaskan perlunya kembali kepada UUD 1945 yang asli dan membuka opsi addendum yang dilaksanakan oleh para bijak bestari yang dikumpulkan di Komite Konstitusi; nasionalisasi asset strategis seperti jalan tol, bandara dan semacamnya; membangun industri substitusi import; menata ulang mata uang agar tidak menjadi sangat lemah dibandingkan mata uang negara lain; dan menciptakan sumber pendapatan baru negara seperti dengan membangun Badan Nasional Rempah dan Herbal.

Berbagai gagasan di atas, dalam pandangan saya sangat strategis dan konstruktif. Pertanyaannya, bagaimana kesemua gagasan itu bisa terimplementasi? Jelas ada yang bisa tetap ada di ranah inisiatif kerakyatan. Tapi ada yang harus dibawa ke level negara dan pemerintahan. Saya berharap dua sahabat saya Prof. Yudhie Haryono dan Laksda (Purn) Untung Surapati bisa mendapatkan ruang pengaruh di pemerintahan yang baru. Saya sendiri setidaknya hingga beberapa tahun ke depan tetak fokus membesarkan Persaudaraan Matahari, Pusaka Indonesia dan berbagai lembaga pendukungnya.

Satu hal, saya mengajak Anda terus hening dan beraksi, kita berikan karya terbaik dengan ketulusan yang sempurna. Dengan mentalitas inilah yang merupakan penerapan spiritualitas yang progresif, transformatif dan revolusioner, pasti datang keajaiban berupa perbaikan negara-bangsa ini tanpa ada chaos dan pertumpahan darah. Saya terus menyabda dan bekerja memastikan Indonesia tetap damai, semakin harmoni, dan terus bergerak maju menuju cita-cita kemerdekaan yang sejati siapapun Presidennya. Kita semua bekerja dengan hati yang murni, dengan kekuatan semesta yang tanpa batas – yang bisa diakses saat kita HENING & BERAKSI.

Setyo Hajar Dewantoro
Pendiri Persaudaraan Matahari
Ketua Umum Pusaka Indonesia