Skip to main content

Siapa sangka, minuman fermentasi dengan rasa asam khas yang awalnya tidak disukai Paul Prastyo, kini justru menjadi inspirasi bisnis yang ia tekuni? Kader Pusaka Indonesia asal Semarang ini awalnya enggan mencicipi kombucha karena aromanya yang kurang sedap di hidungnya. Namun, mengikuti program Social Enterpreneurship Academy (SEA) Batch 4, mengubah pandangannya. Dari pengalaman ini, lahirlah Monicha (Harmoni Kombucha), produk minuman fermentasi yang kini menjadi wujud semangatnya dalam menghadirkan minuman kaya manfaat bagi masyarakat.

Kombucha, yang sering disebut sebagai teh jamur, adalah minuman fermentasi dari campuran teh, gula, serta ragi dan bakteri yang disebut SCOBY (Symbiotic Culture of Bacteria and Yeast). Di balik proses pembuatannya yang unik, kombucha menyimpan segudang manfaat berkat kandungan antioksidan, antiinflamasi, antialergi, dan antimikroba yang dimilikinya. 

Perkenalan Paul dengan kombucha berawal ketika ia dan istri berniat mencari obat untuk alergi kulit. Ia dan istrinya memiliki alergi yang biasanya selalu muncul pada saat cuaca dingin. Suatu ketika ia membaca dari internet bahwa ada sebuah produk teh fermentasi bernama kombucha yang bisa menjadi solusi alergi kulitnya. Secara kebetulan, ia punya seorang kenalan yang memproduksi kombucha, meskipun tidak dijual secara umum. Lalu ia pun tergerak untuk mencoba, namun  ternyata ia tidak suka dengan aromanya.

Di Program SEA Batch 4, Paul ditantang untuk menemukan produk yang ingin ia kembangkan. Di bawah bimbingan Ariyanti Dragona selaku koordinator SEA, ia dan para peserta lain diajak untuk melakukan refleksi tentang hal apa yang digemari dan bisa jadi inspirasi ide bisnis. Lalu muncullah ide memproduksi kombucha tersebut.

Dengan tekad yang ia peroleh dari kelas SEA, Paul kemudian mengikuti kursus membuat kombucha. Lewat kursus tersebut, ia diajarkan resep yang seimbang, termasuk kadar gula dan air. Kadar gula biasanya diukur menggunakan alat bix meter, sedangkan kadar air dengan pH meter. Dalam beberapa kali percobaan, Paul menemukan resep kombucha yang selaras untuk tubuh dan bisa berguna untuk kesehatan. “Kombucha yang selaras, idealnya memiliki kandungan gula maksimal 6% brix, dan kandungan pH air maksimal 2,5,” paparnya. Di samping itu, kombucha yang ia produksi sendiri ternyata rasanya lebih enak dan tidak seasam produk yang ia coba pertama kali.

Namun yang unik adalah, Paul melihat bahwa kombucha yang beredar di pasaran selama ini banyak yang melebihi kadar ideal tersebut. Ia pernah mencoba membeli beberapa merk kombucha untuk mengetes kandungan gula dan pH airnya. Hasilnya, memang kebanyakan kombucha yang dijual secara umum memiliki kandungan gula yang lebih, memenuhi selera konsumen yang suka minuman manis. “Manisnya berlebih, karena mengejar rasa enak. Akibatnya, manfaatnya hilang dan jadi tidak selaras untuk tubuh.”

Dari pengalaman ini, Paul kemudian bertekad untuk membuat kombucha yang selaras. Memang tidak mudah, karena ia harus melakukan percobaan beberapa kali. Ketika membuat pertama kali, ia mendapatkan hasil dengan kandungan gula hingga 12,5% brix. Tentu saja kandungan ini masih jauh dari ideal, sehingga ia masih butuh mengeksplorasi letak kesalahannya. Dari hasil belajar dan percobaan beberapa kali, ia menemukan bahwa untuk bisa menghasilkan kombucha dengan kadar gula ideal 6% brix, ia harus membuat fermentasi scoby selama 6-9 bulan.

Semangat untuk memproduksi produk yang selaras tidak terlepas dari program bimbingan yang didapatkan Paul dari Program SEA. Ini bukan kali pertama Paul mengikuti kelas bisnis. Namun, ada hal yang sangat berbeda yang ia dapatkan dari SEA, yang belum pernah ia dapatkan dari tempat lain. “Di kelas SEA, kita benar-benar belajar. Sementara di luar sana, kita membayar mahal tapi materi yang diberikan lebih banyak berupa tip-tip bisnis,” jelas Paul.

Ia menambahkan, di Program SEA, semua ilmu bisnis diberikan tanpa ada yang disembunyikan. Ibarat kuliah, materinya sangat lengkap dan komplit, siap untuk dipraktikkan. Di samping itu, di SEA mempelajari nilai-nilai bisnis yang tidak diajarkan di tempat lain. SEA tidak mengajarkan para anggotanya untuk semata-mata berfokus mengejar profit. Sebaliknya, para calon pengusaha dididik untuk membuat ide usaha yang bisa memberi manfaat kepada banyak orang. “Saya kaget. Di SEA, bukan tentang mengejar apa dan dapat berapa, tapi seberapa banyak kita memberi,” ujar Paul.

Koordinator SEA, Ariyanti Dragona, menuturkan hal senada. SEA mengajak para peserta untuk mengapresiasi keunikan diri masing-masing, mengenali bidang yang mereka sukai, sebagai modal untuk membangun keberdikarian. ‘Di SEA, yang ditekankan bukan berapa nominal yang kita hasilkan, melainkan kontribusi yang bisa kita berikan kepada masyarakat, lingkungan, dan bangsa, meskipun tentu saja profit juga penting,” papar Ariyanti. Ia menambahkan, peserta juga diberi pemahaman bahwa usaha yang dijalankan harus sesuai dengan jati diri bangsa, sebagaimana amanat Trisakti Bung Karno.

 

Anis Syahrir
Kader Pusaka Indonesia DKI-Banten