Sudah dua bulanan ini saya sering main ke Kebun Sahabat Bumi (KSB) di Mengwi, Kabupaten Badung Provinsi Bali. Saya mendapat sambutan hangat dengan keramahan dan kehangatan khas desa adat Bali, serta penerimaan personal dari pemilik dan petani kebun yang bersahabat.
Adalah dua petani perempuan Ni Putu Eka Ernita (Mbok Eka) dan Kadek Dwi Noviyani (Novi), bersama Wayan Krisna (Bli Wayan) suami Mbok Eka yang juga pemilik lahan kebun dan putra sulungnya yang duduk di sekolah menengah pertama, Riva Anggara (Riva). Merekalah keluarga KSB yang sehari-hari memberikan waktu, tenaga, dan kasih kepada kebun dan semua yang hidup di kebun kecil ini.
Cerita Keberadaan Kebun Sahabat Bumi Mengwi
KSB ini kebun yang unik, dikelola bukan dengan niatan untuk mencari untung maksimal dari hasil kebun, bukan pula sekedar hobi. Kebun Sahabat Bumi ada dengan niatan di atas kepentingan diri dan sekelompok orang saja, kebun yang berdiri di tanah yang dulunya non-produktif ini adalah inisiasi untuk memuliakan Ibu Bumi.
Di Bulan Mei 2021, Mbok Eka mengajukan diri ikut menginisiasi project memulihkan Ibu Bumi. Berkolaborasi dengan seorang pegiat metode biodynamic, dan teman – teman lain di komunitas Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah (PIG). Konsep kebun komunitas KSB pun disepakati, dan seiring perjalanannya kebun ini berkembang menemukan bentuk merespon dinamika komunitas dan dinamika yang terjadi di kebun.
“Kebun ini lab (laboratorium) untuk belajar, mencoba memahami dan belajar langsung dari alam, “kata Novi, petani yang sehari-harinya belajar hal baru dari dan untuk kebun ini. Seringkali sebelum ke kebun, Novi mencari tahu dari bertanya ke komunitas petani organik, dari buku atau internet kemudian diujikan di kebun. Mulai dari pestisida nabati, pemilihan tanah kotoran hewan (kohe) yang matang siap pakai, pembuatan pupuk organik cair (POC), dan lain lain.
Pengalaman Otentik di Kebun Sahabat Bumi Mengwi
Memang banyak hands on experience yang langsung dapat saya pelajari dari kebun ini. Di hari pertama saya datang ke kebun saja, Mbok Eka mengajarkan kepada saya cara mengenali tanah yang siap untuk bercocok tanam.
“Coba ambil, lalu cium deh tanah yang di sini (tanah yang sudah siap tanam), dan yang itu (tanah yang belum siap tanam). Beda kan (baunya)?” “Tanah yang sudah siap untuk ditanami baunya wangi akar, sementara yang belum siap ini (menunjuk ke tanah yang belum sempurna proses pemulihannya) meskipun penampakannya mirip tidak berbau. Biar kita tunggulah dulu, biarkan sampah organik terurai dan tanahnya diproses oleh organisme dan mikroorganisme tanah. Tunggu sampai ada tanda gulma tumbuh, siap untuk cocok tanam,” jelas Eka.
Dan benar, tanaman yang ditumbuhkan di atas tanah yang betul – betul siap menumbuhkan akan menjadi subur dan lebat. Buahnya pun banyak dan besar, wujud kasih dari Ibu Bumi yang kembali kepada kita yang mengasihi dengan sabar. Pare, terong, kacang panjang, jagung, cabai dan tomat bermacam jenis tumbuh baik di atas tanah yang siap. Sementara eksperimen menanam di tanah yang belum terlalu siap, menghasilkan tanaman yang kerdil, buah yang kecil, pertumbuhan yang lambat.
Di kebun ini saya belajar untuk tidak memaksakan hasil juga sabar menghormati proses. Berusaha dan bersyukur sebagai bentuk interaksi energi yang akan selalu kembali sesuai dengan vibrasi yang kita berikan. Ada hukum Semesta yang bekerja dengan presisi namun dinamis, dengan algoritma yang hanya dapat kita mengerti dengan rasa bukan pikiran. Saya juga belajar menyadari niatan dan menajamkan radar untuk mendeteksi ego yang menyelip halus dalam setiap reaksi dan upaya.
Seperti kebun yang nampak diam, sejatinya sedang bertumbuh mencerna sisa tumbuhan dan hewan mati. Menyiapkan hara untuk dituai nanti oleh petani yang bersabar.
Penulis: Prima Murti Rane Singgih Kader Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah yang tinggal di Tabanan, Bali.