Saya sadar ada yang tidak beres dalam diri saya. Saya sadar apa yang harus saya lakukan. Hening dan menyadari. Tapi, saya tetap butuh kata kunci. Apakah itu. Saya selalu berdoa dalam meditasi, saya meminta petunjuk yang nyata, real, dan gamblang tentang sisi gelap apa yang mesti saya lampaui. Saya benar-benar bertekad untuk melampauinya karena saya tahu dan mengerti bahwa jalan yang dibimbing Mas Guru Setyo Hajar Dewantoro adalah jalan kebenaran sejati. Jadi, apa pun yang menghalangi saya, tantangan segede apa pun di depan, seterjal apa pun jalannya, saya siap menghadapinya.
Memang ada dinamika relasi pertemanan yang harus saya lalui. Saya tidak sadar bahwa apa yang saya lakukan kepada teman saya adalah korban keegoisan saya pribadi. Ketika karma sudah berbuah, saya menyadari dengan sungguh-sungguh. Saya menarik diri saya untuk melihat masalah secara utuh sebagai buah karma pribadi.
Rasa tidak nyaman, menyalahkan diri sendiri terus-menerus (rendah diri), ada dalam prasangka, dan larut dalam drama tersebut ternyata membuat saya tidak bisa masuk ke dalam keheningan. Banyak yang menegur saya, termasuk Mbak Ay, Mbak Irma, dan Mas Guru.
Saya menemukan momentum istimewa pada acara Retreat Total Human Empowerment Salatiga bulan Desember 2020. Di sana saya sempat dibantu Mas Guru langsung dan benar-benar diri ini kembali ringan. Ada perbedaan yang benar-benar terasa. Mas Guru berkata bahwa jaringan saraf di kepala saya ada yang rusak sehingga harus memancarkan kasih ke bagian kepala. Memang benar apa yang dikatakan Mas Guru. Saya terlalu pemikir, kadang nge-blank sendiri, kadang loading lama, kadang pula penuh prasangka dan ilusi. Terima kasih Semesta dan Mas Guru sudah diberi petunjuk yang jelas dan gamblang tentang sesuatu yang harus saya selesaikan.
Usai retreat di Salatiga, saya pergi ke Yogyakarta mengikuti tuntunan Guru Sejati. Bersama Bu Edwina saya mengunjungi sekolah yang didirikan dengan ketulusan paripurna, namanya Sekolah Gajah Wong. Sekolah yang menerima anak-anak tak mampu. Di lahan yang tidak ada legalitasnya. Di tempat yang katanya kampung dengan segenap permasalahannya.
Begitu Bu Edwina menjelaskan padaku sekilas tentang sekolah itu, saya menyahut, “Kok ada Bu, sekolah yang kayak gitu. Siapa yang memberi gaji beliau?” “Nah, itu Yan. Kamu harus belajar ketulusan ibunya,” jawab Bu Edwina cepat dan spontan. Hatiku bergetar. Kata ketulusan benar-benar terngiang. Ya, ketulusan.
Esoknya, masih di Yogyakarta, ada acara Ngaji Pancasila oleh Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah. Saya mengikuti tuntunan. Dalam kondisi yang remuk jiwaku, saya tetap mengumpulkan amunisi pertumbuhan jiwa. Saya sadar ada ganjalan dalam diri yang meminta untuk dibereskan. Ada kekalutan dan kegalauan yang diciptakan sendiri akibat persepsi dan asumsi yang tidak selaras.
Di akhir acara, saya bertemu dan bercakap dengan Teh Norin. Saya disadarkan olehnya bagian mana yang jadi sisi gelapku. Saya meminta masukan dan evaluasi darinya.
Catatan A adalah Haryani, B adalah Teh Norin.
A: Teh, apa yang harus diperbaiki dari saya?
B: Ketulusan dan kejujuran Haryani masih rendah.
Saya diam memperhatikan Teh Norin berkata. Mencoba netral dan menerima masukan dari Teh Norin. Dalam hati sempat berkata, ketulusan ya. Berarti selama ini saya belum tulus, ya?
B: Saya bilang begini saja Haryani masih nggak percaya/trust.
Yah, ternyata ketika saya mempertanyakan masukan yang diberikan, itu tandanya saya masih belum percaya penuh, ya alias belum menerima total.
A: Lalu, trust itu apa, Teh? Trust itu diupayakan atau diberikan, Teh?
Saya tidak mendapatkan jawaban. Itu artinya saya harus menyelaminya sendiri.
B: Haryani nggak trust sama saya.
A: Apa gara-gara komunikasi kita kurang ya, Teh?
Lalu, Teh April yang menemani percakapan kami sedari tadi mengelak hipotesaku. Baiklah, aku terima. Teh Norin berkata dengan tenang dan masih memberikan seulas senyum manisnya padaku. Saya sadar itu bentuk kasih dan pedulinya padaku.
Malam itu juga saya pulang ke Surabaya. Saya berpamitan pada Mas Guru yang entah sinar matanya saat itu memberi kesan semangat padaku.
Selama perjalanan Yogyakarta-Surabaya saya terus bertanya dalam diri. Apa itu hening, apa itu trust, apa itu tulus, apa itu jujur? Saya ingin terlahir baru. Saya ingin belajar lagi mulai dari awal. Saya terlintas ingin jadi pemula saja, yang tidak tahu apa-apa, yang belajar dari titik nol. Saya benar-benar menjadi goblok.
Dalam keadaan tersebut saya terlarut. Saya down selama beberapa hari, mungkin semingguan, hingga akhirnya Mas Guru datang ke Surabaya. Di dalam kajian, Mas Guru menyampaikan tentang “Jangan Sia-siakan Anugerah”. Saya sadar itu nutrisi jiwa saya pada saat itu. Terima kasih Mas Guru. Mas Guru juga menyampaikan untuk tidak terlarut dalam drama/masalah. Yang sudah, ya sudah. Ambil pembelajarannya sebagai pertumbuhan jiwa, sebagai pendewasaan diri.
Biarkan benih keilahian dalam diri tumbuh. Jika ada yang menghambat, babat habis. Apakah hanya gara-gara ini semua saya melepas semua anugerah yang telah diberikan? Tentu tidak. Kasih dan pengampunan nyata adanya.
Kesadaran saya bertumbuh. Saya sadar relasi pertemanan saya punya probabilitas untuk tidak bisa kembali seperti yang dulu. Saya menerimanya, saya merelakannya. Hal yang penting setiap diri menemukan jalan kebahagiaannya masing-masing. Toh, masalah datang karena memang ada ketidakselarasan dalam diri. Di sana tersimpan pembelajaran untuk jiwa saya dan jiwa-jiwa lainnya.
Sampai di Surabaya, saya membuat daftar sisi gelap saya di catatan. Saya tarik lagi setiap sisi gelap yang muncul. Ternyata semua berpangkal pada isu ketulusan. Sebab itu, ketulusan yang jadi dasar atau pondasi untuk ada di jalan ini. Satu sisi gelap muncul, jika tidak segera disadari, ternyata merambah munculnya sisi gelap lainnya. Dan saya berterima kasih sekali kepada Teh Norin yang sudah memberi petunjuk tentang masalah saya sekaligus solusi untuk membereskannya, yakni ketulusan dan kejujuran. Saat sisi gelap dalam berbagai bentuk muncul, hanya kejujuran yang bisa menuntaskannya. Jika kita tidak sadar, terbuka, dan jujur, bagaimana mungkin kita bisa melampaui semuanya bersama kuasa dan kasih-Nya.
Saya memberanikan diri men-japri Teh Norin tentang kesadaran yang saya dapatkan. Saya benar-benar berterima kasih dan balasan Teh Norin membuat saya semakin mantap ada di jalan ini bersama bimbingan Mas Guru dan murid Mas Guru lainnya.
Ini cuplikan balasan Teh Norin,
Hi Haryani. Aku seneng kamu mulai menyadari. Pasrah dan trust pada semesta & Guru adalah kunci nya. Dalam setiap langkah apapun, niatkan untuk tulus dan jujur 😃
Dan tentang trust, itu memang diupayakan bagi siapa pun yang belum mengenal dan mengerti realitas jiwa seseorang yang sesungguhnya. Tapi, begitu kita sudah mengerti realitas yang sesungguhnya, kita boleh memberikan trust itu. Saya trust penuh dan utuh kepada Mas Guru. Termasuk trust kepada orang-orang kepercayaan Mas Guru yang sudah dibuktikan dalam keheningan. Kini saya percaya betul dan penuh bahwa segala yang dilakukan oleh orang-orang tercerahkan adalah tentang menjalankan lakon Diri Sejati. Peran sudah berganti, mengikuti tuntunan Diri Sejati.
Sudah tidak saatnya lagi mementingkan diri sendiri. Tetap jalani hidup dengan kesukacitaan sejati melalui jalan menyadari napas. Itulah kekuatan kita untuk menghadapi segala tantangan yang ada. MERDEKA!
Penulis : S. Haryani C, pembelajar keheningan yang juga kader Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah di Surabaya Jawa Timur.