Skip to main content

Semesta yang tanpa batas, selalu menyimpan kreativitas yang juga tanpa batas. Pernahkan terlintas di benak Anda bahwa hanya dengan sehelai daun dan sebuah pena kita bisa menciptakan sebuah karya seni? Adalah Prapti Alpandi salah satu orang yang menekuni seni yang unik ini. Bicara tentang unik, yuk kita kenalan dulu dengan Prapti yang pribadinya tak kalah unik. Bagaimana tidak, perempuan yang satu ini pernah beberapa kali mengubah penampilannya dengan memangkas habis rambutnya. Di usia dewasa, dirinya pernah gundul 3 kali.

Layaknya pejalan keheningan pada umumnya, Prapti tidak luput dari gemblengan Semesta. Sebelum menemukan keotentikan dirinya, Ia jatuh bangun berjibaku melampaui tantangan yang diberikan Semesta. Untungnya, Ia tidak pernah menyerah hingga kita bisa menyelami cerita perjalanan keheningannya hari ini.

Lahir di sebuah desa di Temanggung Jawa Tengah, Prapti menjalani masa kecil seperti anak-anak yang tumbuh di desa pada umumnya. Diberkati dengan kecerdasan akademik yang lebih baik dari ketiga kakaknya, tak heran jika Prapti menjadi kebanggaan dan harapan keluarga. Sayangnya, di sisi lain Prapti mengalami pahitnya menjadi bahan perundungan oleh lingkungan sekitar. Ditambah dengan pola asuh yang kurang tepat, Prapti tumbuh besar dengan mempercayai bahwa Ia tidak berharga. Prapti kecil lekat dengan abandonment issue.

Dari SMP-SMA Ia menimba ilmu di sekolah-sekolah favorit di Magelang. Ia menjadi kebanggaan baik oleh keluarga maupun guru-gurunya. Jauh di lubuk hatinya, Ia mencintai dunia menggambar. Semasa anak-anak Prapti seringkali secara sembunyi-sembunyi menggambar di rumah. Ibunya lebih suka melihatnya belajar daripada menggambar, Ia harus melakukan kecintaannya itu secara diam-diam. Secara tak sadar, Ia mulai membungkam jiwanya.

Tuntutan keluarga yang memintanya untuk hanya selalu mengejar bidang akademis terus berlanjut. Selepas SMA, Ia mendalami pendidikan biologi di salah satu universitas negeri di Semarang. Di bangku kuliah, Ia mulai membangun dirinya dengan aktif berkegiatan baik di kampus maupun di luar kampus. Tak hanya itu, Ia juga ikut tergabung dalam LSM yang bergerak di bidang lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Di masa inilah Prapti yang dulunya rendah diri karena menjadi bahan perundungan bertransformasi menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Ia juga mulai belajar public speaking. Perubahan pada dirinya tersebut, seringkali membuat teman-teman lamanya pangling.

Di sisi lain, kebiasaan Prapti yang patuh pada keluarga agar bisa diterima, tanpa sadar membuatnya selama ini Ia tidak hidup untuk dirinya sendiri melainkan untuk keluarganya, terutama Ibu. Bapak yang tutup usia ketika Ia masih duduk di bangku kelas 6 SD, membuat Prapti kecil tumbuh menyimpan banyak gejolak di dalam dada.

Akhir tahun 2012, luka batin yang secara tidak sadar Ia pelihara termanifestasi ke dalam sakit di tubuh fisiknya. Kondisi yang sempat membuatnya seringkali harus bernafas dengan bantuan tabung oksigen. Tak hanya itu, Ia juga tak lagi bisa menikmati berbagai jenis makanan yang dulunya bebas Ia makan. Ia bahkan menjalin hubungan buruk dengan nasi. Iya, nasi. Tubuhnya sempat cukup lama sulit untuk mentoleransi nasi.

Tak puas dengan pengobatan medis, Ia pun mulai mempelajari ilmu penyembuhan holistik. Dalam perjalanan penyembuhannya, Ia terinspirasi dari salah seorang teman yang melakukan art therapy dalam perjalanan menyembuhkan penyakit kanker. Art therapy adalah kombinasi antara teknik-teknik terapi psikologis dan proses kreatif untuk meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan seseorang. Menurut pengamatannya saat itu, temannya tersebut tak hanya fokus pada penanganan medis melainkan juga fokus untuk memperbaiki emosi. Melihat kondisi kesehatan temannya yang kian membaik dengan art therapy, Prapti terinspirasi untuk mulai melakukan hal yang serupa. Ia menilik kembali kecintaan yang sempat beberapa saat ditinggalkannya. Di sini Prapti mulai menggambar lagi.

Di sisi lain, Prapti mulai enggan hidup hanya untuk mewujudkan mimpi keluarganya. Ia mulai mengubah skenario dalam hidupnya dengan melakukan lompatan besar. Meskipun pada awalnya ketakutan itu pasti ada, akhir tahun 2015 Ia memenuhi panggilan jiwanya untuk merantau ke Yogyakarta. Semesta menyambut baik keberaniannya dengan mempermudah kepindahannya ke Yogyakarta.

Tanpa kepastian akan apa yang akan Ia lakukan, Prapti tetap melangkahkan kakinya ke kota budaya ini. Gerbang untuk kehidupan yang baru telah terbuka. Seiring dengan perjalanan penyembuhannya dengan art therapy, Ia menghidupkan kembali jiwa seninya. Talenta yang ada pada dirinya terus menyeruak meminta untuk diasah. Semesta memberikan jalan. Melalui pertemuannya dengan banyak orang dari berbagai latar belakang, Semesta merangkai momen demi momen yang mengantarnya mulai menemukan keontentikan dirinya.

Mengawali tahun pertamanya di Yogyakarta. Ia banyak mengikuti berbagai macam kegiatan, mulai dari diskusi seni hingga juga mulai mendalami pendidikan alternatif. Ia banyak memperkaya dirinya dengan pengetahuan maupun pengalaman perihal seni dan budaya. Di tahun 2016, Ia mulai belajar tentang pendidikan alternatif melalui salah satu program di KUNCI, sebuah tempat pusat studi kajian budaya yang berbasis di Yogyakarta. Bersama dengan rekannya, Ia berkesempatan mengikuti pameran To Whom It May Concern Exhibition yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand pada Agustus 2017. Hingga sekarang, Prapti giat mengembangkan potensinya melalui pembelajarannya bersama teman-temannya di KUNCI.

Di ranah spiritual, Prapti mulai mengikuti kelas-kelas meditasi dengan harapan menyambung rasanya dengan Tuhan. Namun saat itu perjalanannya tak langsung berlabuh ke Guru spiritual yang sejati. Menyadari bahwa secara emosi Ia tidak baik-baik saja, Ia juga menolong dirinya dengan berkonsultasi dengan beberapa psikolog. Dalam perjalanannya, Prapti yang cukup peka secara energi, mendapati bahwa tak sedikit praktisi-praktisi kesehatan mental tersebut yang sebenarnya tak sepenuhnya “waras”. Bagaimana bisa orang yang juga sakit membantu menyembuhkan orang sakit, pikirnya. Selain itu, menurutnya tidak semua tenaga profesional itu melakukan pekerjaan mereka dengan menggunakan “hati”. Ketidakselarasan yang Ia temui dalam perjalanan penyembuhannya sempat membuatnya trauma. Beberapa kali, tubuhnya kaku ketika bermeditasi.

Tahun 2018, jiwanya mulai siap mempelajari kebenaran sejati. Di tahun ini, Semesta mempertemukannya dengan Mas Guru Setyo Hajar Dewantoro. Untuk pertama kalinya, hatinya berkata bahwa inilah yang selama ini Ia cari. Guru that she has been waiting for is finally here. Tekun belajar hening di bawah bimbingan Mas Guru, perlahan Ia melepaskan tempat-tempat belajar meditasi lain yang dulunya sempat Ia cicipi.

Semenjak tahun 2015, Prapti mulai menggambar dengan daun sebagai media. Dengan bakat menggambar dan pengalaman menelitinya di penangkaran kupu-kupu semasa menjadi mahasiswa Biologi, Ia mengeksplorasi seni di atas daun. Di tangannya, daun yang biasanya hanya berakhir gugur di tanah diubahnya menjadi karya seni. Daun yang biasa Ia gunakan adalah daun kupu-kupu dan daun bodhi. Daun-daun tersebut mulanya direndam, disikat, kemudian dikeringkan hingga menjadi media yang pas untuk menggambar.

Ingin memberi arti lebih pada karya seni di atas daun tersebut, tahun 2017 Ia melahirkan Daundala Awicarita. Daundala adalah akronim dari daun dan mandala. Sedangkan awicarita diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti ayo bercerita. Berbekal bakat seni dan ketertarikannya pada kesehatan mental, Ia mulai mengenalkan Daundala Awicarita ini. Mulanya Ia memberi kelas secara cuma-cuma pada teman-temannya. Lalu, Ia mulai berkesempatan untuk mengadakan sesi dalam seminar maupun kelas privat. Melalui sesi yang difasilitasi olehnya ini, Ia mengajak para peserta untuk belajar menyelami diri. Dalam sesi Daundala Awicarita, peserta diminta sadar merefleksikan dan kemudian mengekspresikan perasaan mereka dengan menggambar di atas daun. Prapti tidak mengajarkan teknik menggambar, melainkan mengajak para peserta untuk self healing dengan mulai melakukan hal-hal sederhana yang mereka suka dan bisa.

Dalam sesi, baik peserta maupun Prapti saling bercerita dua arah. Prapti akan menceritakan pengalamannya menemukan cara self healing-nya dengan melakukan kegiatan yang Ia suka. Ia suka bercerita, Ia juga suka menggambar. Prapti menginspirasi para peserta untuk juga memulai proses self healing mereka dengan cara bercerita, apapun medianya. Menurutnya, semua manusia bisa bercerita hanya medianya saja yang berbeda-beda. Manusia bisa bercerita melalui kegiatan-kegiatan menyenangkan seperti melukis, menari, menjahit, memasak, dsb. Dengan menceritakan perasaannya, manusia merefleksikan dirinya. Self-reflection adalah langkah awal menuju perjalanan panjang menyembuhkan diri.

Tahun 2019, bersama dengan partner-nya Rangga Anindita, yang juga pejalan keheningan. Mereka berkolaborasi dalam Ruang Kalibrasi Rasa. Dalam kelas-kelas mereka, selain menyelami diri melalui daundala, peserta juga diajak untuk lebih mengenal tubuh mereka sendiri. Rangga yang berlatar belakang pendidikan psikologi, yang juga praktisi kinesiologi terapan memanfaatkan pengetahuannya dalam Ruang Kalibrasi Rasa. Dengan muscle response test, Rangga mengajak peserta untuk mulai melatih kesadaran tubuh mereka.

Januari 2021, Ibu Prapti meninggal dunia. Dengan segala dinamika yang terjadi, Prapti menemani hari-hari terakhir Ibunya dengan kesadaran yang jauh lebih baik. Dengan hati yang lebih lapang, Prapti meluruh segala perasaan negatif yang sebelumnya Ia simpan terkait Ibunya. Tahun 2021 tak ayal adalah tahun-tahun lain yang penuh tantangan. Sejalan dengan semakin tekunnya Ia meniti jalan keheningan, Ia menolak untuk menyerah. Sebaliknya, Ia setia ngglundung mengalir mengikuti gerak Semesta.

Tak lupa untuk membicarakan berkah. Di tahun ini, berkah paling besar yang paling Ia syukuri adalah terbukanya ruang yang baru. Baik ruang secara lahir maupun batin. Pertengahan tahun ini, Prapti berpindah ke kos baru yang mana secara emosi membuatnya lebih nyaman daripada tempat tinggal sebelumnya. Dalam hal batin, Ia bersyukur akan ruang pembelajarannya yang baru. Seiring dengan teknis pembelajaran yang juga baru di Persaudaraan Matahari, Ia begitu mensyukuri bimbingan dari kakak-kakak pembimbing dan juga dukungan dari teman-teman pejalanan keheningan yang lain. Di PIG dan Persaudaraan Matahari, Ia menemukan support system yang tulus yang Ia dambakan sejak kecil.

Belakangan ini, Prapti terlibat aktif sebagai kader Pusaka Indonesia Gemahripah (PIG) Yogyakarta. Berbekal kreativitasnya, Ia aktif membuat berbagai macam prakarya di Omah Gemahripah. Mulai dari daur ulang kertas bekas, pembuatan jurnal, hingga menyulam. Jika Anda berkesempatan bertemu Prapti, mintalah Ia menularkan kreativitasnya.

Tak hanya itu, kesehatan fisiknya juga banyak mengalami perbaikan. Tabung oksigen bukan lagi teman baiknya. Hubungan buruknya dengan nasi juga perlahan membaik. Kini, Ia bisa makan nasi ayam geprek level 4 dengan nikmat. Meskipun pada akhirnya bakso goyang lidah tetaplah yang terlezat. FYI, warung bakso goyang lidah terletak sekitar 1 kilometer dari Omah Gemahripah.

Ia juga back on track dalam hal baik yang sempat Ia tinggalkan. Setelah sekian lama meninggalkan salah satu hobinya yaitu berjalan kaki. Kini Ia memulai lagi kegiatan fisik favoritnya itu. Ia menyempatkan diri untuk berjalan kaki di tengah kesibukannya berkarya. Berjalan kaki telah membantu menjaga kestabilan emosinya, katanya. Jiwa raga Prapti semakin pulih dengan baik.

Terima kasih Prapti karena telah memilih jalan keheningan ini. Terima kasih sudah menginspirasi untuk menemukan keotentikan diri.

Penulis : Tutut Tria Pertiwi, kader PIG Yogyakarta