“Mama, kata Miss di sekolah, jangan buang sampah anorganik di sungai. Bisa kebanjiran rumah kita.”
“Ajik, buah lungsuran habis sembahyang yang sudah layu jangan dibuang, bisa dibuat Eco Enzyme (EE), banyak lho manfaat Eco Enzyme kata ibu guru.”
Begitulah kalimat–kalimat yang diucapkan oleh anak–anak mungil, siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yang baru saja menyelesaikan proyek dari kurikulum merdeka dengan topik ‘Aku Sayang Bumi’ ini, sungguh membuat kami sebagai pendidik bangga. Harapan kami agar lingkungan lestari mulai terjadi, melihat anak-anak sudah punya kesadaran untuk menjaga kebersihan di lingkungannya.
Saat ini Pulau Bali dan khususnya kota Denpasar hampir di setiap sudut mempunyai sampah menggunung dan berbau busuk, bahkan di beberapa kelurahan sampah tumpah ruah ke badan jalan sehingga mengganggu lalu lintas.
Meskipun pemerintah mencoba mengatasi dengan membuat strategi seperti bank sampah, menerapkan 3R, yaitu reduce-reuse-recycle, namun belum diiringi dengan kesadaran masyarakat. Pemilahan sampah dari skala terkecil pada rumah tangga tidak dilakukan.
Melihat hal ini Bunda PAUD kota dan kabupaten (istri dari walikota/bupati) di Bali menghimbau kepada pendidik PAUD untuk mengajari cara memilah sampah sejak usia dini. “Sulit mengajari ayah bundanya untuk memilah sampah karena sudah alot kebiasaan ini. Jadi, tugas ibu–ibu pengajar PAUD inilah untuk menanamkan kebiasaan memilah sampah mulai dari usia dini,” kata bunda PAUD kabupaten Tabanan, Ibu Rai Wahyuni Sanjaya, dalam pidatonya pada acara Konfercab IGTKI – PGRI yang dihadiri oleh kepala dinas Pendidikan kabupaten Tabanan, pengawas, pengurus IGTKI- PGRI Provinsi Bali dan guru – guru TK yang mengajar di kabupaten Tabanan.
Saya sebagai kader dari Pusaka Indonesia wilayah Bali sekaligus guru TK, melihat kesempatan ini untuk ikut serta berpartisipasi dalam mengkampanyekan pemanfaatan dan pemilahan sampah. Segera kami membentuk tim dari Pusaka Indonesia Bali yang berkenan hadir pada hari Senin sampai Rabu pada tanggal 25 Maret sampai 27 Maret 2024.
Bersama tiga lembaga kami melakukan edukasi mengenalkan macam–macam sampah dan cara mengelolanya. Salah satunya dengan cara membuat Eco Enzyme, sebagai alternatif solusi untuk mengolah limbah buah di Bali yang berlimpah setelah digunakan sebagai sarana sembahyang. Jadi, sangatlah mudah untuk mencari bahan organik untuk membuat Eco Enzyme.
TK Mentari yang berlokasi di Denpasar Barat, sekolah pertama yang menjadi lokasi perdana untuk kegiatan edukasi cara memanfaatkan limbah sampah menjadi Eco Enzyme. Suasana belajar yang ceria di luar ruang kelas bahkan membuat beberapa murid yang berceloteh jenaka sangat antusias mendengar penjelasan manfaat dari Eco Enzyme. Mereka ikut menirukan kakak–kakak dari Pusaka mengucapkan kalimat, “Manfaat dari Eco Enzyme untuk mengobati luka, mengobati gatal, untuk membersihkan kamar mandi, untuk mengepel, dan banyak lagi.”
Setelah belajar teori, anak–anak dengan sangat antusias terlibat dalam memotong sayur, buah, menghancurkan gula merah, bahkan menimbang bahan didampingi oleh kakak–kakak dari Pusaka Indonesia Bali.
Begitu juga pada lembaga PAUD kedua, TK Werdhi Kumara yang terletak di Banjar Bumi Werdhi, Denpasar Barat. Suasana yang tertib, namun penuh sukacita sangatlah menyenangkan. Bahkan dengan kilat anak–anak menyanyikan bahan–bahan yang dipakai untuk Eco Enzyme.
“Satu satu ada sisa buah dan sayur, dua dua ada gula merah, tiga tiga masuk dalam ember, satu… dua…. tiga, jadi Eco Enzyme.” Kami dari kader Pusaka Indonesia Bali menikmati momen surgawi sambil tersenyum simpul melihat sukacita anak–anak belajar menyayangi bumi.

Kegiatan Edukasi Ekoenzim di TK Werdhi Kumara Denpasar Bali
Lembaga ketiga masih di TK banjar, begitu kami menyebutnya karena memang TK ini terletak dan dalam manajemen banjar yang dikelola oleh ibu–ibu PKK Banjar Abiantimbul Kecamatan Denpasar Barat. TK Ekadasi mempunyai 60 murid, lebih banyak daripada TK Werdhi Kumara yang mempunyai 20 siswa dan TK Mentari 40 siswa.

Kegiatan edukasi ekoenzim di TK Ekadasi Denpasar Bali
Di TK Ekadasi memang lebih ramai, beruntung saat itu yang hadir dari kader Pusaka Indonesia Bali ada empat orang, sehingga bisa menangani peserta yang lebih banyak. Semesta selalu mengirimkan semua yang kami butuhkan dan pantas kami dapatkan. Meskipun suasana lebih ramai saat belajar membuat Eco Enzyme namun terasa menyenangkan dan penuh semangat. Begitu pula ibu – ibu guru yang turut semangat belajar, karena ternyata ini adalah hal baru dan pertama kali mereka mengetahui cara pengolahan limbah buah yang biasanya mereka buang sehabis upacara keagamaan.
Demikian aplikasi dari ‘Hening dan Beraksi’ yang menjadi moto Ketua Umum Pusaka Indonesia, Setyo Hajar Dewantoro. Kami menjalankan tugas dengan penuh sukacita dan menikmati semua dinamika sambil melatih keheningan.
Sebagai pendidik sekaligus kader Pusaka Indonesia, saya berharap gerakan ‘Sayang Bumi’ ini seperti bola salju yang semakin membesar dalam menularkan kesadaran kepada masyarakat untuk menjaga alam sekitarnya, bumi tempat kita tinggal dan berevolusi.
Penulis: Hartatik, Guru TK, dan kader Pusaka Indonesia wilayah Bali