Masih segar dalam ingatan Sri Suharti saat masa kanak-kanaknya, ia merasakan sorgum ketan dicampur kelapa parut dan garam, rasanya gurih dan lezat seperti ketan. Sri Suharti, kader Pusaka Indonesia wilayah Yogyakarta, yang lahir pada tahun 1969, mengenang 15 tahun pertama hidupnya yang penuh kesederhanaan namun berkecukupan di Desa Klepu, Giripanggung, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Gunung Kidul Dulu Subur
Bagi warga Yogyakarta, Gunung Kidul mungkin lebih dikenal sebagai wilayah yang tandus dan kering. Sementara kabupaten-kabupaten lain di Provinsi DIY dikenal subur dengan persediaan air yang mencukupi, Gunung Kidul seringkali dianggap kurang ideal untuk bertani dan tak menarik bagi investasi. Meski demikian, Gunung Kidul menyimpan keindahan alam, seperti pantai-pantai berpasir putih dan destinasi wisata seperti Goa Jomblang, Goa Pindul, dan Gunung Api Purba Nglanggeran.
Namun, siapa sangka bahwa wilayah yang kini gersang tersebut dulu sangat subur. Wanita yang biasa disapa Harti ini adalah saksi hidup bahwa tanah yang saat ini gersang, sebenarnya dulu adalah mahakarya Semesta yang subur. “Suasana di kampung saya dulu itu saat musim hujan subur banget, dan saat musim kemarau, ya kering. Di musim hujan, kami tampung air hujan untuk kebutuhan memasak di musim kemarau. Kalau untuk kebutuhan mencuci dan mandi kami pergi ke telaga. Tapi meskipun begitu, tanah sangat subur, meskipun ladangnya ladang tadah hujan. Bercocok tanam dilakukan hanya saat musim hujan saja. Panen setahun sekali, tapi bisa sangat melimpah. Di dataran ataupun pegunungan sama, semua bisa ditanami.” Ia juga mengisahkan bagaimana ladang-ladang tumpang sari ditanami padi, jagung, kacang tanah, singkong, dan sorgum, sementara area pegunungan dipenuhi tanaman seperti cabai, bawang, kentang kleci, umbi ganyong, umbi garut, umbi suweg.
Bahkan untuk kebutuhan rumah tangga, mereka tidak perlu membeli kayu atau bambu karena dulu masih banyak hutan bambu dan hutan jati. “Dulu, jika simbah mau renovasi rumah, kami tidak perlu membeli kayu dan bambu, dan tidak membayar tukang, karena dikerjakan gotong royong oleh tetangga hingga selesai,” jelas Harti. Sayangnya, sejak tahun 1980-an tanah di sana menjadi gersang, disebabkan oleh penggunaan pupuk kimia dan banyaknya penebangan hutan bambu dan jati, namun tidak ditanami lagi.
Bukan Perut Nasi
Orang Indonesia memiliki anggapan kuat bahwa jika belum makan nasi berarti belum makan. Tanpa nasi, perut belum kenyang. Namun, kenyataannya, nenek moyang kita tidak selalu bergantung pada nasi sebagai makanan pokok. Harti adalah salah seorang yang pernah mengalami kehidupan di mana makanan pokok sehari-hari tidak harus nasi. “Setiap pagi kami sarapan nasi sorgum ketan, dicampur parutan kelapa. Kelapanya juga metik sendiri. Kami tiap hari makan nasi tiwul atau nasi jagung. Walaupun punya padi, tapi kami jarang makan nasi beras. Kata simbah padinya untuk persediaan jangka panjang. Jika nanti musim hujan tiba, kami masih punya stok makanan. Saya tuh kalau makan nasi beras, setahun sekali kalo pas habis panen ada acara rasulan (bersyukur setelah panen). Kami tak pernah kekurangan makanan, dan semua hasil panen,” kenang Harti.
Generasi yang ‘Hilang’ dan Misi Melanjutkan Estafet Sorgum
Cerita Harti di atas menyebutkan bahwa salah satu yang dikonsumsi adalah sorgum. Atau kadang disebut juga cantel. Bagi masyarakat sekarang sorgum terdengar asing. Pamor sorgum sudah meredup, tertutup oleh massalnya penanaman padi dan impor beras. Padahal sebelum beras merajai perut bangsa Indonesia, nenek moyang kita sudah mengkonsumsinya beberapa abad yang lalu. Hal ini menegaskan bahwa tanah Nusantara subur dan menghasilkan berbagai tanaman pangan. Beberapa generasi sempat terputus dan tak lagi mengenal sorgum. Tidak pernah melihat langsung apalagi mengkonsumsinya. Berkat kisah Harti yang merasakan nikmatnya sorgum dari hasil panen sendiri, kita diingatkan akan pentingnya menyambung kembali estafet sorgum agar tanaman ini dapat dikenal dan dikonsumsi kembali oleh generasi sekarang.
Sorgum dan Kedaulatan Pangan
Lalu mengapa kita perlu memberi perhatian terhadap keberadaan sorgum? Salah satu misi Pusaka Indonesia adalah mewujudkan ketahanan pangan dengan mensosialisasikan sorgum sebagai pengganti nasi. Mengapa sorgum? Sorgum adalah tanaman sumber karbohidrat yang memiliki kandungan gizi tinggi dan banyak serat. Selain itu, ada beberapa keunggulan budidaya sorgum dibanding padi, yaitu :
- Tahan penyakit.
- Dapat tumbuh di dataran rendah maupun tinggi.
- Mampu panen tiga kali dalam sekali tanam.
- Kebutuhan air lebih sedikit dibandingkan padi.
- Memiliki kemampuan adaptasi yang luas terhadap berbagai kondisi lingkungan
Kisah masa kecil Harti adalah gambaran tentang potensi tanah Indonesia. Kini, tugas kita adalah merealisasikan kembali masa kecil Harti dengan kesuburan tanah dan hasil sorgumnya. Hal inilah yang dilakukan oleh PT Bumi Nusantara Gemah Ripah (BNGR), lembaga afiliasi Pusaka Indonesia, yang menanam sorgum dengan metode Sigma Farming yang ramah lingkungan.
Adapun Pusaka Indonesia, melalui berbagai kegiatannya di Sigma Farming Academy dan Akademi Bumi Lestari, bertujuan untuk pemulihan tanah dan pelestarian lingkungan. Di antaranya, kegiatan menuang Eco Enzyme untuk menjernihkan sungai, menggiatkan Kebun Surgawi, untuk penyediaan pangan sehat, penanaman pohon, aksi bersih sungai, dan sebagainya. Sudah saatnya kita kembalikan lagi kesehatan tanah dan menghadirkan sorgum di dapur rakyat Indonesia.
Stella Manoppo
Kader Pusaka Indonesia Wilayah Yogyakarta