Konsistensi Parjono Bertani Organik: Dari Palawija Hingga Padi
Parjono mengaku paling susah menjawab jika ditanya apa hobinya. “Karena saya suka tanaman, jadi ya hobi saya mengelus tanaman,” tegas ayah dua anak ini. Mungkin ini bukan hobi yang banyak orang miliki. Tapi, begitulah jawaban jujur dari seseorang yang sudah mendarah daging dengan profesi sebagai petani. Parjono memang lahir dari keluarga petani. Sejak kecil ia sudah akrab dengan dunia tani. Saat temannya bermain, Parjono kecil lebih suka berada di kebun bersama ayahnya untuk belajar mengolah tanah dan menanam palawija. Produk pertanian yang banyak ditanam di desanya, di Wonogiri, Jawa Tengah, tempat ia lahir di akhir tahun 1982.
Parjono masih ingat betul bagaimana ayahnya dan semua penduduk desanya yang bertani masih menggunakan bahan-bahan alami untuk mengolah lahan. Mereka mengolah kohe kambing atau sapi yang dicampur daun-daunan untuk membuat kompos. Begitu juga untuk pestisida, mereka masih menggunakan daun-daunan dan akar-akaran. Sayangnya kebiasaan baik itu justru mulai ditinggalkan. Seingatnya sekitar tahun 1990-an, penggunaan pupuk sintetis mulai disosialisasikan oleh petugas penyuluh lapangan. Para petani mulai menggunakan urea dan pupuk sintetis lainnya, yang masih digunakannya sampai sekarang.
Selesai menamatkan pendidikannya di SMP tahun 1999, Parjono muda ingin jadi pengusaha. Tapi ia bingung mulai dari mana dan bidang apa yang akan ia tekuni. Ternyata passion-nya di dunia tani yang sudah ia miliki sejak kecil mengarahkan perhatiannya pada tanaman lada sebagai tanaman yang punya nilai tinggi. Ia ingat betul lirikannya pada tanaman lada terjadi 2 tahun sebelum ia menikahi Wigati tahun 2007.
Penggunaan bahan alami sebagai pengalaman yang pertama ia dapat ketika kecil rupanya membuatnya lebih peka akan kondisi tanah yang semakin keras akibat penggunaan pupuk sintetis. Selain itu, ia juga melihat para petani di desanya seperti tergantung pada pupuk sintetis karena lahan yang rusak. Tanaman akan kuntet jika tidak diberi pupuk sintetis. Maka di tahun 2007, ia memantapkan diri untuk bertani organik. Ia tidak peduli dengan para petani di kampungnya yang meragukan pupuk alami bisa membuat tanaman tumbuh dengan subur. Prinsipnya sederhana, “Saya melakukannya di lahan saya sendiri, mosok, ya saya rusak sendiri,” paparnya.

Parjono sedang panen padi organik Sigma Farming
Pilihannya untuk menggunakan pupuk dan pestisida berbahan alami memang tidak salah meski sempat dipandang sebelah mata dan mendapat pertentangan dari keluarga. Tidak mudah baginya karena bertani organik membutuhkan waktu lama hingga 3 tahunan untuk mendapatkan hasil yang tidak kalah bagus dibanding petani lain yang menggunakan bahan sintetis. Nyatanya, cara yang ia gunakan membuat tanahnya semakin subur dengan biaya yang jauh lebih murah.
Di lahan seluas 700 meter persegi, tahun 2020 ia memperkaya kebunnya dengan menanam vanili dan empon-empon. Hasilnya semakin moncer setelah ia terapkan teknik Sigma Farming. Teknik yang ia dapat di pelatihan yang diselenggarakan Pusaka Indonesia tahun 2022. Beberapa petani yang melihat hasil taninya mulai ada yang tertarik belajar apa yang ia terapkan. Meski belum banyak, pengalaman otentiknya sudah cukup sebagai modal pembuktian bahwa bertani yang benar itu yang caranya menggunakan bahan-bahan yang natural.
Penolakan yang keras dari ayah dan mertuanya terhadap cara bertaninya yang organik pun secara bertahap mulai mereda. Hasil padi sawah seluas 3.200 meter persegi, secara bertahap naik dari 8 karung kini sudah mencapai 12,5 karung. Ia yakin suatu saat ayah dan mertuanya akan mau sepenuhnya menggunakan pupuk alami, karena dengan mengurangi penggunaan pupuk sintetis sudah terbukti hasil yang didapat bisa lebih banyak dan juga lebih bagus hasilnya.

Parjono bersama pisangnya yang berbuah lebat
Ypkris
Kader Pusaka Indonesia Jawa Barat