Skip to main content

Untuk pertama kalinya Pusaka Indonesia mengadakan kegiatan yang diperuntukkan bagi remaja. Sabtu, 24 Februari 2024, berlangsung Kelas Menulis Jurnalisme Pusaka untuk remaja tingkat SMP dan SMA. Kegiatan berlangsung di Museum Bahari, Jakarta Utara, diikuti oleh 8 siswa, yang berasal dari Jabodetabek. Bahkan, ada pula yang datang dari Serang dan Purbalingga, Jawa Tengah.  

 Belajar dari Jurnalis

Sebelumnya, mereka mengikuti pembekalan lewat sesi online, di tanggal 18 Februari 2024, dipandu oleh Faunda Liswijayanti, Managing Editor Femina Media dan Ficky Yusrini, Direktur Penerbit Mahadaya. Faunda menyampaikan tentang seluk beluk pekerjaan seorang jurnalis, dari pencarian ide, proses peliputan berita, wawancara, hingga tulisan tersaji ke publik. Faunda memaparkan, sebagai jurnalis, tulisannya banyak dibaca orang, meski sebetulnya kata-kata yang ditulis bukanlah kata-kata sendiri, tetapi hasil wawancara dengan orang lain yang diolah ke dalam tulisan. Selain mengumpulkan informasi, jurnalis juga melakukan riset dan investigasi, untuk mendapatkan informasi secara lebih lengkap dan bisa dipertanggungjawabkan, untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat melalui berbagai medium, seperti cetak, online, hingga media sosial.   

Sedangkan Ficky menyoroti tentang perlunya gairah menulis di kalangan remaja, yang notabene adalah para generasi Z. Masyarakat perlu tahu seperti apa suara gen Z, aspirasinya, dunianya, karakteristiknya, keunikannya, dan itu semua bisa lebih tersampaikan lewat tulisan. Itulah kenapa, mengasah kemampuan menulis menjadi keterampilan yang dibutuhkan, apa pun profesi yang ingin ditekuni nantinya.

Dalam pengantarnya saat membuka sesi di Museum Bahari, Nenden Fathiastuti, Ketua Bidang Media dan Kampanye Pusaka Indonesia, mengatakan, Pusaka Indonesia ingin memberi ruang untuk para Gen Z ini mengasah talenta. Program ini adalah salah satu kontribusi Pusaka untuk menyentuh para generasi masa depan bangsa, agar peduli dengan sejarah bangsa dan bangga dengan jati diri sebagai bangsa Nusantara yang besar.

Bukan Piknik Biasa

Pukul 9.30 WIB peserta sudah tiba di museum. Sesi diawali dengan hening cipta, mengenalkan tradisi ini ke remaja. Dilanjutkan dengan sesi pembekalan. Kegiatan apa saja yang akan dilakukan hari itu. Peserta dibagi menjadi dua kelompok, yakni Kelompok Sriwijaya dan Majapahit. Mereka akan bekerja bersama kelompoknya, berdiskusi, menggali ide, melakukan riset, observasi, dan wawancara. Di awal, mereka masih malu-malu untuk berkenalan dengan teman baru, tapi karena dibagi dalam kelompok kecil dan langsung diberi challenge, otomatis mereka dituntut untuk beradaptasi.

Acara yang tidak boleh dilewatkan adalah sesi tur eksplorasi museum yang didampingi pemandu tur. Bak dibawa mesin waktu ke masa lalu, awal dibangunnya gedung museum yang berusia ratusan tahun. Mereka juga mempelajari perahu-perahu Nusantara, dari era keemasan Nusantara sebagai bangsa pelaut, hingga perahu etnis dari penjuru Nusantara yang dibuat dari kayu kokoh, dengan teknologi yang tampaknya sederhana tapi sangat kuat, digali dari kearifan lokal dan bahan yang mudah ditemukan di sekitar. Tidak hanya itu, mereka juga belajar tentang rempah, sebab dahulu gedung ini memang dibuat sebagai Gudang tempat VOC menyimpan rempah.

Masih banyak lagi sisi yang menarik dari museum ini yang dijelajahi para remaja ini. Namun demikian, mereka harus memilih dari sekian banyak informasi dan hal baru itu kemudian dipilih hanya satu topik tulisan. Kelompok Sriwijaya tertarik untuk mengangkat lebih jauh sisi sejarah berdirinya museum ke dalam bahan tulisan mereka. Untuk itu, mereka berbagi tugas, ada  yang mewawancarai staf museum, staf perpustakaan, dan ada pula yang mencari data dari buku yang tersedia di Perpustakaan Museum Bahari. Sedangkan, Kelompok Majapahit mengangkat tentang kesan-kesan para pengunjung terhadap Museum Bahari. Sebagian besar peserta baru pertama kali berkunjung ke museum ini, dan mereka menyatakan ketakjubannya terhadap apa yang mereka temui di sana. Kelompok Majapahit juga mewawancarai petugas satpam dan penjaga tiket untuk menggali cerita-cerita perilaku pengunjung museum. Mereka juga mewawancarai pengunjung museum, yang, tak disangka, bercerita banyak tentang ketertarikannya pada isu kemaritiman dan keprihatinannya atas nasib para nelayan negeri ini yang kehidupannya masih kekurangan.

Temuan-temuan itu didiskusikan bersama tim masing-masing, untuk kemudian dipresentasikan di depan. Hari itu, mereka belajar membuat outline dan rencana tulisan. Acara ditutup dengan PR deadline tulisan. Seperti apa pengalaman mereka dari Museum Bahari dan karya tulisan jurnalistik mereka? Nantikan!