Skip to main content

Awal Mula Perjalanan

Meski namanya Bali, darah yang mengalir asli dari kedua orang tua Bali, namun ternyata Nyoman Suwartha dilahirkan di Yogyakarta, mengikuti perjalanan Bapak (1 dari 9 bersaudara anak kakek) yang nekad merantau ke luar Bali dengan pengharapan mendapatkan pendidikan, penghasilan dan kesejahteraan yang lebih baik. Sebagai anak kelahiran tahun 1974, tepatnya di tanggal 28 Januari di bawah naungan Aquarius, mungkin secara seeds (benih) spiritual saya relatif tergolong rendah dibandingkan dengan anak-anak generasi milenial kelahiran 2000an yang seeds nya rata-rata tinggi (bisa 8 dari skala 0-10). Namun panggilan dan kerinduan untuk mendapatkan dan merasakan kembali jalan spiritual terasa mulai tumbuh sejak di bangku Sekolah Dasar kelas 5.

Bermula dari diajak kelas yoga dan meditasi oleh Bapak, I Nengah Beratha (beliau sempat menjadi koordinator Yayasan Ananda Marga cabang Yogyakarta), yang hampir rutin diadakan seminggu sekali. Teringat di salah satu retreat di Singaraja Bali, dalam satu sesi “Kirtaan” (menyanyikan mantra sambil melakukan gerak tarian) sebagai tahap persiapan sebelum melakukan meditasi, saya tanpa sadar terisak haru terbawa alunan “Baba Nam Kevalam”, yang ternyata memang ditujukan untuk menanamkan rasa kebahagiaan (bliss) dan keterhubungan dengan Sang Maha Kesadaran (Supreme Consciousness). Tentu saja saat itu belum tahu apa arti isakan tangis kecil, hanya keluguan dan terheran kenapa bisa nangis saat mendendangkan mantra.

Tetapi kegiatan terkait dengan laku spiritual (Sadhana) tersebut hanya sempat dijalani kurang lebih 2 tahun, karena ada pergantian pengurus dan Bapak semakin aktif kegiatan mengajar sebagai Dosen di Fakultas Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta hingga pensiun. Praktis sadhana yang biasa saya lakukan juga terputus seiring dengan kegiatan sekolah serta mulainya terpapar sistem pendidikan, norma masyarakat dan dogma agama, dan lain-lain.

Episode berikutnya, sebagaimana orang kebanyakan saya bertumbuh remaja, sekolah, belajar, bermain hingga lulus SD nilai pas-pasan beruntung dapat SMP Negeri 2 Depok, SMA Negeri 8, hingga dewasa sempat kuliah dan lulus S1 dan S2 Teknik Sipil Hidro-Sumberdaya Air di UGM tahun 1998 dan 2002. Sepanjang masa kecil hingga remaja, masih ada sadhana yang tersisa yaitu ketertarikan membaca buku spiritual dengan mencuri-curi buku bacaan Bapak, seperti Jiddu Krishnamurti, Shrii Shrii Anandamurti, Svami Vivekananda, hingga Sathya Sai Baba.

Di tahun 2003, saya melingkarkan cincin pernikahan ke jari manis Ni Luh Made Muryadewi, gadis Bali yang sejak lulus SMK tinggal bersama pamannya di Yogya, secara kebetulan kolega Bapak di UPN, tepat sebelum melanjutkan belajar S2 dan S3 di Hokkaido University, Jepang di bidang Environmental Resources hingga lulus tahun 2009. Hobi membaca buku spiritual, dibanding buku textbook akademik, justru makin menjadi saat masa kuliah di Hokkaido, mungkin tertular kebiasaan orang Jepang yang sebagian besar gemar membaca baik itu di dalam kereta, bis, nunggu antrian di tempat umum seperti restoran, selalu menghabiskan waktunya untuk membaca. Beberapa buku yang sempat jadi santapan sehari-hari antara lain ditulis oleh; Gede Prama, Thich Nhat Hanh, Osho, Deepak Chopra, Eckhart Tolle, H.W.L. Poonja (Papaji), Mooji, Neale Donald Walsch, Dalai Lama, Ajahn Brahm, Ajahn Chah, Miranda Macperson, dan lainnya. Hal ini juga didukung tersedianya akses internet yang relatif lebih cepat, baik di kampus maupun apartemen sehingga sangat memudahkan dan bermanfaat untuk melihat video terkait meditasi ataupun satsang melalui youtube channel beberapa tokoh tersebut.

Setelah kembali ke tanah air, ternyata juga tidak serta merta bisa langsung mendapat pekerjaan sebagai dosen tetap. Hampir selama satu tahun lebih menikmati kegiatan di rumah, berkebun, merawat anak, Ni Putu Megumi Novitasari, made in Japan kelahiran Yogya, yang baru 4 tahun, sekaligus mengantar-jemput istri yang saat itu bekerja di Wisma MM UGM sebagai staf front-office, memasok gallon air minum dan gas tabung untuk keperluan rutin koperasi. Sampai akhirnya di tahun 2010, beberapa lamaran yang disebar ke sekian universitas di Bali, Jogja, Jakarta bertambat di Universitas Indonesia, bukan UGM yang notabene menyekolahkan saya hingga S3 ke Jepang.

 

Foto Keluarga tahun 2013

Mungkin ini jawaban dari doa seorang Ibu saya, Ni Ketut Siti Artini, yang dengan tulus tiada lelah mendoakan puteranya mendapatkan yang terbaik. Padahal secara keinginan, saya ingin tinggal di Jogja supaya bisa menjaga dan merawat orang tua, karena kakak perempuan (Ni Made Sukarini) dan adik laki-laki (I Ketut Aryatha) sudah duluan hijrah ke Jakarta mengikuti jalan hidupnya masing-masing. Namun apa mau dikata, nasib mengantarkan saya untuk pindah dan menetap di Depok, Jawa Barat. Saat itu terbersit pertanyaan, apa peran yang akan dijalani di Depok, di UI, terkhusus di prodi Teknik Lingkungan? Pertanyaan serupa juga muncul di saat masa kuliah, kenapa di UGM, kenapa Teknik Sipil Hidro, kenapa KKN di Pituruh Purworejo, ada peran apa yang harus dilakoni? Biarlah mengalir saja, tetap yakin sang waktu akan membukakan makna dan jawabannya, seperti yang sudah-sudah.

Sejak 2010, praktis mulai aktif mengajar di UI dengan segala tugas administrasinya, namun membaca buku spiritual masih menjadi kegiatan mengasyikan di waktu luang, terutama istirahat akhir pekan. Proses pencarian juga masih terus berlanjut melalui media online (Youtube, website, Facebook) diantaranya sempat mengenal tokoh seperti Supreme Master Ching Hai, Sadhguru Jaggi Vasudev, Wayan Mustika, dan lain-lain. Sempat tertarik dengan apa yang diajarkan Sadhguru, rasanya sangat mengena bagi masyarakat modern dengan pendekatan kekinian memadukan unsur teknologi, rekayasa, kedalam teknik meditasi dan yoga untuk transformasi diri. Sempat mengikuti beberapa retret hingga ke Malaysia seperti Program Inner Engineering hingga Bhava Spandana, serta beberapa praktek yoga  Shambavi Mahamudra Kriya. Namun demikian, ini juga tidak bertahan lama karena kelas-kelas (program) lanjutan cukup terkendala di waktu, biaya, serta terlihat banyak “ritual” dalam prakteknya, dengan disiplin tertentu yang harus dijalankan. Intinya cukup ribet secara praktek untuk bisa kontinyu dijalankan.

Ternyata jika dilihat ke belakang, jejak pencarian jati diri melalui pengalaman pertama “tersentuh” kerinduan perjumpaan rasa dengan sumber kebahagiaan saat SD, hingga beranjak dewasa dengan membaca buku, meditasi dan yoga sedikit banyak membuka cakrawala dan wawasan terkait dunia spiritual. Namun secara pengalaman rasa masih belum menemukan satu metode yang sesuai dan klik dengan diri ini. Semakin banyak yang dibaca, justru kadang membuat bimbang dan bingung mau ikut metode yang mana, karena secara esensi yang diajarkan sebenarnya sama hanya cara atau pendekatan yang dipakai berbeda… senada dengan ungkapan “banyak jalan menuju Roma”. Kalau dijalani semua metode sudah pasti akan tidak maksimal hasilnya karena perhatian terpecah, tidak fokus dan kemungkinan bisa terjadi ketidakselarasan energi sehubungan belum tahu secara pasti bagaimana kemurnian dari apa yang diajarkan dan siapa yang mengajarkan. Saya yakin apa yang dialami sejak kecil hingga saat dewasa menjadi jalan-jalan yang harus dilalui untuk menambah wawasan dan pemahaman sebagai bekal menemukan Guru yang tepat.

Sampai pada akhirnya, diperjumpakan dengan Mas Guru Setyo Hajar Dewantoro (SHD) sekitar awal tahun 2018 melalui blog lamanya, saat itu masih padepokan pengging, dan langsung tertarik dengan beberapa artikel yang ditulis dan buku pertama tentang Dewa Ruci, kalau tidak salah. Saya langsung kontak melalui email untuk pemesanan buku, namun dijawab mas Guru sudah tidak cetak lagi. Akhirnya buku pertama yang saya koleksi adalah MEDSEBA (Meditasi Sehat Bahagia) Meditasi Nusantara Kuno (2016), yang kemudian berlanjut dengan SUWUNG Ajaran Rahasia Leluhur Jawa (2017), SASTRAJENDRA Ilmu Kesempurnaan Jiwa (2018), SANGKAN PARANING DUMADI Puncak Ajaran Spiritual Jawa (2019), JUMBUH KAWULA GUSTI Jalan Kesatuan Agung (2020) hingga ke buku yang baru terbit tahun ini TANTRA YOGA Pengetahuan Suci Tentang Diri, Tuhan dan Jagat Raya.

Tahapan Perjalanan dalam Keheningan

Hening bersama pembelajar Suwung lainnya..

Sejak perkenalan pertama dengan Mas Guru SHD melalui buku, dan media sosial lainnya, makin membuka kesempatan untuk mengetahui dan mengikuti agenda kegiatan meditasi yang dikemas dalam bentuk kajian, workshop atau retreat diselenggarakan oleh Mahadaya Institute (MI) antara lain: Retret Jatinom 3 (10-11 Agustus 2018), Retret Cilember 1 (28-30 Juni 2019), Retret Umejero (98-9 Agustus 2019), Nusantara Leadership Training, Pondok Pitaya Bali (13-15 September 2019), Cilember 2 (1-2 November 2019), serta beberapa kajian rutin setiap bulannya yang diadakan di beberapa kota seperti Jakarta, Tangerang, dan Workshop di Bandung, Bogor, Jogja, dan Blitar.

Retreat Jatinom 3 menjadi kelanjutan perjalanan spiritual yang sempat terputus untuk memenuhi kerinduan jiwa ini kembali pada kemurnian dan evolusinya. Masih teringat di hari terakhir retreat saat sesi meditasi kedua, kembali isak tangis keharuan seperti saat SD dulu terulang, kerinduan mendalam akan perjumpaan rasa dengan Ibu Bumi. Pada saat penutupan mas Guru menyampaikan Level of Consciousness (LoC) saya naik ke 510 karena tangisan tersebut (meskipun berdasar hasil tracking past life, Jiwa sebelumnya yang terdeteksi pernah mencapai LoC 610). Demikian pula di setiap retret selalu ada rasa haru, bahagia dan kedamaian selama sesi meditasi. Pada Retret Cilember 1 dan 2, isak keharuan juga pecah kembali selama sesi “lukisan jiwa” membuat lukisan dalam satu grup dari goresan-goresan yang dituntun dorongan dari dalam diri, yang pada akhirnya terbentuk motif Mandala dan memberkati semua keberadaan dengan kasih murni. Tertangkap pula pesan “terima kasih telah kembali lagi di sini dan memberkati kami pohon-pohon di areal hutan dengan kasih murni”

Dalam perjalanannya, agak susah untuk mengatakan perubahan yang terjadi atau hal khusus yang dialami karena mungkin bergabungnya dengan komunitas MI meski baru tapi seolah tidak asing, dan motivasi yang mendorong ikut meditasi bukan karena alasan seperti sakit, kesulitan secara ekonomi, masalah rumah tangga atau pekerjaan. Sehingga seolah tidak ada perubahan ekstrim dari kondisi sebelum dan sesudah ikut meditasi. Apalagi saat sesi meditasi tidak seperti rekan pejalan lain yang bisa melihat kesan atau pesan yang disingkap secara visual, atau mengolah dan menggunakan energi untuk healing, dan sebagainya. Sehingga kadang terlintas pikiran apa benar ya meditasi yang dilakukan? Sampai kapan kira-kira bisa punya pengalaman seperti itu? serta drama pikiran lainnya, yang kalau diikuti bisa jadi faktor pemicu untuk berhenti melakukan meditasi.

Ketika sesi konsultasi khusus dengan Mas Guru, dikatakan bahwa memang itu bukan tujuan dari meditasi, dan tidak perlu dikejar, yang penting ada rasa bahagia dan damai di dalam. Memang rasa seperti itu yang selama ini dirasakan, ada ketenangan, haru sukacita, damai di setiap sesi meditasi yang dipandu Mas Guru. Meskipun tahapan penyelarasan diri, pemurnian diri juga belum secara jelas sampai dimana pencapaian, termasuk sudah berapa aktif tiap cakra dan seberapa jauh kundalini bangkit, karena memang tidak ada tanda-tanda yang dirasakan seperti rekan  pejalan yang lain, tapi yakin proses tersebut sedang dan akan terus berjalan sampai saatnya nanti tersingkap dengan sendirinya. Secara tidak langsung, ada pembelajaran yang bisa diambil untuk diri ini antara lain melampaui iri hati, mengurangi cengkeraman ego, dan tidak menarget atau terobsesi yang berlebihan. Di setiap retreat atau workshop dijadikan kesempatan untuk menanyakan ke Mas Guru SHD, minta evaluasi sudah sampai dimana saya berprogres. Namun selalu jawaban yang muncul singkat padat: “sip…”  “lanjutkan…”  “aman dong…”  “wilujeng nggih…” disertai pelukan kasih yang tak pernah terlewatkan. Matur nuwun Mas Guru.

Sungguh sangat bersyukur perjalanan pencarian jati diri melalui laku spiritual tidak melalui tahapan ekstrim hingga nyasar ke sana-sini. Mungkin karena niat dari awal memang biarlah mengalir sesuai jatah dilandasi kejujuran dan ketulusan, salah satu pendidikan moral berharga yang ditanamkan di keluarga kami sejak kecil, untuk memurnikan diri, sehingga tidak mencari dan tidak tertarik dengan yang berbau supranatural seperti mencari kesaktian, pesugihan, penghormatan, dll.

Hal inilah yang mungkin selama ini berdampak pada relatif stabil perjalanan hidup tanpa diguncang permasalahan yang berarti. Dalam melangkah meniti jalan hidup mulai dari bangku sekolah hingga kuliah dan bekerja terasa dimudahkan, dilancarkan (dijauhkan dari praktek kecurangan sogok-menyogok, menitipkan ke koneksi, nepotisme, dll.), sebaliknya uang SPP selama Pendidikan S1, S2, S3 bisa tercukupi dengan baik tanpa harus merepotkan keuangan orang tua, sumber pendanaan mulai dari gaji asisten dosen, hingga beasiswa JICA, Monbukagakusho, Nippon Koei, dan Yayasan Kubota. Termasuk dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga, seperti motor, mobil, hingga membangun rumah, pada saat diperlukan entah dari mana datangnya selalu ada jalan dan dana untuk mewujudkannya. Perjumpaan dengan mas Guru SHD tentu menggenapi rasa syukur dan terima kasih tak terhinga pada Sang Sumber Kehidupan atas segala anugerah yang dihamparkan sampai detik ini.

Tantangan Bukan Sebagai Halangan

Laku spiritual di jalan keheningan yang dikenalkan mas Guru SHD bukannya tanpa tantangan, meskipun terlihat sederhana dan mudah. Untuk praktek meditasi di rumah atau di kantor, juga mempraktikkan kegiatan sehari-hari sebagai meditasi telah coba dijalani dan tidak ada kendala secara teknis. Pada awalnya tantangan justru dari lingkungan keluarga, terutama dengan padatnya jadual kajian, workshop hingga retreat yang inginnya semua diikuti kemana pun, di kota mana pun. Namun kembali lagi dipasrahkan mengalir sesuai jatah dan jodoh waktunya, mana yang digerakkan untuk dihadiri. Seringkali terlontar komen juga ekspresi ketidaksukaan dari istri melihat seringnya saya harus keluar kota untuk ikut workshop atau retreat, yang setidaknya 2-3 hari harus meninggalkan keluarga. Yang dipersepsikan oleh istri dan menjadi alasan “kemarahan” bahwa saya hanyalah mencari kesenangan sendiri, dan mengabaikan keluarga, meninggalkan pekerjaan rumah untuk dikerjakan istri, dan sebagainya.

Saya coba pahami bahwa ini dinamika pertumbuhan diri dan selalu kembali hening agar tidak terpancing ikut dalam drama “pemikiran” istri yang ujungnya bisa berakhir pada pertengkaran dan silang pendapat. Saya coba berikan balasan dan penjelasan yang apa adanya, tertuntun dari keheningan, bukan reaktif dari sang ego yang bisa memicu debat lebih panjang tak berkesudahan. Saya berusaha untuk tetap menjalankan laku hening, meditasi di rumah dengan rutin sambil terus meniatkan untuk memancarkan energi kasih yang saya punya untuk keluarga di rumah, juga keluarga besar yang terkait.

Perlahan dengan berjalannya waktu, terlihat ada perubahan dari istri (mungkin akibat seringnya mencuri dengar audio yang diputar saat saya meditasi) yang mulai bisa menerima, memaklumi dan akhirnya untuk pertama kalinya saya tawarkan kalau mau “duduk” (istilah kami untuk meditasi) bareng silakan. Karena saya melihat gelagat istri mulai tertarik, namun untuk bilang dan minta ikut duduk masih ragu dan segan. Saya juga dari awal tidak pernah memaksakan baik kepada istri, orang tua, atau keluarga besar untuk mengikuti apa yang diajarkan mas Guru SHD. Karena saya yakin mereka punya jalan dan jatahnya masing-masing kapan akan terpanggil dan bergabung dengan komunitas ini. Demikian pula yang dirasakan sebagai tantangan di masa pandemi, dengan segala keterbatasan gerak dengan aturan pemakaian masker dan jaga jarak. Ternyata bukan jadi penghalang, sebaliknya berhasil dilalui dengan lancar dan sehat selama kurun setahun ini.

Capaian yang Menguatkan untuk Terus Berjalan

Tanpa terasa sudah hampir 3 tahun berlalu, makin kesini semakin ketarik untuk terus setia di jalan keheningan dan belajar bertumbuh di bawah bimbingan Mas Guru SHD. Setidaknya ada beberapa catatan terkait capaian yang kemudian membuat saya bertahan dan terus melangkahkan kaki ini dengan mengalir alias menggelinding di jalan ini.

Secara praktek meditasi yang diajarkan sangat luwes, bebas, tidak mengharuskan sikap, postur dan posisi khusus. Demikian pula soal waktu (mau pagi, siang, sore, malam) serta durasi (mau 10 menit, 30 menit, 1 jam, 2 jam) sangat fleksibel, diserahkan pada kenyamanan kita dan yang terpenting selalu diingatkan agar tetap relaks dan menikmati prosesnya. Secara materi juga sangat jelas disampaikan dengan bahasa yang lugas, mudah dipahami dan fokusnya ke pemurnian diri di berbagi layer tubuh (tubuh fisik, tubuh astral, tubuh eterik, tubuh cahaya) dan kesadaran (consciousness, subconsciousness, dan unconsciousness). Ini yang mungkin menjadi nilai lebih dan originalitas metode yang diterapkan Mas Guru SHD, selain totalitasnya yang luar biasa dalam melimpahkan kasih murni kepada semua murid yang serius dan berniat untuk memurnikan jiwa menuju kesempurnaan evolusinya.

Ada beberapa capaian yang meskipun terlihat kecil namun terasa ada ketenangan, kebahagiaan dan kedamaian yang semakin stabil, konstan dalam menghadapi segala permasalahan, maupun tugas-tugas di rumah dan di kantor. Secara pekerjaan, setidaknya ada 3 jabatan yang cukup strategis di UI yang dipercayakan ke saya. Bisa terbayang beban tugas, waktu dan energi yang harus dikelola agar semuanya berjalan dengan lancar.

Kalau dulu mungkin masih sering dilanda stress, karena saya termasuk orang yang perfeksionis, ingin hasilnya bagus, sehingga harus fokus dan total dalam mengerjakan sesuatu. Sehingga stress kecil cukup membuat flu/pilek, hanya karena memikirkan dan mempersiapkan materi atau presentasi agar baik hasilnya. Ini disebabkan seringnya ikut “drama” sang pikiran dengan bayangan masa depan yang belum tentu terjadi, seperti bagaimana nanti; bisa sukses tidak ya?, masih kurang lengkap materi yang disampaikan? bagaimana jika banyak pertanyaan yang menjatuhkan?, dan lain-lain.

Namun, dengan semakin tekun di jalan keheningan, sikap pasrah yang mendalam, dan sudah melakukan apa yang terbaik, akhirnya stress tersebut sudah mulai terlampaui, tidak terlalu banyak dipikirkan, apa yang akan terjadi diterima dan dijalankan sebagai suatu konsekuensi. Dan terbukti memang apa yang dibayangkan saat ini dalam drama pikiran, sesuatu yang dikuatirkan atau ditakutkan jarang atau tidak pernah kejadian. Sebaliknya, justru makin banyak bersyukur dan terima kasih karena ketiga posisi yang diamanahkan menunjukkan progress yang positif dalam kinerja dan prestasi.

Tanpa pernah diduga sebelumnya, Mas Guru SHD menginisiasi pembentukan Partai Indonesia Gemah Ripah, meski untuk sementara diwadahi ke dalam Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemah Ripah (PIG) karena jumlah kader di tiap Provinsi yang belum terpenuhi untuk menjadi sebuah partai. Pada saat open recruitment, saya tertarik dan mendaftar menjadi calon kader untuk ikut andil berkontribusi membangun negeri sesuai kemampuan yang dimiliki.

Ternyata dengan seleksi yang “tidak biasa” akhirnya lolos juga menjadi kader, bahkan dipercaya untuk menjadi Pengurus Kader PIG wilayah Jawa Barat bersama Pak Agus Paterson dan Pak Hernowo Kristanto. Hal ini menjadi penyemangat untuk makin tekun di jalan keheningan, mengingat perkumpulan, maupun sebagai partai nanti kedepannya, ini sangat berbeda dengan praktik yang dijalankan organisasi atau perkumpulan pada umumnya – berbasis spiritual dimana lebih mengutamakan kualitas pengurus dan kader yang menekankan kemurnian jiwa, sehingga setiap keputusan yang diambil benar-benar dilandasi oleh hikmat kebijaksanaan yang dituntun oleh Sang Diri Sejati.

Transformasi Mas Guru SHD yang luar biasa pesat dibanding awal bertemu tahun 2018; yang makin segar, fit, awet muda, wajah kinclong (hingga terkenal dengan istilah efek dari Mahadaya skincare) serta apa yang tertulis di buku terbaru TANTRA YOGA halaman 289 baris 2-3; makin memantapkan dan yakin percaya 100% terhadap Mas Setyo Hajar Dewantoro sebagai Guru yang akan menuntun jiwa ini dan Jiwa-jiwa Agung Nusantara untuk mewujudkan Negeri Sorgawi, Indonesia Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta Raharja.

 Dampak Nyata

Dalam kadar yang terus berproses dalam pertumbuhan, terasa ada dampak nyata bagi diri sendiri menuju transformasi seutuhnya. Selain ketenangan, kebahagiaan dan kedamaian, ada beberapa aspek yang bisa dijadikan indikator dampak nyata yang dirasakan, antara lain; mulai bisa merasakan kasih murni di dalam diri – dalam memandang dan memperlakukan sesama manusia, hewan, tumbuhan selalu ingin berbagai kasih agar mereka juga merasakan energi kebahagiaan dan kedamaian yang sama. Dari aspek keberlimpahan, sangat nyata terlihat bahwa apa yang dibutuhkan selalu tercukupi dan terpenuhi pada saatnya.

Jadi ingat pesan Mas Guru SHD, ini juga salah satu bentuk surga yang nyata. Kemampuan berkreasi, berinovasi dalam membuat atau mengerjakan sesuatu juga meningkat disertai rasa percaya diri dalam melakukan setiap kegiatan dan berhasil bagus. Semakin berkurang cengkeraman ego – tidak mengerjakan sesuatu untuk kepentingan dan kebanggaan atau klaim diri sendiri, sebaliknya mulai sadar bahwa semua adalah atas kuasa semesta yang bekerja melalui diri ini. Juga banyak kejadian yang seolah serba “kebetulan” (sinkronisitas), misal dalam memilih jalan saat mengemudi, maupun mendapat tempat parkir padahal terlihat penuh.

Hal lain yang kadang terasa aneh adalah beberapa kata yang diucapkan secara spontan menjadi kenyataan. Pernah satu kasus bimbingan mahasiswa PKM yang akan lomba; saat melihat kesungguhan niat dan isi materi, terlontar ucapan kalau seperti ini rasanya pantas dapat juara, eh ternyata benar akhirnya meraih juara I.  Kemampuan untuk memahami sesuatu dan melihat secara utuh terhadap suatu permasalahan lebih meningkat sehingga untuk merespon, memberikan jawaban kadang diluar apa yang pernah dikonsep sebelumnya, mengalir begitu saja.

Hal lain, banyak yang entah kenapa selalu ada yang minta saran, masukan dan solusi atas permasalahan yang dihadapi (dari mahasiswa, saudara, teman kerja, orang yang baru kenal) dan respon yang muncul juga kadang mengherankan kenapa bisa menulis/mengatakan jawaban yang mengena dan bisa diterima dengan ketulusan. Secara kesehatan, hampir tidak pernah (jarang) sakit yang berarti. Kalaupun pegal, kecapaian sedikit akan hilang dengan istirahat atau meditasi.

Dampak lain yang mengherankan dan sekaligus membuat bahagia adalah ketika istri dan Ibu saya mulai ketularan ikut meditasi di rumah. Bahkan kadang sampai Ibu yang bertanya; “ayo, kapan duduk?” Lebih berbahagia lagi saat sempat berjatah mengikuti retret di Bogor dan workshop di Jakarta bersama keluarga (istri, anak, Ibu, dan Bapak). Di sisi lain, sikap dan emosi istri sudah mulai selaras, tidak mudah terbawa amarah dan sudah bisa mengikuti meditasi serta pola kegiatan saya di PIG maupun MI.

Demikian juga dampak di lingkungan kampus, selalu ada kemudahan dan jalan keluar serta bantuan dan kerjasama hangat dari kolega. Demikian pula mahasiswa banyak yang tertarik untuk menjadi anak bimbingan skripsi, untuk membimbing lomba, hingga jadi tempat curhat. Setidaknya pernah ada chat salah satu kolega di WAG dosen, mengucapkan selamat yang menyetuh: ” Selamat ulang tahun Pak Nyoman, semoga sehat selalu dan selalu tajam, tenang, damai, tentram dan sejuk dan membawa kami selalu dalam lingkaran kedamaian Pak Nyoman.”

Namun demikian, segala pencapaian ini masih bagian langkah kecil dari perjalanan panjang ke depan yang entah sampai dimana berakhir. Apa yang dicapai saat ini juga bersifat dinamis, sangat dipengaruhi konsistensi memelihara keterhubungan dengan diri sejati. Sehingga kalimat kunci sebagai self-reminder tetaplah melaksanakan tugas keseharian dengan kesetiaan untuk mengalir dalam ketulusan paripurna dilandasi 3H (hening.. hening.. dan hening).

Penulis: Nyoman Suwartha, akademisi yang berdomisili di Depok, juga Sekretaris Pengurus Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah Wilayah Provinsi Jawa Barat.