Skip to main content

Selama lebih dari 2 tahun sejak diberlakukannya pembatasan di masa pandemi membuat pekerjaan saya di bidang event organizer dan produksi video atau film menurun drastis.  Maka ketika diberi tugas untuk membuat video yang akan ditampilkan di pentas seni yang diselenggarakan oleh perkumpulan Pusaka Indonesia pada 5 Maret 2023 di Yogyakarta, 29 Juli dan 1 Oktober di auditorium RRI Jakarta, tugas itu seperti jadi obat rindu bagi saya.    

Saya menyukai dua bidang pekerjaan tersebut karena memiliki kemiripan, yakni konsep yang dibuat akan diwujudkan sehingga dapat disaksikan secara nyata.  Kemiripan itu  dari pembuatan konsep hingga ide apa yang akan disampaikan. Konsep ditulis menjadi naskah lalu dilanjutkan dengan pemilihan pemeran dan latihan.  Keduanya memerlukan peralatan seperti mikrofon, tata lampu, kamera, dan properti seperti pakaian dan barang-barang  yang digunakan sesuai adegan atau tarian. 

Dalam pembuatan video atau film, penanggung jawab utama adalah sutradara, sedangkan untuk pentas panggung disebut show director.  Sutradara dibantu oleh asisten sutradara. Tugas asisten sutradara antara lain membantu membuatkan jadwal syuting (yang mencakup pemeran), lokasi dan setting (yang dilaksanakan oleh para kru),  serta berkoordinasi dengan kru yang spesifik menyiapkan setting ruangan di lokasi agar sesuai dengan naskah.   Untuk pentas di atas panggung, show director dibantu stage manager yang berfungsi seperti asisten sutradara dalam pembuatan film atau video. Lalu ada kru yang bertugas menangani tata suara, lampu, dan setting ruangan.

Perbedaan antara pembuatan film dan pentas panggung ada pada lokasi pelaksanaan. Untuk pembuatan film, lokasi bisa lebih dari satu tempat disesuaikan dengan naskah, sedangkan pentas panggung lokasinya di satu panggung dengan latar gambar atau layar besar di belakang panggung, yang gambarnya bisa diganti disesuaikan dengan penampilan yang sudah tertulis dalam naskah pentas.  Perbedaan lainnya adalah dalam pembuatan film, adegan yang salah bisa direkam ulang untuk nantinya disusun dalam proses editing.  Proses atau tahapan inilah yang tidak bisa dilakukan dalam pentas panggung.  

Gotong Royong dan Kerendahan Hati 

Untuk saya ada perbedaan yang signifikan antara bekerja dengan sesama kader Pusaka Indonesia dibandingkan dengan lingkungan kerja saya sebelumnya yang target utamanya adalah hasil yang sempurna. Bagaimana mencapainya tidak peduli caranya, jika harus memarahi orang dan memaksa kerja melebihi waktu yang sewajarnya. Suasana panas dan melelahkan.  Sering sekali muncul keinginan agar pentas segera digelar dan selesai agar bisa keluar dari suasana yang menegangkan. Suasana panas itu masih akan muncul lagi setelah pekerjaan selesai saat evaluasi.  Kekurangan yang terjadi lebih sering dijadikan bahan untuk menekan sehingga kesalahan diri orang yang menekan tidak mungkin disampaikan, bisa karena pakewuh atau malas untuk dibahas. Dulu, saya memilih untuk menganggap selesai dengan menyimpan kekecewaan.  

Bukan berarti kesombongan (merasa bisa), rasa tidak puas, ingin tampil, dihargai, rasa kecewa atau kesal tidak muncul dalam diri saya ketika mempersiapkan pagelaran bersama rekan-rekan Pusaka Indonesia. Selalu ada pembelajaran yang saya dapat. Pada pentas di Yogyakarta, saya mendapat pembelajaran untuk memainkan tarian sebaik-baiknya, tidak perlu berambisi tampil sempurna karena jika ada gerakan yang salah, belum tentu penonton tahu, dengan begitu saya bisa menikmati gerakan dengan rileks dan bahagia. 

Sesi gladi resik untuk pentas berikutnya tanggal 29 Juli 2023 di Auditorium RRI Jakarta. Ada peserta yang ternyata belum hadir. Saya pasrah karena tidak berhasil menghubunginya.  Ternyata pentas sesi yang diperankan olehnya pun bisa berjalan dan mendapat respon yang  bagus.  

Pembelajaran berikutnya di pentas 1 Oktober 2023, juga di auditorium RRI Jakarta. Pentas ini lebih besar dengan setting cerita masa Majapahit yang penampilannya beragam. Diisi oleh semua kader Pusaka dari berbagai daerah. Saya sangat terkesan dengan ide brilian ini. Peran kecil yang saya dapatkan sempat membuat ego saya muncul untuk meminta peran yang kelihatan. Maka ketika menyadari saya urungkan niat itu. Begitu juga saat mengetahui ada kesulitan pembagian mikrofon yang terbatas. Saya langsung inisiatif membantu. Ternyata saya malah bingung. Saya sadari ternyata ada kesombongan pada diri saya yang merasa bisa, ada ambisi ingin sempurna. Saya langsung mundur karena sebetulnya sudah ada yang lebih paham daripada saya.

Dalam evaluasi, saya menemukan lagi fakta yang sangat mengesankan. Tidak ada keluhan karena kekurangan tetapi yang dominan justru sharing pembelajaran apa yang didapat selama persiapan dan saat pentas dijalankan. Berbagai pengakuan mulai dari pengakuan kesombongan, permintaan maaf sampai bagaimana melampaui rasa pakewuh, minder dan lain-lain dituliskan dengan berbagai gaya bahasa, mulai dari yang serius sampai yang lucu. 

Tanpa disadari saya belajar memahami bahwa semua pekerjaan ini adalah merasakan bagaimana gotong-royong yang sesungguhnya. Ini membuat saya semakin yakin bahwa bangsa ini bisa bangkit. Semakin banyak orang menjalankan keheningan, Trisakti yang digagas Mr. Soekarno bukan sekedar slogan belaka.

 

YP Kris

Kader Pusaka Indonesia Jawa Barat