Seperti kebanyakan orang Bali, saya dan keluarga memiliki tanah yang cukup luas sebagai warisan orang tua. Namun saya sejak kecil menolak menjadi petani, karena tertanam di kepala bahwa petani adalah pekerjaan orang susah. Sering saya dengar yang mengasihani petani sebagai orang kecil, kerja keras di bawah terik matahari, hasil panennya dibayar murah dan masih banyak lagi yang menyudutkan kehidupan petani. Maka dari itu, tidak menyalahkan anak muda dan anak sekolah tidak mau menuliskan cita-citanya sebagai petani. Bahkan ini tertanam juga untuk orang tua, menjelang masuk masa pensiun, baru mau menjadi petani. Persis seperti saya yang akhirnya tergerak untuk menengok tanah aset keluarga untuk diolah setelah mengambil pensiun dini dari perusahaan farmasi, setelah berkarir selama 20 tahun.
Saya dan suami ada beberapa tanah yang cukup luas, dan sudah kami daftarkan sebagai Kebun Surgawi (KS) untuk diolah dengan metode Sigma Farming. Sebelumnya tanah-tanah tersebut terlantar begitu saja, dengan alasan sibuk dengan pekerjaan. Padahal, kalau tanahnya bisa bicara, “Please come here rawat aku, jangan biarkan ilalang ini menjadi tumbuh lebat, yang akhirnya bisa menjadi sarang ular”, nasibnya seperti tegalan saya dulu.
Sepetak demi Sepetak

Kondisi awal lahan KS 62 sebelum diolah dengan Metode Sigma Farming
Selain tanah kami, ada tanah milik paman yang disewakan kepada orang lain, Pak Sinaga namanya. Pendatang dari luar Bali, yang jauh-jauh datang ke Bali untuk bertani dan menyewa lahan paman saya untuk kemudian ditanami pepaya California dan cabai. Saya jadi berkaca pada Pak Sinaga ini, tersentuh oleh ketekunannya dalam bertani. Pak Sinaga bekerja sendirian membersihkan tanah dari gulma dan padang gajah yang tinggi-tinggi di area seluas 8000 meter persegi. Dia juga mengangkat karung kotoran ayam satu persatu yang beratnya 50 kg sebanyak satu mobil pick up ke tegalan. Kemudian, dia sewa traktor manual untuk menggemburkan tanah. Dia tidak membeli bibit tetapi semai sendiri dari buah pepaya California dan dari cabai. Karena setiap hari saya melihat sendiri cara dia bekerja, dalam hati saya sedih, yang punya tanah tidak peduli dengan lahannya, lebih memilih dapat uang dengan menyewakan ke orang lain, malahan orang lain jauh-jauh datang sampai kontrak tanah.
Ketika saya mulai mengolah tanah warisan ini, saya belajar metode Sigma Farming. Teringat ucapan almarhum Adolf Hutajulu dari Batam, yang memperkenalkan metode ini melalui Sigma Farming Academy Pusaka Indonesia, dikatakannya kalau mau merapikan ilalang jangan sekaligus tapi sedikit-sedikit bersihkan kemudian langsung tanam. Ilmu tersebut kemudian saya terapkan di tegalan cokelat yang dulunya seperti hutan belantara sampai tak terlihat lagi mana jalan setapaknya.
Akhirnya, kami bekerja dari sepetak demi sepetak membersihkan dan membuat bedengan kemudian tanam bibit. Tidak terasa waktu sudah berjalan sebulan dan seperti disulap, akhirnya tegalan tersebut menjadi rapi seperti kebun wisata baru.
Menikmati Bertani
Dulu saya paling tidak terima kalau disuruh meninggalkan pekerjaan di warung karena waktu itu otaknya masih melihat uang. Seperti ada rasa ketakutan kalau meninggalkan warung untuk bertani. Tetapi sekarang justru saya malah berani tutup warung untuk menyiram tanaman di tegalan.
Kenapa bisa berubah 180 derajat cara berpikir saya? Satu alasan saya karena di sana ada makhluk hidup yang harus saya perhatikan. Saya pecinta hewan dan terbiasa memberi makanan enak-enak ke anabul kami setiap pagi dan sore. Nah tumbuhan juga seperti itu, sama persis minta diperhatikan, minta ditengok, diberi asupan gizi. Apalagi saat ini cuaca panasnya lumayan terik. Coba saja pegang tanahnya, sampai warnanya putih hampir kehabisan air dan keras seperti batu.
Menjaga tumbuhan supaya tetap sehat lumayan menjadi pelajaran buat saya, yang sempat cemas karena bagian atas beberapa daun berwarna cokelat gosong. Bersyukur banyak saudara di Sigma Farming dan Kebun Surgawi yang membimbing saya, dari mulai membuat bedengan, cara membuat pupuk, dan membuat amunisi pupuk organik lainnya. Walaupun saya dicemooh di kampung yang dibilang tanaman saya lambat panen, saya tak hiraukan karena saya bertani bukan mengejar hasil tetapi merawat tanah leluhur agar asri dan berguna.
Pengalaman autentik yang saya alami ini, saya ceritakan pada anak-anak saya Ngurah dan Mahendra, dengan harapan mereka tertarik untuk menjadi petani dan mengolah tanah leluhurnya. Mereka juga mulai saya libatkan dengan kegiatan-kegiatan di kebun agar muncul rasa peduli dan kecintaan pada tanaman dan tanah ini.
Semoga teman-teman bisa terpanggil jiwanya untuk mulai merawat tumbuhan, minimal dari lahan terkecil menggunakan polybag, mulai dari satu nanti tidak terasa bisa berubah rumahnya menjadi istana Kebun Surgawi.
Semangat menanam, yuk, sampai jumpa di Kebun Surgawi Penatahan Tabanan-Bali.
Putu Saraswati
Kader Pusaka Indonesia Wilayah Bali