Skip to main content

Namanya Habib Qohar. Pria kelahiran Bojonegoro tahun 1988 ini ditetapkan Guru Setyo Hajar Dewantoro (SHD) sebagai Ketua Tim Garda Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah (PIG). Bukan tanpa alasan, Guru Setyo yang juga pendiri sekaligus Ketua Umum PIG menunjuk Habib Qohar dalam posisi ini. “Kesetiaan, ini adalah aset utama Habib,” ujar Guru SHD. Kesetiaan pada nusa bangsa, tanah kelahiran dan falsafah Pancasila adalah nafas yang sudah mandarah daging pada sosok seorang Habib Qohar.

Jangan tertipu oleh sosoknya yang kerempeng dan wajahnya  yang terlihat ramah itu, di dalam dadanya menggelegak semangat dan darah juang yang tak tergoyahkan, dia rela mati untuk kebenaran dan tanah tumpah darahnya. Kata takut sepertinya enggan singgah di dirinya, secara naluriah jiwa perwira nya muncul ketika terasa ada yang mengancam keharmonisan dalam bentuk apapun.

Pengabdian adalah panggilan jiwanya. Ketika ditanya pengabdian pada siapa atau apa Bib? “Pengabdian pada yang memberi hidup,” jawabnya kalem. Ya, hidupnya begitu sederhana, dan jauh dari kerumitan manusia pada umumnya. Pendidikannya setingkat SMP, dan dia mengaku besar di jalanan. Perkenalan dengan Guru SHD melalui whatssap group yang kemudian pertemuan pertama dalam helatan Hening Cipta di Tugu Proklamasi tahun 2019 itulah yang membuat panggilan jiwanya semakin menemukan jalannya. “Bertemu dengan teman-teman sevibrasi itu enak,” katanya.

Semangat pengabdian itulah yang menjadikan kesetiaan pada tuntunan Hingsun untuknya adalah sesuatu yang terasa alamiah, tanpa paksaaan atau ganjalan apapun. Ketika panggilan jiwa nya untuk berkarya bagi kebangkitan Nusantara Jaya itu menyapanya, maka tanpa berpikir panjang Habib telah menyelaraskan langkahnya mengalir mengikuti gerak Semesta.

Bekerja di sebuah SPPBE di Gowa kemudian dia tinggalkan setelah mengikuti workshop di Blitar dan pertemuan kader PIG di Pendopo Kembangkopi Malang pertengahan Januari 2021 lalu. Mengalir bersama gerak Semesta itulah yang telah mengantarkannya ke Yogyakarta, Jakarta, Bogor, Bandung, dan kembali ke Pendopo Kembangkopi untuk mengikuti pelatihan kelas pemberdayaan masyarakat yang diampu oleh pendiri Dial Foundation, Pietra Widiadi yang juga Ketua Bidang Pengorganisasian dan Pemberdayaan Masyarakat PIG.

Begitu banyak yang telah dialami dan dipelajari Habib dalam perjalanan dua bulan tanpa jeda ini. Pengalaman yang semakin menuntun pertumbuhan jiwanya bukan hanya didapat dari Guru SHD tapi juga dari sesama pembelajar, penekun kehehingan, dan teman kader PIG yang ditemuinya di sepanjang perjalanan “Di Magelang saya banyak belajar dari Mas Wawan, untuk melampaui segala rasa takut. Ojo wedi dewean, ojo wedi ora iso mangan. Di tempat Mas Ilham di Jakarta saya belajar melampaui Jumawa dan belajar ketulusan. Saya juga belajar ketenangan sama Mas Giok, Mas Giok cerita jatuh bangunnya menapaki jalan spiritual, ditentang keluarga, tapi ya gitu tenang saja,” ujar Habib.

Sementara ilmu baru untuk berkarya di masyarakat dipelajari Habib di Pendopo Kembangkopi  dalam sebuah pelatihan untuk menjadi fasilitator. Pengetahuan yang ternyata menemukan jalan untuk Habib berkarya di Desa Jitengan, Balecatur, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Disana ada Elia Krisanto, seorang aktivis, pekerja sosial yang sedang menekuni pengolahan kebun herbal dan tanaman obat, yang menjadi pembimbing sekaligus mentornya dalam menorehkan jejak-jejak karya mewujudkan Bumi Surgawi di tanah Nusantara.

Habib betah, dan merasa telah menemukan “rumah”. Rumah untuk mengabdi pada yang telah memberi hidup sesuai panggilan jiwanya. Rumah bukan hanya untuknya, tapi juga untuk sang istri Rahmayanti dan putri kecilnya Sastra Jingga Hayuningrat yang sementara ini masih berdomisili di Makassar.