Skip to main content

Perjalanan Petani Muda Sigma Farming Berproses Menjadi Versi Terbaik Diri 

Dahulu, menjadi petani tidak pernah masuk dalam daftar cita-cita pemuda kelahiran Jakarta, 26 Februari 2003 ini. Bagi Farandi Burhan, profesi sebagai petani itu identik dengan kesan yang kumuh dan tidak keren. Ia juga mengakui bahwa dulu badannya kurus dan mudah lelah, sehingga lebih suka bermalas-malasan, sering melamun, dan berkhayal. Bahkan setelah lulus SMA pada tahun 2018 pun, ia masih bingung dan belum menemukan bidang pekerjaan yang mantap untuk dijalani.

Sampai tiga tahun kemudian, Farandi mengikuti saran dari Guru Setyo Hajar Dewantoro, pendiri Persaudaraan Matahari dan Pusaka Indonesia, untuk belajar hidup mandiri. Ia memutuskan untuk tinggal di Jogja bersama teman-teman kader Pusaka Indonesia wilayah DI Yogyakarta. Ia menjalani berbagai macam aktivitas yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya, seperti berjualan, memasak, dan merawat tanaman.

Belajar hidup mandiri selama 3 bulan di Jogja mulai berdampak positif. Sekembalinya ke tempat tinggalnya di Desa Batuwarno, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, ia tergerak untuk merawat lahan kebun milik keluarganya yang mangkrak tak terurus. Tidak berhenti di situ, ia juga membuka usaha roti bakar dengan bantuan modal dari pamannya. Hari-harinya tidak lagi diisi dengan tidur dan bermalas-malasan, namun penuh dengan kesibukan. Ia menghabiskan waktu pagi dan sore untuk merawat tanaman, sementara malam harinya berjualan roti bakar.

Mulanya ia mempelajari ilmu pertanian tentang cara menanam dan merawat tanaman dari media sosial. Ia pun mengawali kegiatan bertaninya secara bertahap, mulai dari belajar mencangkul, menanam cabai, hingga merawat kunyit dan ginseng Jawa yang tumbuh liar di pekarangan rumahnya. Selain itu, ia juga menanam pohon katuk di lahan miring untuk mencegah tanah longsor. 

Pada pertengahan tahun 2022, bersama kader Pusaka Indonesia lainnya, ia mengikuti pelatihan pertanian organik untuk pemulihan tanah dan berlatih membuat eco enzyme. Ilmu yang baru didapatkan itu langsung dipraktikkan di Wonogiri. Tantangan baru mulai muncul ketika pohon cabai yang ditanamnya terserang penyakit. Sungguh beruntung, teman-teman seprofesi yang mengikuti pelatihan bersamanya memberikan solusi dan bimbingan teknis sampai masalah tersebut terselesaikan. 

Atas dasar itulah ia bersemangat untuk mengupayakan perbaikan kualitas lahan. Ia pun belajar untuk bekerja dengan tulus, menikmati setiap proses, serta melakukannya tanpa ambisi, dan mengejar hasil. Dengan itu semua, mulai tumbuh rasa cintanya terhadap dunia pertanian, pekerjaan yang dulu tidak pernah diinginkannya.

Farandi sedang panen cabai

Merasa ilmu pertaniannya belum cukup, ia kembali mengikuti pelatihan pertanian organik metode Sigma Farming yang diselenggarakan oleh Pusaka Indonesia. Berbekal ilmu barunya itu, ia memperluas lahan garapannya hingga 575 meter persegi. Sesuai dengan pelatihan, sayuran yang ia tanam dengan metode Sigma Farming tumbuh dengan subur. Kangkung dan bayam yang ia tanam berdaun lebih lebar dan warnanya lebih cerah dibandingkan sayuran sejenis yang ada di pasaran. Lebih dari itu, sayur hasil panen yang ia konsumsi mengandung life force tinggi, yang membuat badannya menjadi lebih berisi dan tidak mudah lelah.

Pada tahun 2023, aktivitas pertaniannya semakin intens. Ia menerima tawaran untuk menggarap lahan yang lebih luas lagi hingga 1.740 m2 di Desa Cihirup, Kec. Ciawigebang, Kab. Kuningan, Jawa Barat. Di tempat ini ia menekuni profesinya dengan sungguh-sungguh. Bersama teman sejawatnya, mereka berhasil menanam kangkung, bayam, terong, pisang, dan pepaya. Atas keberhasilan itu, ia dipercaya untuk menggarap lahan lain seluas 2,5 hektar di Desa Cibulan, yang berjarak tempuh sekitar 30 menit dari Cihirup. Di samping itu, ia juga mengontrol dan memberikan nutrisi ke kebun sayur dan kopi di Palutungan, di kaki gunung Ciremai.

Luasnya lahan tentu membutuhkan tenaga dan daya tahan yang lebih besar, karena masalah teknis dan koordinasi menjadi lebih kompleks. Penggarapan kebun kemudian dikerjakan oleh pekerja lokal, sedangkan pengawasan dan perawatan ia lakukan bersama tim kerjanya. Selain luasnya lahan, ia pun terkendala usia. Usianya yang lebih muda di antara teman sepekerjaan membuatnya harus melampaui rasa pekewuh untuk bertindak tegas kepada rekan kerja yang lebih tua, yang tidak disiplin atau bekerja tidak sesuai standar yang sudah ditetapkan. 

Tentu saja tidak mudah, karena ia pun harus mendisiplinkan dirinya sendiri untuk konsisten antara ucapan dan tindakan. “Lakukan yang terbaik yang kamu bisa, banyak-banyak bersyukur. Dan ketika ada kendala di lapangan, selalu didiskusikan dengan tim kerja. Berendah hati, menerima masukan dari orang lain adalah kunci peningkatan kolaborasi,” ujar Farandi menjalankan arahan dari Keisari Pieta, pamomongnya. Dengan menekuni profesinya saat ini, Farandi tidak hanya menjadi petani yang peduli dengan kesehatan tanah dan tanamannya, tetapi juga berproses menuju versi yang terbaik dari dirinya.

 

YpKris,

Kader Pusaka Indonesia Wilayah Jawa Barat.