Seratus hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran mendapatkan tingkat kepuasan yang tinggi dari publik. Survei Indikator Politik Indonesia mencatat kepuasan sebesar 79,3%, sementara Litbang Kompas menunjukkan angka 80,9%. Namun, di balik angka-angka ini, apakah pemerintahan baru ini benar-benar efektif dalam membangun fondasi yang kuat bagi Indonesia, atau justru masih berkutat pada pencitraan dan langkah-langkah populis?
Mari kita cermati apa yang sudah dilakukan Presiden Prabowo dalam 100 hari kepemimpinannya.
Politik Luar Negeri
Dalam 100 hari pertama, Prabowo berada di luar negeri selama 30 hari di 9 negara. Bisa dikatakan ini merupakan langkah strategis “outward looking”. Beliau dalam membawa Indonesia ke percaturan politik dunia dengan kebijakan luar negeri bebas aktif. Selanjutnya oleh-oleh dari kunjungan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
- Tiongkok, tanggal 4-10 November 2024, bertemu Presiden Xi Jinping dan membawa komitmen investasi sebesar 10 miliar dolar AS dari Indonesia-China Business Forum.
- Amerika Serikat, tanggal 10-12 November 2024, bertemu dengan Presiden Joe Biden dan Direktur CIA William J. Burn. Selain itu, diumumkan MoU dengan ExxonMobil Corporation untuk pembangunan fasilitas Carbon Capture and Storage (CCS) dengan perkiraan nilai investasi sebesar 10 miliar dolar AS.
- Peru, tanggal 13-16 November 2024, menghadiri APEC Meeting dan melakukan pertemuan bilateral dengan pemimpin dari Australia, Peru, Kanada, Vietnam, dan Selandia Baru.
- Brazil, tanggal 16 November 2024, bertemu dengan Presiden Lula Da Silva mendiskusikan penguatan kerjasama pertahanan, perdagangan, dan isu-isu lingkungan.
- Inggris, tanggal 20-22 November 2024, bertemu dengan King Charles III dan Perdana Menteri Keir Starmer dan mendapatkan komitmen investasi sebesar 8,5 miliar dolar AS dari CEO Roundtable Forum.
- United Arab Emirates (UAE), tanggal 23 November 2024, bertemu dengan Presiden Mohammed bin Zayed Al Nahyan, mendapatkan komitmen pembangunan 3 juta rumah murah dari pengusaha Qatar.
- Mesir, tanggal 17 Desember 2024, bertemu dengan Presiden Abdel Fattah Al Sisi dan berpartisipasi dalam pertemuan D-8 Economic Summit.
- Malaysia, tanggal 9 Januari 2025, bertemu Perdana Menteri Anwar Ibrahim mendiskusikan langkah strategis untuk penguatan hubungan bilateral antara kedua negara.
- India, tanggal 24 Januari 2025, bertemu Perdana Menteri Narendra Modi dan membahas kemungkinan pembelian Brahmos Supersonic Missiles.
- Malaysia, tanggal 27 Januari 2025, bertemu dengan Yang di Pertuan Agong XVII Sultan Ibrahim.
Baca juga: Problematika Kelas Menengah Indonesia
Prinsip yang dipegang Presiden yaitu seribu teman terlalu sedikit dan satu musuh terlalu banyak. Dalam kebijakan politik luar negeri yang dijalankan terlihat dengan diterimanya Indonesia dalam keanggotaan di BRICS, sementara pengajuan keanggotaan Indonesia di OECD yang mewakili negara-negara Barat juga masih diteruskan. Hal ini menunjukkan keinginan Indonesia untuk memainkan peran diplomasi yang netral dan bebas aktif.
Dari segi ekonomi, keanggotaan Indonesia di BRICS dapat dilihat sebagai upaya mendapatkan kerjasama investasi dan pasar yang lebih luas dari negara-negara BRICS yang memang memiliki potensi pasar yang sangat besar. Ke depan, akan menjadi tantangan bagaimana menyeimbangkan arah politik Indonesia di antara dua kekuatan dunia yang masih bersaing memperebutkan kekuasaannya. Indonesia perlu lebih berhati-hati jangan sampai keanggotaan di BRICS mempersulit ruang politik luar negeri dengan negara-negara Barat.
Koalisi Besar: Soliditas Atau Bumerang?
Di dalam negeri, prinsip seribu teman terlalu sedikit dan satu musuh terlalu banyak, membuat koalisi pemerintahan menjadi terlalu gemuk. Hal ini terjadi karena Presiden harus mengakomodasi semua partai dalam pemerintahan. Di satu sisi, konsensus politik yang ditawarkan Presiden kepada semua partai politik termasuk PDIP, membuat kondisi politik dalam negeri menjadi kondusif. Hal ini membawa keuntungan bagi kelancaran jalannya program Asta Cita.
Namun di sisi lain, kabinet membengkak menjadi 53 kementerian. Hal ini berpotensi membuat gerak pemerintahan menjadi lambat dari segi birokrasi dan eksekusi program. Meningkatnya biaya birokrasi perlu menjadi perhatian juga agar tidak menghambat investasi yang akan masuk ke Indonesia.
Pemerintahan yang terlalu akomodatif bisa menghadapi dilema: apakah bisa tetap efektif menjalankan program, atau justru terjebak dalam kepentingan politik masing-masing partai?
Baca juga: Krisis Keadilan Sosial – Apakah Sosialisme Solusinya?
Tantangan Ekonomi
Masih banyak permasalahan struktural yang perlu diperbaiki, seperti korupsi dan kebocoran anggaran, rendahnya penerimaan negara dan beban utang, ketidakpastian usaha dan birokrasi yang mahal, melemahnya daya beli karena turunnya kelas menengah, sampai kepada kesenjangan pendapatan, dan keterbatasan lapangan kerja.
Kita juga menghadapi masalah lemahnya kualitas SDM, yang membuat kita kalah bersaing dari negara-negara tetangga, seperti Vietnam yang menarik banyak perusahaan besar seperti NVIDIA yang lebih memilih berinvestasi di sana. Tingginya skor Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia – atau tingkat keefisienan investasi (semakin tinggi angkanya artinya makin besar investasi yang diperlukan untuk menghasilkan output yang sama, atau semakin tinggi angka ICOR artinya semakin tidak efisien) menjadi salah satu penyebab kurang kondusifnya iklim investasi Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga. Data BPS tahun 2023 menunjukkan skor ICOR Indonesia yang cukup tinggi (6,33%). Hal ini diakibatkan oleh rumit dan tingginya biaya perizinan, ketidakpastian hukum, dan korupsi. Kalah bersaing denagn Vietnam (4,6%), Thailand (4,6%), dan Malaysia (4,5%).
Permasalahan pinjaman online dan judi online akibat rendahnya literasi keuangan juga menjadi ancaman yang mengintai. Penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia yang membuat daya beli masyarakat semakin berkurang juga disebabkan oleh maraknya jumlah masyarakat yang bermain judi online dan penggunaan pinjaman online yang tidak terukur.
Tantangan besar menanti. Apakah akan terjadi reshuffle kabinet dalam beberapa bulan ke depan, mengingat banyaknya keluhan masyarakat atas kinerja dari beberapa kementerian. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa Prabowo sudah menyiapkan “tim kedua” berisi profesional non-partai, yang sudah mendapatkan pembekalan. Mari kita cermati dengan kritis dinamika Pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan.
Baca juga: Diplomasi dan Swasembada Pangan
R Virine Tresna Sundari
Analis Bidang Riset dan Kajian
Sumber :
100 Days: Leadership & Progress, PT Samuel Sekuritas Indonesia Economic Report
Biro Riset Infobank: Majalah Infobank 13 Penyakit Ekonomi Pasca 100 hari kerja
Hukumonline : Rapor merah peringkat icor dan masalah klasik hukum di indonesia