Skip to main content

Isu tentang ancaman terhadap kedaulatan kesehatan kembali mencuat di ranah publik. Setelah isu mengenai uji coba vaksin TBC sempat ramai diperbincangkan pada bulan Mei 2025 lalu, kali ini, Indonesia kembali mengangkat adanya berita tentang amandemen (perubahan aturan) terhadap International Health Regulation (IHR). IHR merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Lembaga Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) yang berisi tentang sekumpulan ketentuan untuk mencegah dan mengatasi penyebaran penyakit.

WHO telah menyusun amandemen IHR pada tahun 2024 dan amandemen tersebut akan berlaku pada bulan September 2025. Tanggal 19 Juli 2025 merupakan tenggat waktu bagi negara anggota WHO untuk melakukan reservasi atau pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan dalam IHR yang telah diamandemen tersebut. Setelah melewati tenggat waktu itu, amandemen IHR akan berlaku bagi negara-negara yang tidak melakukan penolakan.

Mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah, mengungkapkan bahwa amandemen IHR ini berpotensi mengancam kedaulatan kesehatan, termasuk bagi Indonesia. Menjelang tenggat waktu yang ditentukan, beliau menyuarakan agar Indonesia mempertimbangkan kembali agar amandemen IHR tidak berlaku di Indonesia.

Apa yang menjadi dasar argumen bahwa amandemen IHR tersebut mengancam kedaulatan?  Artikel ini menyajikan pro kontra tentang polemik amandemen IHR serta mengajak pembaca untuk memahami secara logis apakah amandemen tersebut betul-betul mengarah pada tujuan kerja sama kesehatan: memberikan perlindungan bagi kesehatan setiap individu. 

Alasan pertama penolakan amandemen tersebut adalah karena adanya definisi ‘pandemic emergency’ (pasal 1) yang mana ini memberikan wewenang WHO untuk menetapkan status darurat terhadap suatu negara (pasal 12 dan pasal 49).  Dengan kata lain, WHO bisa menetapkan suatu negara dengan status ‘darurat’ sehingga kedaulatan negara tersebut terancam.

Kontra argumen terhadap penolakan tersebut adalah bahwa WHO tidak serta merta dapat menetapkan status kedaruratan pandemik terhadap suatu negara. Ada langkah-langkah yang tetap perlu dilakukan WHO sebelum menetapkan status  kedaruratan sehingga tidak semena-mena. WHO akan melakukan verifikasi informasi yang diperoleh tentang bukti adanya wabah, berkonsultasi dengan pemerintah negara terkait, dan melakukan pembahasan melalui Emergency Committee (komite khusus di bawah WHO yang nantinya akan menjadi wadah untuk mengeluarkan rekomendasi status kedaruratan tersebut). Dengan kata lain, WHO tidak semena-mena menetapkan status kedaruratan tersebut.

Sayangnya, langkah-langkah demikian tidak menafikan subyektivitas wewenang WHO untuk menetapkan status kedaruratan. Hasil dari konsultasi, temuan-temuan di lapangan, dan rekomendasi Emergency Committee pada akhirnya akan disampaikan kepada WHO dan WHO (dalam hal ini Direktur Jenderal WHO) yang akan memutuskan. Bahkan, sekalipun negara-negara tidak mencapai kesepakatan tentang adanya status kedaruratan (pasal 12 ayat 3) dan negara-negara bisa mengusulkan untuk mencabut status kedaruratan tersebut kepada WHO (pasal 49 ayat 7), WHO yang pada akhirnya mengambil keputusan; apakah status kedaruratan dapat dicabut atau tidak.

Alasan kedua adalah opsi-opsi medis yang tercantum dalam IHR tersebut tidak mencakup pengobatan alternatif atau herbal, sementara banyak negara yang memiliki mekanisme pengobatan tersebut. Pasal 1 dari amandemen IHR memuat definisi tentang ‘relevant health products’ dimana pengobatan herbal ataupun pengobatan alternatif tidak termasuk dalam definisi tersebut. Hal ini dapat diterjemahkan bahwa pengobatan tradisional bukan merupakan opsi yang legal dalam situasi wabah.

Kontra argumen terhadap premis tersebut adalah meskipun tidak disebutkan dalam IHR, bukan berarti pengobatan alternatif dan pengobatan herbal tersebut dilarang. Artinya, masyarakat masih bisa menggunakan pengobatan selain yang disebutkan dalam pasal tersebut.

Jika demikian, yang menjadi isu bukan lagi tentang pelarangan terhadap suatu metode pengobatan, tetapi sokongan (atau endorsement) dari pemegang kekuasaan untuk menggunakan metode pengobatan tertentu saja. Artinya, masyarakat “diarahkan” hanya untuk percaya terhadap pengobatan yang disebutkan dalam definisi ‘relevant health products’ sebagai metode pengobatan yang aman; di luar definisi tersebut, metode pengobatan lainnya dianggap tidak aman.

Ironisnya, Indonesia yang kaya dengan pengobatan herbal (jamu) malah membiarkan hal tersebut terjadi. Jika memang peduli dengan kekayaan alam Indonesia yang penuh khasiat terhadap kesehatan, para perunding IHR dan pengambil keputusan di Indonesia seyogyanya tidak membiarkan definisi ‘relevant health products’ tersebut ada; atau setidaknya berupaya agar jamu, misalnya, dapat masuk dalam definisi tersebut.

Alasan ketiga adalah implikasi dari pendefinisian ‘pandemic emergency’ dan wewenang WHO yang lebih besar. Dengan adanya amandemen tersebut, maka ini akan menimbulkan dampak pada kebijakan-kebijakan turunannya. Ketika WHO telah memutuskan adanya status darurat pandemi, maka dalam amandemen tersebut akan terjadi:

Kewajiban untuk menerapkan protokol kesehatan bagi pelaku perjalanan, termasuk pada moda transportasi, sesuai dengan yang ditetapkan WHO (pasal 24). Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk menerapkan vaksinasi sebelum atau sesudah perjalanan, dan kewajiban memakai masker saat di dalam moda transportasi. Sebelum ada amandemen tersebut, penerapan protokol kesehatan tidak spesifik disebutkan dalam IHR.

Dalam hal ditemukan adanya pelaku perjalanan yang diduga memiliki gejala yang berbahaya, amandemen tersebut juga memberikan wewenang bagi otoritas negara setempat untuk mewajibkan karantina bagi yang bersangkutan (Pasal 27). Sebelum adanya amandemen tersebut, kewajiban karantina tidak disebutkan dalam IHR.

Apabila negara setuju dengan amandemen IHR, maka negara tersebut wajib (bukan pilihan) untuk membentuk IHR National Authority (Otoritas National IHR) sebagai lembaga nasional resmi untuk memastikan implementasi IHR tersebut berjalan baik (pasal 4). Sebelum amandemen tersebut, kewajiban pembentukan otoritas nasional semacam ini tidak diwajibkan.

Implikasi tersebut telah membuktikan bahwa IHR telah membuka wewenang WHO untuk bisa menerobos kedaulatan kesehatan di dalam negeri, tidak hanya kebebasan individu, tetapi juga kedaulatan legislatif nasional.

Apa yang bisa disikapi dari fenomena ini? Yang pasti amandemen IHR tersebut semakin menguatkan kapasitas WHO di setiap negara yang setuju dengan amandemen IHR tersebut. Meskipun di sejumlah pasal telah menyebutkan tentang implementasi IHR tetap menghormati martabat, HAM, dan kebebasan individu (pasal 3), namun pada praktiknya sejak dibentuknya IHR pada tahun 2005, prinsip-prinsip dasar tersebut telah dilanggar.

Peristiwa pandemi COVID-19 telah menjadi bukti nyata bahwa prinsip-prinsip dasar tersebut telah banyak dilanggar melalui adanya kewajiban vaksinasi, karantina, dan rapid test; padahal sudah jelas dan gamblang tertulis mengenai prinsip dasar tersebut dalam IHR. Dengan adanya amandemen IHR ini, WHO hanya melegitimasi sepak terjangnya; yang semula tidak tertulis, sekarang secara gamblang tertulis dan legal.

Berita baiknya, beberapa negara telah menolak amandemen tersebut, diantaranya Italia, Filipina, Meksiko, dan Afrika Selatan. Amerika Serikat bahkan telah menarik diri dari WHO. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Hingga tenggat waktu yang diberikan, Indonesia tidak menunjukkan indikasi untuk melakukan penolakan terhadap amandemen IHR.

Sebagai masyarakat yang peduli dengan kesehatan dan kemandirian bangsa, upaya yang dapat kita lakukan adalah dengan mengupayakan yang terbaik yang kita bisa, dimulai dari diri kita sendiri. Jaga kesehatan, tingkatkan pola hidup sehat, dan konsumsi jamu-jamuan yang memang terbukti dapat menjaga daya tahan tubuh tanpa merugikan pilihan kesehatan bagi tubuh.

 

 I Made Diangga Adika Karang

Wakil Ketua Bidang Riset dan Kajian Pusaka Indonesia 

 

Daftar Referensi:

Dokumen International Health Regulation WHO

Foto : https://www.cato.org/sites/cato.org/files/styles/optimized/public/2023-08/health-care-regulation-Cropped.jpg?itok=cNJxHiVr