Bulan lalu, Setelah berkunjung Vietnam, saya melanjutkan perjalanan saya ke Phnom Penh Kamboja. Hal pertama yang saya sadari di sana adalah semua orang, mulai dari penjual warung bubble tea pinggir jalan sampai sopir taksi lebih memilih dibayar dengan USD dibandingkan dengan mata uangnya sendiri. Menu makanan di restoran dibandrol dalam mata uang USD. ATM juga mempunyai pilihan untuk mengambil uang dalam USD atau RIEL (mata uang Kamboja). Restoran dan warung pun punya USD pecahan kecil untuk kembalian. Saya sudah lama tidak berkunjung ke sebuah negara yang tidak lagi memiliki kebebasan dalam menentukan kebijakan fiskal dan moneternya.
Dalam hal ini, kita patut bangga bahwa transaksi dalam bentuk mata uang asing sudah dilarang oleh Bank Indonesia dan OJK sejak awal tahun 2000-an. Sebelum itu, di tahun 1990-an cukup umum terjadi bahwa banyak transaksi di Indonesia itu dilakukan dalam mata uang USD. Mulai dari jual beli properti, jam tangan dan perhiasan mewah, sampai sewa kantor dan sewa rumah di daerah elit pun dilakukan dengan mata uang USD.
Kenapa pelaku usaha pada masa itu lebih suka bertransaksi dengan USD? Gengsi tentunya. Lebih prestise dan gaya kalau jual barang dagangan dengan USD, artinya barang dagangannya “berkelas” dan berkualitas”. Alasan berikutnya adalah tingginya konsumsi (permintaan) USD di Indonesia. Dulu, hampir semua barang konsumsi yang bagus itu diimpor, jadi punya USD mempermudah kalau mau beli barang impor. Alasan ketiga adalah keamanan, apalagi setelah krisis moneter tahun 1998, yang punya USD kipas-kipas dan meraup untung besar karena jadi kaya mendadak.
Semua itu dihapus pada awal tahun 2000-an oleh Bank Indonesia yang melarang transaksi dalam mata uang asing di Indonesia. Tentunya keputusan itu banyak ditentang, dan diam-diam masih ada beberapa pihak yang bertransaksi dengan USD, tapi lama-lama tren itu bisa dihilangkan dan kini (hampir) semua transaksi di Indonesia dilakukan dalam IDR. Rupiah telah berhasil menjadi tuan rumah di negeri sendiri, berbeda dengan Laos dan Kamboja.
Lebih dari itu, berkat diplomasi dan usaha dari pemerintah Indonesia, kini dengan QRIS, kita dapat melakukan pembayaran di negara Singapura, Malaysia dan Thailand seperti layaknya kita melakukan pembayaran dengan QRIS di Indonesia. Ini sudah saya praktikkan ketika saya bersama Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia Eko Nugroho berada di Singapura baru-baru ini. Indonesia telah dapat mengekspor metode settlement atau pembayaran kepada negara lain yang itu menunjukkan bahwa sebenarnya kita mampu untuk melakukan sesuatu yang besar.
Tantangan Indonesia pada saat ini adalah menjadi negara yang tidak bergantung lagi dengan mata uang asing. Perkumpulan BRICS, organisasi antarpemerintah yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, Iran, Mesir, Etiopia, dan Uni Emirat Arab, dapat menjadi sarana untuk itu. Tapi di luar itu, banyak dana hasil ekspor kita yang masih disimpan dalam USD dan disimpan di bank luar negeri. Sementara ini, pemerintah hanya mewajibkan 30% dari DHE (Dana Hasil Ekspor) untuk disimpan di dalam negeri. Seharusnya pemerintah mengambil kebijakan yang lebih tegas lagi, yaitu mewajibkan seluruh hasil ekspor (minus biaya yang wajib dibayar dalam USD) untuk ditukar menjadi IDR dan disimpan di bank dalam negeri. Untuk dana yang akan disimpan dalam jangka menengah ke panjang, para eksportir dapat membeli emas yang diproduksi di dalam negeri untuk melindungi dana mereka dari gerusan inflasi.
Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai rakyat kebanyakan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia kepada USD? Pertama, beli hasil produksi dalam negeri sebisa mungkin. Produksi buatan Indonesia banyak yang bagus dan hal itu membuat kita tidak membuang devisa keluar negeri untuk barang konsumsi yang banyak substitusinya di Indonesia. Kedua, gantilah kartu ATM Anda yang berlogo VISA/MASTERCARD itu dengan logo GPN (Gerbang Pembayaran Nasional). Pakailah kartu ATM dengan logo GPN dan/ atau QRIS untuk seluruh transaksi pembelian di dalam negeri.
Tahukah Anda bahwa setiap anda bertransaksi dengan kartu debit/kredit yang berlogo VISA/MASTER itu, sekian persen dari nilai transaksi itu dipakai untuk membayar VISA/MASTER di Amerika sana. Sudah tidak sepatutnya lagi itu terjadi, karena Indonesia sudah punya GPN yang dapat melakukan semua transaksi pembayaran di dalam negeri. Lalu bagaimana kalau Anda sering bepergian keluar negeri? Solusinya adalah Anda mempunyai satu ATM yang berlogo GPN dan lainnya ATM atau kartu kredit yang berlogo VISA/MASTER.
Demi Indonesia yang lebih mandiri dan lebih berdaya, saya sudah mengubah kartu ATM saya menjadi logo GPN. Anda kapan?
Ayodhya Glenardi
Kader Pusaka Indonesia DKI-Banten