Cuplikan Video Indonesia Emas 2045 yang berisi tiga siswa dari berbagai daerah, mulai dari Zahra Kamila siswi dari Banda Aceh, Aleksandrius Petrus Wilson Daga siswa dari Labuan Bajo NTT, sampai dengan Aurel Womsiwor siswi dari Sentani Papua menggambarkan cita-cita agung Indonesia menuju generasi emasnya yang diperkirakan akan mewujud pada tahun 2045, tepat 100 tahun usia negara republik ini.
Lebih dari itu, Presiden Joko Widodo dalam sambutannya saat meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yang disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas, pada Juni 2023 lalu, menyatakan bahwa Indonesia memerlukan lompatan besar agar menjadi negara yang maju dan setara dengan negara-negara lain di dunia. Indonesia ditargetkan untuk menjadi negara dengan penghasilan per kapita mencapai 23.000 hingga 30.000 USD pada 2045.
Di lain pihak, kita juga akan mendapatkan bonus demografi yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan ledakan pengangguran dengan berbagai efek samping masalah sosial lainnya. Namun demikian, berbagai tantangan tersebut akan berhasil diatasi jika kita mampu mengubah cara atau pola pikir kita tentang kemandirian, kesejahteraan, dan keadilan. Menurut saya, tiga tema ini lebih krusial untuk diperhatikan dan digaungkan. Jika tema Indonesia Emas 2045 versi pemerintah adalah berdaulat, maju, dan berkelanjutan, maka saya lebih memilih tema mandiri, sejahtera, dan berkeadilan.
Kemandirian adalah pengejawantahan dari apa yang disebut Bung Karno sebagai “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri), yang maknanya kita tidak memiliki ketergantungan apa pun terhadap pihak eksternal. Namun, saat ini Indonesia masih bergantung kepada bangsa lain dalam berbagai bidang. Salah satu contohnya, kita masih mengimpor teknologi pengolahan minyak bumi. Alih-alih menjadi salah satu produsen minyak terbesar di dunia, kita masih terbatas dalam hal teknologi pengolahan minyak, maka minyak mentah yang diproduksi harus diolah di luar negeri. Hal yang sama terjadi juga pada komoditas lain seperti nikel, timah, batubara, dan kelapa sawit..
Pada skala mikro, perlu ditumbuhkan kesadaran pada generasi muda, khususnya Gen Z, untuk bisa berekonomi secara mandiri atau berwirausaha. Untuk menjadi negara maju, Indonesia membutuhkan rasio kewirausahaan di angka 12 persen, sementara rasio kewirausahaan Indonesia berada di level 3,74 persen. Menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk menumbuhkan kesadaran berekonomi secara mandiri kepada Generasi Emas Indonesia 2045 nanti, agar mereka menjadi penyumbang APBN melalui pajak dan lain-lain, bukan malah membebaninya.
Kesejahteraan, sebuah konsep yang tidak begitu saja ditinggalkan para pendiri bangsa. Terbukti melalui hadirnya Pasal 33 dalam UUD 1945 yang mengatur bagaimana negara melakukan kegiatan ekonomi untuk mensejahterakan rakyatnya. Amanat pelaksanaan kegiatan ekonomi negara untuk mensejahterakan rakyatnya diemban oleh tiga pihak yang disebut oleh Prof. Yudhie Haryono dalam Naskah Akademik RUU Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial sebagai Trias Ekonomikus, yaitu BUMN-Koperasi-Swasta.
Badan Usaha Milik Negara, sesuai amanat undang-undang, melakukan kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak (public goods/services), seperti air, listrik, gas, telekomunikasi, pendidikan, energi, transportasi, dan kesehatan. Tujuannya untuk menjaga sumber daya yang ada dari penguasaan pihak eksternal atau asing. Sedangkan koperasi melakukan kegiatan ekonomi yang berbasis kebutuhan sandang, pangan, papan dalam skala UMKM. Di lain pihak, swasta melakukan kegiatan ekonomi di bidang yang tidak terkait dengan hajat hidup orang banyak, seperti distribusi, perdagangan, manufaktur, keuangan, dan lainnya. Jika Trias Ekonomikus ini berjalan sinergis, maka kesejahteraan rakyat adalah keniscayaan.
Namun, selama ini yang terjadi tidaklah demikian. BUMN seringkali terjebak pada proyek-proyek yang merugikan. Kementerian BUMN mencatat ada 41 perusahaan milik negara yang beroperasi saat ini, namun hanya 25 yang menghasilkan keuntungan. Hal serupa terjadi kepada koperasi. Koperasi di Indonesia pun memiliki tantangannya sendiri, antara lain: 1) koperasi kurang diminati masyarakat; 2) sumber daya manusianya kurang profesional dan kompeten; 3) persaingan sesama pelaku yang tidak sehat; 4) budaya kerja keras dan disiplin yang sangat rendah; 5) penggunaan teknologi dan informasi yang minim; 6) pemahaman generasi muda terhadap koperasi rendah; 7) kesulitan modal.
Hal lain yang tidak kalah penting yakni keadilan/berkeadilan. Salah satu dari 8 Agenda Pembangunan Nasional pada RPJPN 2025-2045 adalah mewujudkan transformasi sosial, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia pada seluruh siklus kehidupan dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera, adil, dan kohesif. Adil adalah amanat Pancasila dalam sila kedua, di mana rakyat Indonesia memiliki kesetaraan dan keadaban yang sama, sesuai fitrah kemanusiaannya. Tidak boleh ada pihak yang merasa memiliki hak yang lebih daripada yang lain, juga tidak boleh ada pihak yang mengeksploitasi pihak yang lain. Terlebih dalam bidang hukum. Asas Equality before the law jelas harus dijunjung tinggi.
Sedangkan kata kohesif bermakna melekat satu dengan yang lain; padu; berlekatan. Kita sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, memang rawan untuk berpecah. Untuk itu, perlu ada common ground yang melekatkan kita, yaitu Pancasila. Namun, Pancasila tidak cukup hanya sebagai common ground, karena sebagai asas tunggal, Pancasila harus bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Penegakan hukum yang baik adalah kunci kohesifitasnya. Tidak boleh ada produk hukum yang berat sebelah maupun putusan hukum berdasarkan suku atau agamanya. Tidak boleh ada praktek hukum yang tajam ke bawah (rakyat) namun tumpul ke atas (pejabat). Jika kita bisa melaksanakan ini, maka kata “adil dan kohesif” menjadi relevan dan mewujud.
Indonesia adalah bangsa yang besar, yang memiliki sejarah yang juga besar. Untuk itu, diperlukan sikap juang yang besar pula agar sejarah kejayaannya bisa terulang. Saat ini pemerintah telah bergerak dengan RPJPN-nya. Presiden Joko Widodo telah berbagi visi dan misi. Tinggal bagaimana visi dan misi tersebut tersampaikan dengan baik ke seluruh lapisan masyarakat. Namun, pemerintah bukanlah solo player dalam soal perwujudan mimpi. Diperlukan partisipasi masyarakat yang luas dan intens untuk meraih cita-cita Indonesia Emas 2045. Marilah kita berbagi mimpi. Marilah kita berbagi visi dan misi. Saatnya kita bergerak bersama. Lupakan perbedaan dan jagalah persatuan. Semoga semesta bersama kita.
Ryo Disastro
Anak Bangsa – Tinggal di Depok