Skip to main content

Sebagai ideologi negara, Pancasila merupakan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengedepankan semangat gotong royong serta musyawarah mufakat. Nilai-nilai Pancasila diajarkan di berbagai institusi pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Secara teori, banyak orang mampu menjelaskan Pancasila secara lengkap, termasuk makna setiap sila dan simbolnya. 

Namun, dalam praktiknya, Pancasila seringkali diterjemahkan secara beragam. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila masih lebih banyak dipahami secara kognitif, belum sepenuhnya dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pancasila antara Hafalan dan Penghayatan

Pertanyaan mendasar kemudian muncul: jika Pancasila telah diterapkan secara utuh, mengapa visi Indonesia yang terkandung di dalamnya belum sepenuhnya terwujud? Salah satu indikatornya adalah persoalan kemiskinan. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, tingkat kemiskinan di Indonesia masih berkisar antara 6-9 persen. Fakta ini mengindikasikan bahwa sila kelima Pancasila—Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—hingga kini belum sepenuhnya terwujud. Artinya, masih terdapat missing link antara nilai Pancasila dan penerapannya di lapangan.

Pancasila dan Ketimpangan Sosial di Indonesia

Pembahasan mengenai penerapan Pancasila sejatinya bukan hal baru. Namun, upaya ini tetap relevan dan penting untuk terus dilakukan, terutama guna mencegah penyelewengan nilai Pancasila sekaligus memastikan proses regenerasi bagi generasi muda bangsa. 

BPS mencatat bahwa jumlah generasi muda Indonesia (usia 16–30 tahun sesuai UU No. 40 Tahun 2009) mencapai 64,22 juta jiwa atau sekitar 22,8 persen dari total penduduk pada tahun 2024. Meski hanya sekitar seperlima dari populasi, generasi muda merupakan masa depan Republik Indonesia—jembatan bagi keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Generasi Muda sebagai Penentu Masa Depan Pancasila

Keberlangsungan Pancasila tidak hanya ditentukan oleh kuatnya regulasi atau kurikulum, tetapi oleh sejauh mana generasi muda mampu menghidupkan nilai-nilainya dalam realitas sosial yang terus berubah.

Namun, dalam praktiknya, terdapat berbagai tantangan dalam menanamkan dan menghidupkan nilai-nilai Pancasila di kalangan generasi muda.

1. Tantangan Era Digital dan Disinformasi

Generasi muda merupakan digital native yang sangat akrab dengan teknologi. Di satu sisi, hal ini membuka peluang besar untuk memperluas wawasan dan akses informasi. Namun, di sisi lain, kondisi ini juga membuka ruang bagi hoaks, misinformasi, dan disinformasi, terutama melalui media sosial. Fenomena hasutan dan provokasi sempat terlihat, misalnya pada penolakan revisi UU TNI pada Maret 2025 serta isu-isu bernuansa SARA dalam demonstrasi terhadap DPR pada Agustus 2025. Tanpa fondasi pemahaman Pancasila yang utuh, generasi muda menjadi rentan terseret ke “server yang salah”.

2. Globalisasi Budaya dan Krisis Identitas

Arus globalisasi budaya telah menjadi “makanan sehari-hari”. Mereka terpapar budaya asing, baik secara langsung maupun melalui ruang digital. Pada dasarnya, tidak ada yang keliru dengan masuknya budaya asing, terlebih jika memberi nilai positif. Namun, persoalan muncul ketika budaya tersebut justru menggantikan dan mengikis jati diri budaya Indonesia.

Salah satu contoh yang mencuat adalah fenomena tagar #kaburajadulu. Selain dipicu oleh skeptisisme terhadap kondisi sosial dan ekonomi dalam negeri, viralnya fenomena ini juga mencerminkan melemahnya fondasi budaya dan kebangsaan. Jika fondasi tersebut kuat, alih-alih meninggalkan Indonesia, generasi muda seharusnya terdorong untuk terlibat aktif dalam mengatasi persoalan bangsa dan melanjutkan pembangunan. Fenomena ini menjadi sinyal memudarnya kesadaran dan penghayatan terhadap Pancasila.

3. Pendidikan Pancasila yang Terlalu Kognitif

Dari sisi pendidikan, Pancasila masih dominan diajarkan pada tataran kognitif. Praktik nyata nilai-nilai Pancasila dalam proses pendidikan belum mendapatkan porsi yang memadai. Akibatnya, pendidikan Pancasila kerap dipandang sebagai formalitas dan kurang menarik. 

Salah satu contohnya adalah hilangnya nomenklatur Pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah wajib dalam PP No. 57 Tahun 2021, yang sempat menimbulkan kegaduhan publik. Terlepas dari ada atau tidaknya unsur kesengajaan, kebijakan tersebut memunculkan kesan bahwa Pancasila bukanlah materi yang esensial. Tidak mengherankan jika pada akhirnya generasi muda semakin kehilangan semangat dan ketertarikan untuk mempelajari Pancasila.

Baca juga: 80 Tahun Kemerdekaan, Saatnya Kembali ke Nilai Nilai Luhur Pancasila

Peran dan Langkah Nyata Pusaka Indonesia

Di tengah berbagai tantangan tersebut, diperlukan upaya konkret untuk mengembalikan Pancasila sebagai nilai hidup, bukan sekadar hafalan. Pancasila perlu dihadirkan melalui praktik nyata yang menyentuh kehidupan sehari-hari.

Upaya inilah yang secara konsisten dilakukan oleh Pusaka Indonesia.  Sebagai perkumpulan berbasis kebangsaan, Pusaka Indonesia menjalankan aktivitas yang merupakan wujud nyata penerapan Pancasila, mulai dari penguatan seni budaya, pemulihan lingkungan, hingga pengembangan kewirausahaan berbasis gotong royong.

Pemanfaatan teknologi digital di Pusaka Indonesia dilakukan secara bijak. Berbagai channel online digunakan untuk mendiseminasikan informasi mengenai kegiatan kebudayaan, promosi jamu, pemulihan tanah yang rusak, serta program-program lain yang selaras dengan nilai Pancasila dalam tataran praktis. Aktivitas ini bertujuan menumbuhkan kesadaran Pancasila di kalangan kader, yang berangkat dari ketulusan untuk membangun negeri, bukan semata-mata dorongan kognitif atau kepentingan pragmatis.

Selain itu, Pusaka Indonesia secara konsisten dan intensif melakukan diseminasi pemahaman Pancasila melalui berbagai kolaborasi. Salah satunya adalah kemitraan dengan RRI dalam program “Kilau Pancasila”, yang disiarkan tujuh kali sehari (pukul 06.00, 07.00, 12.00, 14.00, 16.00, 21.00, dan 23.00 WIB). Salah satu kunci penghayatan Pancasila yang terus ditekankan adalah hening cipta, bukan sebagai ritual seremonial semata, melainkan sebagai momen khusus untuk menyadari hidup sebagai anugerah yang nyata. Melalui hening cipta, nilai-nilai Pancasila dapat dihayati dan diterapkan dengan ketulusan.

Pusaka Indonesia juga memiliki kader dari kalangan generasi muda. Meskipun secara kuantitas belum sebesar generasi lainnya, terdapat tren peningkatan jumlah generasi muda yang bergabung menjadi kader. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak anak muda yang tertarik mempelajari dan menghayati Pancasila bersama Pusaka Indonesia.

Baca juga: Pentingnya Menumbuhkan Jiwa Patriotisme pada Anak Bangsa

 

I Made Diangga
Wakil Koordinator Bidang Riset & Kajian

Sumber foto: canva.com

Reaksi Anda:

Loading spinner