Skip to main content

Saat ini, banyak orang merasa apatis, pesimis, bahkan putus harapan terhadap diri mereka sendiri dan nasib bangsa yang terlihat semakin jauh dari keselarasan dan keadilan. Lebih jauh lagi, ada yang berpendapat bahwa Tuhan tidak adil, dan menjadi orang baik itu sia-sia. Di dunia barat, kita sering mendengar istilah ‘nice guys finish last’ atau orang baik selalu juara bontot. Untuk sukses, katanya, kita harus pintar memanipulasi orang lain, ambisius, kompetitif, dan kadang menghalalkan segala cara.

Lalu, apakah benar kenyataannya seperti itu?

Pertanyaan ini dapat dijawab dengan pendekatan dari Game Theory. Game Theory adalah cabang ilmu matematika yang mempelajari interaksi antara dua pihak atau lebih, di mana setiap pihak membuat keputusan yang saling bergantung satu sama lain. Karena adanya saling ketergantungan ini, masing-masing pihak membuat strategi dengan mempertimbangkan keputusan pihak lain. Teori ini pertama kali diformulasikan oleh John Von Neumann dan ekonom Oskar Morgenstern pada tahun 1944 dalam buku Theory of Games & Economic Behavior.

Salah satu model matematika yang paling terkenal dari Game Theory adalah Prisoner’s Dilemma, yang diciptakan oleh Merrill Flood dan Melvin Dresher pada tahun 1950. Model ini menggambarkan pola interaksi antara dua pihak secara berulang untuk mencapai hasil yang optimal. Secara sederhana, Prisoner’s Dilemma dapat dijelaskan sebagai berikut:

Ada dua pihak, A dan B, yang berinteraksi dan diberikan dua pilihan:

  1. Berkolaborasi (collaborate), atau
  2. Tidak bekerja sama/membelot (defect).

Setiap pilihan memiliki konsekuensi yang diukur dengan angka:

  • Jika A dan B memilih untuk kolaborasi: A = 3, B = 3.
  • Jika A kolaborasi, tetapi B membelot: A = 0, B = 5.
  • Jika A membelot, tetapi B kolaborasi: A = 5, B = 0.
  • Jika A dan B sama-sama tidak bekerja sama: A = 1, B = 1.

Interaksi ini dilakukan berulang kali, dan hasil dari setiap interaksi dicatat lalu ditotalkan. Di akhir permainan, pihak dengan angka tertinggi menjadi pemenang. Penting untuk diingat bahwa ketika satu pihak memulai interaksi, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan pihak lainnya (berkolaborasi atau membelot). Namun, setiap pihak dapat mengingat pilihan yang dibuat pihak lainnya pada interaksi sebelumnya. Ini mirip dengan situasi dalam dunia nyata, di mana kita tidak tahu apakah orang lain akan bertindak jujur atau menipu, tetapi kita memiliki catatan atas perilaku mereka di masa lalu.

Pada tahun 1984, Prof. Robert Axelrod menulis buku The Evolution of Cooperation berdasarkan penelitiannya pada tahun 1980. Dalam penelitian tersebut, Axelrod mengadakan turnamen dan mengundang para ahli matematika serta pelaku Game Theory untuk menciptakan strategi dalam bentuk program komputer atau algoritma matematika yang akan diadu dengan strategi lainnya dalam permainan Prisoner’s Dilemma.

Ada 15 strategi yang diadu selama 200 kali interaksi, beberapa di antaranya adalah:

  1. Selalu membelot. Strategi ini memastikan pemain mendapatkan minimal 1 poin dari setiap interaksi, dan 5 poin jika lawan kolaboratif.
  2. Selalu kolaboratif. Meskipun lawan membelot, pemain ini selalu siap berkolaborasi di ronde berikutnya.
  3. Random. Pemain bertindak tanpa pola yang jelas, kadang membelot, kadang kolaboratif.

Dari 15 strategi ini, yang memenangkan turnamen adalah strategi yang dinamai Tit for Tat. Pada awalnya, pemain dengan strategi Tit for Tat akan kolaboratif dan terus berkolaborasi jika pihak lain juga kolaboratif. Namun, jika lawan membelot, pemain ini akan membelot sekali pada interaksi berikutnya. Jika lawan kembali berkolaborasi, maka pemain ini juga kembali berkolaborasi, dan seterusnya. Jadi, Tit for Tat mencerminkan sikap tegas namun pemaaf.

Hasil ini lalu diulang dengan berbagai variasi, termasuk strategi yang lebih kompleks dan penambahan noise. Pada turnamen kedua, yang diikuti oleh 63 strategi, hasilnya serupa: strategi dari Kubu Baik yang cenderung kolaboratif mendominasi posisi atas, dengan variasi dari Tit for Tat di posisi puncak.

Penemuan ini mengejutkan dunia Game Theory dan Behavioral Science. Paradigma bahwa untuk unggul seseorang harus memanipulasi pihak lain, atau bahwa untuk untung, orang lain harus rugi, terbukti tidak efektif. Sebaliknya, kolaborasi terbukti sebagai strategi yang lebih optimal.

Kesimpulan dari Prof. Axelrod adalah:

  1. Jadilah orang baik. Mulailah dengan kolaborasi, dan jangan pernah menjadi yang pertama untuk membelot.
  2. Tegas. Balas kebaikan dengan kebaikan. Pengkhianatan atau penipuan dibalas secara setimpal.
  3. Pemaaf. Setelah pengkhianatan diatasi, siaplah untuk kembali berkolaborasi.
  4. Jelas dan dapat diandalkan. Pihak lain akan lebih mudah berkolaborasi dengan Anda jika Anda dapat dipercaya.

Saya berkesimpulan bahwa secara alami, kita didorong oleh alam semesta untuk berkolaborasi dengan orang lain secara selaras. Kolaborasi yang baik akan diberi insentif yang sesuai oleh alam semesta, dan begitu pula sebaliknya. Contoh nyata dari Prisoner’s Dilemma dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari hubungan keluarga, interaksi di tempat kerja, kerja sama dengan klien atau vendor, hingga interaksi hewan di alam bebas.

Setelah dibuktikan secara ilmiah bahwa menjadi orang baik dan kolaboratif menghasilkan hasil yang optimal, apa pilihan Anda?

 

Ayodhya Glenardi

Kader Pusaka Indonesia DKI Jakarta – Banten

 

Sumber foto: https://www.britannica.com/