Ikut berperan dalam pementasan ludruk bukan sesuatu yang saya rencanakan. Saya tergabung dalam kelas ludruk yang dipandu Ketua Pusaka Indonesia Wilayah Jawa Timur, Mas Dudik Dwijatmiko. Namun, tidak pernah berniat untuk ikut tampil di atas panggung. Saya merasa lebih cocok di belakang layar. Bergabung di kelas ludruk pun, awalnya sekadar penasaran dan coba-coba. Tapi ternyata, dari yang awalnya sekadar coba-coba, saya mendapatkan banyak pelajaran berharga. Bukan hanya tentang bagaimana berakting di atas panggung, tetapi juga tentang bagaimana sebuah kolaborasi dibangun, kedisiplinan, dan konsistensi dalam latihan. Serta belajar menjahit draf naskah menjadi sebuah naskah utuh.
Pada 15 Juni lalu, untuk ketiga kalinya saya menyaksikan dan berpartisipasi dalam pagelaran seni-budaya yang diselenggarakan oleh Pusaka Indonesia. Kali ini judulnya Pagelaran Indonesia Bahagia dengan persembahan utama Sendra Tari Bende Mataram. Seperti di dua pagelaran sebelumnya pada 2023 lalu (Juni dan Oktober), saya berperan di belakang panggung, mendukung para penampil untuk tata rias wajah bersama tim Make-Up Artist. Tapi kali ini saya mempunyai peran tambahan: menjadi Mbok Jamu dalam pementasan ludruk. Jadi setelah tugas make-up selesai, saya pun mendandani diri sendiri ala Mbok Jamu.
Pada pertemuan pertama kelas ludruk yang dimulai pada April lalu, saya ikuti dengan setengah hati. Saya merasa ludruk hanya cocok untuk orang-orang yang lucu. Nyatanya saya tidak punya bakat melucu, rasanya begitu. Saya lebih suka sesuatu yang lebih serius, macam teater modern yang tampak keren dengan kostum panggung yang unik dan dialog puitis yang maksudnya entah apa. Alhasil, saya bolos kelas sebanyak dua kali.
Setelah bolos kelas itu, saya kemudian berefleksi. Saya memilih ikut kelas ludruk karena keinginan sendiri. Rasanya tidak bertanggungjawab jika saya tidak serius belajar. Maka pada pertemuan berikutnya, saya berusaha mengikuti kelas dengan lebih serius. Ternyata, ketika itu bertepatan dengan teman-teman sedang menggali ide cerita untuk persiapan pentas Pagelaran Indonesia Bahagia. Mas Dudik yang juga sebagai sutradara ketika itu, mengarahkan peserta untuk masing-masing menuliskan ide. Saya pun kebagian tugas, meskipun saya lebih banyak mengamati dan belajar menulis naskah dari teman-teman yang lain. Namun, pada momen inilah saya mulai merasa jatuh cinta dengan ludruk. Menggali ide cerita ternyata sangat menyenangkan. Kemudian, Mbak Ficky Yusrini selaku penulis naskah menawarkan untuk ikut tampil sebagai Mbok Jamu.
Proses penulisan naskah hingga latihan sangat singkat, hanya 2 bulan. Saya memperhatikan bagaimana Mbak Ficky mengumpulkan draf dari para peserta kemudian menjahitnya menjadi sebuah naskah utuh. Saya pikir, peran saya sebatas belajar menulis naskah saja. Ternyata, saya juga belajar bagaimana proses menyunting naskah hingga akhirnya durasi dialog tidak melebihi batas waktu yang disediakan, tapi di sisi lain tidak menghilangkan makna dan pesan yang ingin disampaikan kepada penonton. Hal lain yang buat saya cukup mengesankan adalah bagaimana seluruh penampil saling berkolaborasi, saling memberi masukan untuk perbaikan dialog. Atau bagaimana ekspresi dan pendalaman karakter supaya bisa totalitas di atas panggung. Karena pemerannya berasal dari berbagai wilayah berbeda, maka latihan dilakukan secara virtual. Latihan dilakukan nyaris setiap malam, kecuali ada kegiatan lain yang waktunya bersamaan. Tentunya ada momen-momen lucu ketika semua peserta harus latihan secara online dengan kamera terbuka. Jarak tidak menghalangi semuanya untuk latihan dengan totalitas. Meskipun hanya di depan kamera, mimik dan ekspresi wajah kadang kala membuat tertawa. Latihan bersama secara offline baru bisa dilakukan H-1 ketika gladi resik.
Adegan ludruk ini sebenarnya adalah bagian dari Sendratari Bende Mataram yang ditampilkan di babak akhir. Cerita yang disampaikan adalah tentang bagaimana perjuangan generasi masa kini dalam mengembalikan kejayaan Nusantara masa lampau. Di tengah gempuran modernisasi yang membuat orang-orang pada umumnya tidak lagi mengenal seni budayanya dan kekayaan alam negerinya, ternyata masih ada segelintir orang dan komunitas yang mengajarkan kembali tarian dan budaya daerah, membumikan kembali keajaiban khasiat jamu dan herbal, melakukan aksi perbaikan lingkungan, dan merawat Bumi.
Ide ceritanya berasal dari hal-hal sederhana yang umum terjadi di sekitar. Ada dua orang ibu yang bertemu di sekolahan anaknya, yang kebingungan karena wali kelas memberi tugas belajar tari daerah. Padahal, zaman sekarang anak-anak lebih familiar dengan tarian modern ala Korea atau Jepang. Tukang bakso yang bersitegang dengan pembelinya yang lebih memilih mangkok plastik karena dianggap lebih higienis. Tukang sapu yang selalu kebagian membersihkan sampah-sampah yang tidak ada habisnya. Lalu ada kader Pusaka Indonesia yang tampil menengahi tukang bakso, tukang sapu, dan ibu-ibu gaul yang sedang ribut urusan sampah plastik. Ada pula Mbok Jamu yang berinovasi membuat jamu dengan kemasan, tampilan, dan rasa yang lebih modern agar jualannya ‘nggak gitu-gitu aja’ seperti mbok-mbok jamu lainnya.
Saya mempelajari, dalam ludruk, kita menggunakan dialog dengan diksi yang jelas. Sebab ada pesan yang juga harus tersampaikan dengan jelas kepada penonton. Adegan dan dialognya penuh dengan banyolan dan membuat gemas pada saat bersamaan. Pada akhirnya, saya paham bahwa ini bukan tentang ludruk atau tentang bagaimana belajar berakting. Ini tentang wadah untuk menyebarluaskan kesadaran, dan ludruk hanyalah salah satu dari wahana itu. Dengan menyadari hal ini, belajar nge-ludruk ternyata menjadi jauh lebih mengasyikkan. Tentu saja, saya tidak akan menolak jika diajak main ludruk lagi. (*)
Aniswati Syahrir
Kader Pusaka Indonesia Wilayah DKI – Banten