Skip to main content

Museum Bahari yang berlokasi di seberang Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, menyimpan koleksi yang berhubungan dengan kebaharian dan kenelayanan bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Museum ini mengeksplorasi nilai-nilai kebaharian bangsa Indonesia dan menumbuhkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa bahari.

Empat ratus tahun lalu, museum ini dibangun sebagai gudang yang berfungsi untuk menyimpan, memilih, dan mengepak hasil bumi, seperti rempah-rempah yang merupakan komoditas utama VOC yang sangat laris di pasaran Eropa. Bangunannya terdiri atas beberapa gedung yang dibangun secara bertahap, yaitu Gedung A, Gedung B, dan Gedung C.

Dari segi pembangunannya, gedung ini menggunakan arsitektur Belanda, dan uniknya setiap bangunan terdapat angkur (huruf Y terbalik) yang berfungsi untuk menahan gempa. Sementara di bagian loket museum, ada ubin batu alam yang dibuat berdasarkan langkah kaki orang Belanda. Selain itu, mengingat zaman dahulu belum ada air conditioner (AC), banyak jendela yang dibuat bentuk segitiga dari teralis besi agar hembusan anginnya merata.

Menara Syahbandar (Uitkijk), yang juga bagian dari museum ini, dibangun untuk menjadi sebuah mercu atau menara. Menurut Firman Fathurahman, salah satu staf edukasi Museum Bahari, Menara Syahbandar memang dibangun sengaja agak miring dengan tujuan supaya bisa melihat Pelabuhan Sunda Kelapa lebih luas. Namun, saat ini kemiringan bertambah seiring dengan banyaknya aktivitas kendaraan berat di daerah situ dan juga faktor tanah. Letak menara yang persis di tepi jalan membuat getaran kendaraan yang melintas merambat di telapak kaki saat melangkah berada di dalam bangunan kuno itu.

Pada zaman penjajahan dulu, fungsi Menara Syahbandar yang dibangun sekitar tahun 1839, sangat vital. Dari menara itu, para petugas mengawasi keluar masuk kapal yang membawa komoditas terutama rempah. Menara ini juga berfungsi sebagai kantor “pabean”, mengumpulkan pajak atas barang-barang yang dibongkar di pelabuhan Sunda Kelapa. 

Pada abad ke-19, Pelabuhan Sunda Kelapa sudah mulai sepi dan kuno, terlalu kecil bagi kapal-kapal uap besi masa itu. Lahirnya Pelabuhan Tanjung Priok mengubah Sunda Kelapa menjadi sekadar kanal. Sementara itu, Museum Bahari –yang masih bekerja sebagai gudang pelabuhan– menghabiskan tahun-tahun berikutnya dengan relatif tenteram.

Cerita Museum di Masa Kolonial

Melihat koleksi rempah di Musium Bahari

Pada masa penjajahan Jepang; haus akan tanah baru, menjadi negara imperialis dengan kekuatan militer yang Inggris pun (pada tahun itu) takjub. Berawal dari negara feodal terpecah belah yang tak kenal dengan uap dan mesiu di sebuah zaman yang terkenal akan kekuatan sentral berhasil memodernisasikan pulau-pulaunya, setara dengan bangsa-bangsa lain dalam hanya sepuluh tahun; sekejap mata bagi para pembaca koran. Dari mangsa menjadi pemangsa, ia melahap apa yang bisa dia curi dari negara lain.

Pada tanggal 8 Desember 1941, Belanda yang pusat pemerintahannya di Batavia mendeklarasikan perang kepada Jepang, satu hari setelah pengeboman Pearl Harbour. Pada 11 Desember, Jepang mendarat di pantai Tarakan, Balikpapan. Pada 28 Januari 1942 menginjak Ambon, lalu pada 3 Februari di Banten. Setelah itu, berturut Leuwiliang, Cilacap, Surabaya, dan Bandung dikelilingi, semua selesai pada 8 Maret 1942, Hein ter Poorten, Panglima Besar pasukan sekutu di Hindia Barat, menyerahkan seluruh personel dan logistik KNIL di Jawa kepada Jepang. Pukul 11 malam di hari yang sama, radio NIROM menyiarkan berita terakhir sebelum menutupnya dengan “Leve de Koningin” (Hidup sang Ratu).

Gudang Sunda Kelapa, dengan lokasi strategis; menjadi target juga bagi Jepang. Namun Batavia kosong, para sekutu mengungsi ke tanah yang lebih strategis dan Jepang mulai sadar akan nerakanya, yaitu logistik di hutan. Bensin, suku cadang, peluru, bedil, baju, air; semua harus bisa datang ke tangan para prajurit tanpa masalah dan gudang ini menjadi salah satu dari banyak gudang penyimpanan logistik bagi militer Jepang. 

Tiga tahun, museum ini ‘terpaksa’ melihat semua kejelekan dari dunia, tiga tahun museum ini dijadikan gudang perang bagi suatu negara imperialis yang kejam. Tiga tahun, sebentar dari mata penonton, “seabad” ucap yang mengalami. Pada 1945, setelah dua bom, akhirnya Jepang tunduk. Para prajurit kekaisaran yang malangnya bertugas sebagai garnisun Jawa disuruh pulang; perang sudah selesai. Selama 200 tahun, gedung museum berganti tangan lima kali, melihat pembangunan jalan Anyer-Panarukan, Diponegoro, cultuurstelsel, politik etis, Budi Utomo, Jepang, dan revolusi nasional ‘45.

Museum Bahari tidak seperti bekas tempat penyimpanan rempah yang horor dan menyeramkan seperti yang kalian bayangkan. Museum ini jauh lebih hidup dan nyaman untuk dilihat, karena banyak pepohonan yang menambah pesona bangunan tua itu di tengah-tengah hiruk-pikuk kota Jakarta. Hawanya yang sejuk menjadikan museum ini terkesan asri dan khidmat untuk dinikmati setiap sudutnya. Selain itu, banyak spot foto yang dapat kalian ambil dari sudut mana pun dan tentunya instagramable. Selain sebagai tempat wisata, Museum Bahari juga sering dijadikan sebagai tempat edukasi sejarah Nusantara. Tak sedikit siswa sekolah yang berkunjung ke Museum Bahari untuk mencari bahan penelitian dari sekolah mereka.

Penulis: Natasha Rahardja, Holyana Caryn Widodo, Narajati Pilar Sidharta, Djenar Mahesa Allure.

Tulisan tersebut dihasilkan dari Kelas Menulis Jurnalisme Pusaka untuk Remaja Se-Jabodetabek yang diselenggarakan oleh Pusaka Indonesia pada 18 dan 24 Februari 2024 di Museum Bahari, Jakarta.