Setelah beberapa kali mengikuti sesi wastra yang diadakan oleh Bidang Seni Budaya, Pusaka Indonesia, saya membayangkan betapa rumitnya proses penciptaan sehelai kain batik. Pekerjaan ini membutuhkan kesabaran, ketelitian, dan keahlian tingkat tinggi. Beruntung, saya mendapatkan sedikit pemahaman tentang proses membatik ini saat mengikuti Workshop Membuat Batik yang diselenggarakan oleh Pusaka Indonesia Jawa Barat pada 29 Juni 2024 di Bogor. Workshop ini mengundang narasumber Dina Ayu, pemilik Batik Bogor Bumiku. Kegiatan ini diikuti oleh 15 peserta dari Pusaka maupun masyarakat umum.
Dina Ayu adalah pendiri Kampung Batik Cibuluh, yang dikenal sebagai desa wisata dan pusat pembuatan batik di Bogor. Ia sudah sering menyelenggarakan workshop membatik di rumahnya, di sekolah-sekolah, maupun di ruang-ruang publik di Jabodetabek. Dalam workshop ini, peserta diajak memahami proses membatik di atas kain. Beberapa kain tote bag sudah digambar dengan motif sederhana seperti bunga, sulur, dan garis. Ada juga yang belum digambar, dan Dina membuatkan motifnya dengan pensil. Peserta juga diberi kesempatan untuk berkreasi dengan menggambar sendiri motif yang diinginkan. Beberapa anak usia SD yang turut serta memilih motif binatang yang lucu.
Berikut adalah proses membatik yang saya peroleh dalam workshop singkat tersebut:
Mencanting

proses mencanting di tas tote bag
Kain yang digunakan dalam workshop ini adalah kain kanvas yang sudah dibentuk menjadi tote bag. Tote bag dipilih oleh panitia karena memiliki daya pakai tinggi dan dapat langsung digunakan setelah selesai membatik. Alat utama yang digunakan adalah canting, yang terdiri dari tangkai kayu dan ujung logam kecil yang disebut nyamplung, yang berfungsi untuk menampung dan menyalurkan malam (lilin batik) ke permukaan kain. Malam tersebut dipanaskan hingga meleleh menggunakan kompor kecil atau pemanas agar tetap cair selama proses membatik.
Suhu malam harus dijaga dengan baik. Jika malam terlalu panas, akan menjadi terlalu cair dan sulit dioleskan dengan baik, sedangkan malam yang terlalu dingin akan mengental dan menyumbat canting. Dalam kelompok saya, malam sempat mampet di canting, tidak kunjung menetes, menandakan suhu malam kurang panas. Namun, setelah suhu malam diatur dengan tepat, proses mencanting bisa dilanjutkan.
Langkah berikutnya adalah memegang canting dengan benar. Cara memegang canting mirip dengan cara memegang pensil, menggunakan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Pegangan harus cukup kuat untuk mengontrol gerakan, namun tetap lentur agar canting dapat bergerak dengan leluasa. Posisikan tangan dengan nyaman, dengan pergelangan tangan sedikit diangkat untuk memudahkan pengaturan aliran malam dari canting ke kain. Arahkan ujung nyamplung canting sedikit miring ke bawah agar malam dapat mengalir dengan lancar saat menggoreskan canting ke kain.
Karena ini pertama kalinya saya memegang canting, tangan saya masih kaku. Tantangan lainnya adalah malam yang menetes-netes ke kain, meskipun saya sudah mengangkat canting agar tidak ‘merusak’ motif yang sudah digambar. Ini menandakan bahwa malamnya terlalu panas. Saya sampai harus mengganti canting beberapa kali untuk mencari mana yang paling nyaman digunakan. Akhirnya, saya menyiasati tetesan malam dengan membuat motif baru berupa bulatan, sehingga permukaan tote bag penuh dengan bulatan. Untuk menghasilkan garis yang rapi dan indah, gerakan mencanting harus dilakukan perlahan dan konsisten. Proses ini memang membutuhkan konsentrasi tinggi, tidak boleh dilakukan dengan tegang atau terburu-buru.
Mewarnai
Setelah proses mencanting selesai, kain siap diwarnai. Pewarnaan dilakukan dengan mencelupkan kain ke dalam larutan pewarna sintetis napthol yang biasa digunakan oleh perajin batik untuk kepraktisan. Sebelum pewarnaan, kain dibasahi terlebih dahulu. Setelah itu, kain dicelupkan ke dalam larutan napthol dan ditiriskan sebentar. Kain kemudian dicelupkan kembali ke dalam larutan garam sambil diratakan agar pewarna meresap ke dalam serat kain. Setelah proses pewarnaan selesai, kain dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan sisa-sisa warna yang tidak meresap.
Langkah berikutnya adalah pelorodan, yaitu proses penghilangan malam dari kain. Kain cukup direndam dalam air panas untuk melelehkan malam. Pada tahap ini, malam yang menutupi motif pada kain akan meleleh dan terlepas, sehingga bagian kain yang tidak terkena pewarna akan terlihat. Bagian kain yang dilapisi malam menjadi warna putih, dan terbentuklah motif yang diinginkan. Setelah malam hilang, kain dibersihkan dengan cara dibilas menggunakan air bersih.
Workshop membatik ini turut dihadiri oleh Sekjen Pusaka Indonesia, Nyoman Suwartha. Nyoman menyambut baik kegiatan ini dengan harapan semakin banyak kampung batik yang bermunculan, melihat kesuksesan Kampung Batik Cibuluh yang digagas oleh Dina di Bogor. Secara khusus, ia berharap Pusaka Indonesia di setiap wilayah dapat mengembangkan edukasi dan pelatihan membatik kepada para kader untuk melahirkan seniman dan seniwati batik serta mendukung keberlanjutan budaya batik di Indonesia.
Pengalaman mencanting ini membuat saya jadi lebih bisa menghargai penciptaan di balik selembar batik. Tidak berhenti di sebatas mengagumi keindahannya saja, tapi juga memahami betapa kompleks dan prosesnya memakan waktu yang tidak singkat. Setiap goresan malam, setiap celupan warna, hingga setiap langkah dalam pelorodan mengajarkan bahwa batik bukan sekadar kain, melainkan sebuah karya seni yang penuh makna. Proses membatik ini menghubungkan saya dengan tradisi dan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikannya tidak hanya sebuah kegiatan kreatif, tetapi juga sebuah penghormatan terhadap warisan leluhur. Harapannya, batik akan terus hidup dan berkembang, serta semakin dicintai oleh generasi muda. Bukan hanya sebagai pakaian, tetapi sebagai simbol identitas dan kebanggaan bangsa.
Ficky Yusrini
Kader Pusaka Indonesia Jawa Barat