Skip to main content

Obrolan Komunitas RRI Pro 1 Jakarta kembali mengangkat tema budaya yang menggugah kesadaran: Nguri-uri Aksara dan Bahasa Jawa — upaya pelestarian budaya Jawa yang dilakukan dari ruang-ruang kecil, namun bermakna besar. Kali ini menghadirkan Tya Soemarsono-Perry, Koordinator Sanggar Seni Pusaka Indonesia Wilayah Yogyakarta, yang berbagi kisah dan semangat dalam menjaga warisan budaya.

Dalam perbincangan hangat tersebut, Tya menegaskan bahwa melestarikan aksara dan bahasa Jawa bukan sekadar nostalgia romantis masa lalu, melainkan bentuk nyata dalam menjaga identitas dan martabat budaya bangsa.

“Nguri-uri itu artinya melestarikan,” jelas Tya. “Dan pelestarian aksara Jawa penting karena ini adalah warisan peradaban yang tinggi. Sayang sekali jika generasi muda hanya tahu bentuknya, tapi tidak bisa membaca atau menulisnya.”

Sejak Mei 2024, Sanggar Seni Pusaka Indonesia wilayah Yogyakarta membuka Kelas Nguri-uri Aksara dan Bahasa Jawa yang terbuka untuk umum. Tanpa batasan usia, latar belakang, atau tingkat kemampuan, siapa pun boleh bergabung — baik pemula maupun yang telah memiliki dasar. Setiap Kamis sore, para peserta berkumpul dalam suasana belajar yang akrab dan menyenangkan, namun tetap menyerap nilai-nilai mendalam dari setiap guratan aksara. 

“Menulis aksara Jawa tanpa terputus itu mengajarkan kita untuk menjalankan tanggung jawab atau meraih cita-cita, tidak boleh putus di tengah jalan. Mengajarkan kita untuk tidak buru-buru, untuk fokus dan menyelesaikan apa yang telah kita mulai,” ungkap Tya. Pelajaran seperti ini penting untuk kehidupan sehari-hari,” kata Tya, menambahkan. .

Upaya pelestarian tidak berhenti di kelas. Sanggar Seni Pusaka Indonesia juga tengah mengembangkan merchandise seperti kaos dan totebag beraksara Jawa guna menarik perhatian publik, terutama generasi muda. Di samping itu, mereka aktif menjalin kolaborasi dengan komunitas-komunitas serupa, misalnya Komunitas Segajabung. Komunitas Segajabung sudah mengembangkan aplikasi digital aksara Jawa. Meskipun baru tersedia untuk Android dan masih menghadapi kendala teknis, ini sudah menjadi langkah penting dalam menjembatani budaya dan teknologi.

Tak hanya aksara, pelestarian juga menyentuh ranah bahasa Jawa melalui pengenalan macapat, seni tembang Jawa tanpa iringan musik. Ini bagian dari kurikulum yang menghidupkan kembali filosofi dan sastra Jawa di tengah derasnya arus globalisasi.

Dalam Obrolan Komunitas yang disiarkan 9 Mei 2025 lalu ini, Tya menegaskan kembali bahwa pelestarian budaya bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga menciptakan ruang bagi generasi masa depan untuk mengenal, memahami, dan mencintai akar budayanya sendiri.

Harapan besar disampaikan di akhir sesi, Tya berharap semoga makin banyak orang yang setidaknya penasaran, kemudian tertarik, dan akhirnya turut merawat warisan budaya luhur ini. “Karena menjaga aksara Jawa, pada dasarnya adalah menjaga jati diri bangsa,” kata Tya.

Baca juga: Menari Bersama Setya

Wisnu Aji Negara
Kader Pusaka Indonesia Wilayah DKI Jakarta – Banten