Pusaka Indonesia kembali menggelar pementasan seni-budaya yang ketiga kalinya di Auditorium Abdurrahman Saleh RRI, Jakarta Pusat, setelah sukses menyelenggarakan 2 pagelaran sebelumnya pada Juni dan Oktober 2023 lalu. Pagelaran kali ini menampilkan Sendratari Bende Mataram 4 babak yang menceritakan kisah pada 4 masa: era Mataram, era kolonialisme, era kemerdekaan, dan masa kini.
Babak awal menampilkan adegan Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir yang sedang melakukan pembicaraan empat mata. Panembahan Senopati merupakan pendiri sekaligus raja Kerajaan Mataram pertama pada abad 15. Sementara Ki Ageng Mangir adalah menantu beliau. Dalam pertemuan tersebut, Panembahan Senopati menyampaikan firasat dan pesan leluhur yang diperoleh dalam ‘mangening’ (laku hening) akan adanya ancaman dari luar terhadap Mataram. Benih-benih angkara murka mulai ditebar oleh pihak luar yang tidak senang dengan kejayaan Mataram. Sinyal-sinyal pengkhianatan mulai terlihat. Senada dengan Panembahan Senopati, Ki Ageng Mangir pun mendapatkan pesan serupa. Panembahan Senopati kemudian memerintahkan anak mantunya tersebut untuk berjaga di sisi utara wilayah Mataram untuk mengantisipasi adanya serangan yang lebih jauh.

Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir
Di babak selanjutnya, terlihat adegan Kelompok Kaya Serakah (KKS) yang sedang menyusun siasat untuk menjatuhkan Mataram. Mulailah mereka menyusun rencana untuk menyerang dari berbagai sisi, mulai dari aspek budaya, spiritualisme, dan kesehatan. Ketiga aspek ini tentu paling berpotensi menghancurkan tanpa senjata dan perang fisik, karena akan membuat Mataram kehilangan jati diri. Dengan taktik ini, generasi penerus akan sangat mengagumi bangsa luar dan tidak bangga dengan budaya bangsanya sendiri. Ajaran spiritual murni yang luhur dan agung yang diwariskan leluhur ditinggalkan karena terpesona ajaran yang dibawa masuk oleh kelompok dari luar. Khasiat rempah-rempah yang telah dimanfaatkan turun-temurun diabaikan karena lebih percaya dengan obat-obatan kimia yang sesungguhnya justru merusak tubuh.

Kelompok Kaya Serakah
Lalu, babak berikutnya menampilkan Bung Karno dan Hamengkubuwono IX yang sedang berbincang di Keraton Yogyakarta dengan latar awal masa kemerdekaan (1946-1949). Hamengkubuwono IX terlihat menyemangati Bung Karno dan menyatakan kesiapannya dan rakyat Yogyakarta untuk mendukung, baik secara materiel maupun immateriel, untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada masa itu, meskipun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia telah diumumkan, namun perjuangan tidak serta-merta selesai. Pihak-pihak yang ingin menguasai dunia tidak begitu saja rela dengan kemerdekaan Indonesia dan masih terus berusaha menguasai dengan cara halus.

Bung Karno dan Hamengkubowono IX
Sendratari Bende Mataram ini bukan pagelaran biasa. Ada pesan teramat penting yang tersirat di dalam setiap babak. Pertama, terkait sejarah Kerajaan Mataram yang perlu diluruskan. Jika kita mencari referensi dari berbagai sumber, baik dari berbagai manuskrip kuno maupun dari internet, maka kita akan menemukan jalan cerita yang seragam. Dikisahkan bahwa Ki Ageng Mangir adalah musuh bebuyutan Panembahan Senopati, karena Ki Ageng Mangir menolak tunduk pada Kerajaan Mataram. Panembahan Senopati kemudian melakukan manuver untuk membunuh Ki Ageng Mangir, bahkan dengan menjadikan anak perempuannya sendiri sebagai umpan.
Namun, benarkah demikian kisahnya? Nyatanya tidak. Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir tidak pernah saling bermusuhan. Sebaliknya, keduanya sangat akrab dan saling mendukung satu sama lain. Kejayaan Mataram pada masa lampau tidak dibangun melalui sejumlah tragedi berdarah dan perang saudara. Mataram dipimpin oleh raja yang memegang teguh spiritualisme yang luhur dan agung, menghayati keberadaan dan kasih Tuhan. Laku spiritualisme yang dijalankan memunculkan kecerdasan yang luar biasa dalam membangun wilayahnya, sehingga Mataram kemudian juga ditopang oleh kekuatan politik dan finansial yang mumpuni. Mengapa justru kisah sebaliknya yang muncul dan dipercayai orang-orang?
Pepatah mengatakan, sejarah seringkali dituliskan ulang oleh musuh yang menang. Tentunya dengan kisah yang berbeda. Kisah-kisah yang agung diputarbalikkan menjadi tragedi penuh darah. Lalu, cerita yang telah dibelokkan sedemikian rupa inilah yang kemudian dibukukan dan dipercayai oleh generasi berikutnya. Para anak cucu suatu bangsa dibuat tidak mengenali nenek moyangnya, dan sama sekali tidak tahu fakta yang sebenarnya. Namun, memang harus diakui bahwa tidak mudah menemukan sumber sejarah yang valid. Karena itulah, Pusaka Indonesia berupaya meluruskan sejarah lewat kegiatan seni-budaya.
Terlepas dari berbagai pembelokan sejarah, satu hal yang pasti, keberadaan Kelompok Kaya Serakah (KKS) yang berambisi menguasai dunia nyata adanya. Manuver mereka telah ada sejak jaman dahulu dan dampaknya masih dirasakan hingga saat ini. Selama 79 tahun setelah Bung Karno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan, tak banyak hal yang berubah. Sumber daya alam kita lebih banyak dikuasai segelintir orang. Sistem Pendidikan belum mampu menjadi solusi untuk menanggulangi kemiskinan. Kerusakan lingkungan terus memburuk, luasan hutan terus berkurang. Kenyataan ini pulalah yang sedang diperjuangkan oleh kader-kader Pusaka Indonesia melalui aksi perbaikan lingkungan, pengembangan bisnis untuk kemandirian, serta riset dan penelitian, seperti yang ditampilkan di babak akhir.
Sendratari ini ditutup dengan adegan ludruk yang menampilkan adegan masyarakat modern masa kini dengan segala perilaku dan gaya hidupnya. Ada ibu-ibu yang bingung karena anaknya mendapat tugas untuk belajar tari daerah dari sekolah, sementara anaknya lebih familiar dengan tari-tarian modern ala Korea dan Jepang yang sedang trend di masa kini. Ada tukang sapu yang kesal dengan kelakukan orang-orang yang gemar buang sampah plastik seenaknya. Ada tukang bakso dan tukang jamu yang menjalani hidup dalam kesederhanaan dan suka cita namun seringkali menjadi korban ketidakadilan.
Tantangan-tantangan inilah yang dijawab Pusaka Indonesia di segala lini perjuangannya. Ada grup seni-budaya yang mengajarkan tari-tarian tradisional untuk mengenalkan kembali seni-budaya lokal kepada masyarakat umum. Ada kegiatan riset sebagai upaya mengembalikan kejayaan jamu dan herbal untuk kesehatan lewat tulisan dan penerbitan buku. Pusaka Indonesia juga menginisiasi Titik Titip Sampah (TTS) sebagai solusi untuk mengurangi sampah plastik. Pada akhirnya, segala kondisi yang ada yang menjadi tantangan bangsa ini, memang tidak bisa kita jadikan alasan untuk berputus asa dan tidak melakukan apa-apa. Setiap orang yang memiliki kesadaran dan kepedulian mesti menetapkan lini perjuangannya masing-masing untuk memperbaiki kondisi negeri ini, hingga kita benar-benar merasakan kemerdekaan yang seutuhnya. (*)
Aniswati Syahrir
Kader Pusaka Indonesia Wilayah DKI-Banten
Featured Foto oleh Chendra Panathan