Skip to main content

Dunia tari dulu terasa asing bagi saya. Sejak kecil tak pernah terlintas sekali pun keinginan untuk menari, lebih nyaman duduk santai sambil menonton orang menari daripada menari sendiri yang kelihatannya sangat rumit. Namun, semua berubah sejak saya bergabung dengan Pusaka Indonesia. Saya menjadi lebih mencintai Indonesia, lebih mencintai warisan Indonesia, yang salah satunya adalah warisan tari-tarian tradisional. 

Mencintai dalam arti yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar tahu, tetapi ikut melestarikannya secara langsung. Bayangkan jika kita hanya mengakui Tari Remo sebagai warisan Indonesia, tetapi tidak bisa menarikannya. Dan, lebih aneh lagi jika negara tetangga ternyata lebih mahir memainkannya daripada kita yang mengaku sebagai pemiliknya. Atas dasar itulah kemudian saya tergerak untuk mengikuti kursus menari yang diselenggarakan oleh Pusaka Indonesia sebagai bentuk pengabdian dan cinta saya kepada Indonesia.

Minggu, 3 Desember 2023, menjadi hari latihan perdana pada kursus tari yang diselenggarakan Pusaka Indonesia Jawa Timur. Bertempat di Malang, sedangkan tariannya adalah Tari Remo. Merujuk Wikipedia, Tari Remo adalah salah satu tarian untuk penyambutan tamu yang ditampilkan baik oleh satu atau lebih, Remo berasal dari kata Reyoge Cak Mo. Tarian ini berasal dari Jombang, Provinsi Jawa Timur. Sejak pertama kali mendaftar, saya sudah tidak sabar untuk segera menari walau hanya bermodal semangat. Namun ternyata ada yang lebih bersemangat, yakni Fathul Hadi kader asal Sidoarjo yang terlebih dulu tiba di titik kumpul, Mojosari. Kami berdua kemudian menunggu kader lainnya dari berbagai kota.

Baca juga: Serial Hening dan Beraksi Pusaka Jawa Timur: Ekoenzim 

Setelah menunggu beberapa saat, sekitar pukul 10, rombongan yang dinanti akhirnya tiba, Eka Parwati, Marjoko serta kader lainnya dari Madiun dan Trenggalek. Layaknya kegiatan Persaudaraan Matahari dan Pusaka Indonesia, pertemuan ini selalu menjadi momen yang membahagiakan dan penuh sukacita. Rasa bahagia muncul saat bertemu sehingga dapat melepas rindu dengan sesama teman pejalan keheningan sekaligus sahabat dalam berkarya. Selama perjalanan pun dilakukan dengan penuh sukacita, sampai tak terasa dua jam berlalu dan sampailah kami di rumah Eka Rahayu, di Kota Malang.

Setibanya di lokasi, kami mendapati bahwa peserta kursus dari Surabaya telah lebih dahulu hadir. Diana, Koordinator Seni dan Budaya Pusaka wilayah Jatim, memimpin rombongan sebanyak tiga peserta yang menggunakan kereta api sebagai moda transportasi mereka. Kursus tari kali ini diikuti oleh sembilan kader dari berbagai daerah se-wilayah Jatim. Bahkan, ada satu peserta non anggota Pusaka Indonesia yang terinspirasi untuk ikut latihan. 

“Saya memang suka bidang seni, apalagi denger musik, bawaannya kepingin nari,” ujar Suryani, guru SMP asal Madiun yang bergabung karena kesukaannya akan seni.

Sebagaimana kebiasaan di Pusaka, sebelum memulai kegiatan selalu diawali dengan hening cipta bersama. Semua peserta diajak untuk menyelami keheningan agar tumbuh kesadaran atas semua anugerah yang diberikan Tuhan. Kesadaran itu akan membawa diri menjadi bersyukur kemudian bersukacita, menikmati hidup yang sesungguhnya memang penuh dengan anugerah. Inilah yang menjadi idealisme pergerakan kami, hening dan beraksi. Menurut Guru Setyo Hajar Dewantoro, yang dikutip dari laman facebooknya, beliau menyatakan, “Hening lewat menari, menari dalam hening.”

Setelah hening cipta bersama selesai, kami segera bersiap-siap untuk memulai latihan. Para peserta diminta untuk mengenakan selendang yang telah dipersiapkan. Sesi awal latihan dilakukan di dalam rumah, dimulai dengan mengatur posisi peserta, kami dilatih untuk selalu sadar posisi. Selanjutnya, Ari Mukti, pelatih tari asal Surabaya, mulai mencontohkan gerakan-gerakan dasar Tari Remo, mulai dari cara memegang selendang, me-nyeblak selendang, lekuk jari tangan, teknik berjalan, sampai cara membuat kuda-kuda. Gerakan dasar ini dilatih berulang kali sampai peserta benar-benar siap untuk gerakan selanjutnya.

Latihan Tari Remo Pusaka Indonesia Jawa Timur

Latihan selanjutnya dilakukan di luar rumah, disebut latihan lantai. Para peserta dilatih dalam keadaan seolah-olah berada di panggung pertunjukan. Dimulai dengan berjalan memasuki panggung, lalu gerakan kedua, ketiga dan seterusnya, diulang-ulang sampai kami paham dan hafal. Latihan selanjutnya adalah harmonisasi gerakan dengan iringan musik. 

“Awalnya susah, takut gak bisa nari. Tapi setelah proses latihan, ya lumayan seneng,” kata Sriyatun, peserta asal Surabaya. 

Di tengah latihan, kami saling mengingatkan agar selalu hening, tetap sadar akan nafas dan kasih Gusti. Ari Mukti mengajarkan gerakan-gerakan tarian Remo dengan penuh kesabaran. Saya pun menertawakan diri sendiri yang masih sulit dalam mengikuti gerakan yang sebetulnya mudah, tubuh terasa kaku layaknya robot. Saya terkesan kepada Mudhar, kader asal Surabaya, ternyata gerakannya bisa luwes dan energik meskipun baru kali ini berlatih. Ya begitulah, Pusaka Indonesia ini sebetulnya menyimpan banyak bakat terpendam, yang akan muncul dengan sendirinya ketika berendah hati dan membuka diri untuk berlatih. Bukan tanpa tantangan, tapi sungguh-sungguh berlatih dalam keheningan dan sukacita. 

Latihan terhenti ketika hujan mulai turun. Kami memanfaatkannya untuk beristirahat sejenak sambil berefleksi tentang gerakan-gerakan yang tadi sudah dipelajari. Meski latihan pindah ke dalam rumah, namun semangat kami masih berkobar. Beberapa gerakan yang tadinya masih terlihat kaku dan susah, berangsur-angsur sudah mulai terbentuk dan serasi. Sang pelatih mengakhiri latihan dengan canda bahwa yang kami pelajari hari ini baru setengahnya, menyadarkan kami bahwa masih ada banyak gerakan yang dipelajari setelah ini.

Kursus tari di Pusaka Indonesia ini membawa manfaat yang besar karena tidak hanya kami merasa mempunyai warisan tari tradisional, namun juga membantu untuk melestarikannya.

 

Yahya Firmansyah

Kader Pusaka Indonesia wilayah Jawa Timur