Bahasa dan Aksara Jawa merupakan salah satu bagian penting dari warisan budaya Indonesia. Dengan kembali mempelajarinya, kita tidak hanya menghargai warisan budaya kita, tetapi juga membuka pintu untuk lebih memahami identitas, sejarah, dan keanekaragaman budaya di Indonesia.
Sudah satu caturwulan sejak bulan Mei 2024 hingga Agustus 2024, Pusaka Indonesia Wilayah Yogyakarta telah konsisten membuka kelas “Nguri-Uri Bahasa dan Aksara Jawa” yang dilaksanakan setiap Kamis pukul 17.00 – 18.00 WIB di Mlati, Kelurahan Sendangadi, Kabupaten Sleman.
Kelas ini diampu oleh Bapak Wakidu, yang pada tahun ini genap berusia 90 tahun dan masih semangat untuk menularkan ilmunya. Pak Wakidu memegang Nomor Induk Kebudayaan Daerah 2.081.2020.683.du1 yang telah ditetapkan pada tanggal 10 September 2020 oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman. Sebanyak 13 orang pendaftar yang terdiri dari anggota Pusaka Indonesia dan masyarakat dengan beragam latar belakang profesi telah mendaftar untuk mengikuti kelas ini.
Iswanto Adi Setya Utomo, peserta umum menyampaikan alasan mengapa tertarik untuk berkomitmen mengikuti program ini, “Karena supaya bahasa daerah kita yang menjadi identitas Indonesia tidak hilang, mbak. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?”
Pak Wakidu menyampaikan hal ini pada pertemuan pertama, “Menulis Aksara Jawa itu tidak boleh putus.” yang beliau analogikan dengan “Andaikata punya cita-cita, jangan sampai putus.”
Tepat sekali ini jadi pengingat bagi Pusaka Yogyakarta yang sedang bercita-cita untuk kembali mengenali dan melestarikan budaya Indonesia melalui kelas ini. Tiga kali pertemuan kami belajar membaca kata-kata sederhana dari buku Piwulang Maca Aksara Jawa (sampul kuning) dan juga mencatat artinya. Pada tanggal 23 Mei 2024, dilakukan gladhén atau semacam evaluasi pembelajaran untuk menulis bebas kata-kata sederhana dengan Aksara Jawa sebanyak yang kami mampu tanpa membuka buku dan catatan.Tak jarang, Pak Wakidu melontarkan guyonan dalam konteks belajar Aksara Jawa untuk mengakhiri kelas seperti, “Pitik siji karo pitik loro, menawi dietung wulune kathah sing pundi?”
Dalam penulisan Aksara Jawa, sandangan swara (bunyi vokal) wulu dipakai untuk melambangkan vokal i dalam satu suku kata. Maka kami pun tertawa karena memang jika dituliskan dengan Aksara Jawa, sandangan wulu lebih banyak ditemukan dalam kata Pitik Siji. Bagi yang hanya tahu bahwa wulu adalah bulu ayam pasti akan menjawab lebih banyak wulu dalam Pitik Loro (Ayam dua).
Selama bulan Juni, kami masih melanjutkan belajar membaca dari buku Piwulang Maca Aksara Jawa. Bulan Juli, kami baru mulai belajar dari Buku Pedoman Penulisan Aksara Jawa (sampul biru) untuk mengenal Aksara Pasangan dan pemakaiannya dalam kata-kata. Pada bulan Agustus, Pak Wakidu mengusulkan agar kami membawa materi cerita pendek sendiri dan belajar mengubahnya menjadi Bahasa Krama (Jawa halus), baru kemudian menuliskannya dengan Aksara Jawa.
Pak Wakidu juga mulai membagi kelas menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang sudah lumayan perkembangannya, maka melanjutkan belajar dari materi cerita pendek; kedua, kelompok yang masih perlu dibimbing intensif oleh Pak Wakidu. Selain dari cerita pendek, kami juga belajar dari foto papan nama kantor dinas dan nama jalan yang kami temui. Ada satu tips lagi dari Pak Wakidu untuk membantu kita mengingat Aksara Jawa yaitu dengan mengelompokkan aksara berdasarkan kemiripan cara penulisan. Beliau juga menyampaikan bahwa tidak jadi masalah dari 8 orang jadi ada 8 cara pengelompokan yang berbeda. Tidak heran juga bila kemudian pada bulan Agustus ini para peserta menuliskan refleksi bahwa pembelajaran semakin menarik dan jadi makin semangat untuk belajar lagi.
Iswanto Adi Setya Utomo juga menyampaikan kesan dan pesannya setelah rutin mengikuti kelas ini, “Sangat membantu saya untuk me-refresh memori tentang Bahasa Jawa yang dulu sudah pernah saya pelajari, dan ternyata Bahasa Jawa keseharian saya sudah banyak yang lupa. Yang jelas bedanya, pembelajaran yang diselenggarakan ini lebih santai, namun pelajarannya tersampaikan.”
Awal bulan September ini, kami juga meminta pendapat dari Ibu Pamberat Rudatin Runtik, S. Sn selaku Ibu Kepala Dukuh sekaligus putri dari Bapak Wakidu yang membuka ruang kolaborasi kepada Pusaka Indonesia sehingga kelas Nguri-uri Bahasa dan Aksara Jawa yang sudah berjalan rutin hingga satu caturwulan dan masih berlanjut hingga sekarang. Beliau menyampaikan, “Saya sangat mengapresiasi apa yang menjadi kegiatan dari komunitas panjenengan, nggih. Artinya semoga ini berkelanjutan, selama Bapak saya masih sugeng, monggo untuk diserap sebanyak-banyaknya dan seoptimal mungkin biar nanti ada generasi yang melanjutkan. Sebenarnya kan dari awal itu Bapak membagi buku Aksara Jawa di trahnya Ibuk, trahnya Bapak, di RT, dibagi. Ning kok Zonk. Akhirnya sekitar tahun 2017 saya menginisiasi biar ada yang melanjutkan Bapak nggih. Saya membuka kelas untuk anak-anak dan umum, ada beberapa yang merespons dan mengikuti. Yang terakhir tahun 2022 hanya tinggal satu orang bertahan dan berhenti karena masuk SMA kegiatannya full di sekolah, jadi yang di sini ditinggalkan dan kemudian vakum. Jadi memang saya berharap dari pihak njenengan bisa berkelanjutan nanti ada yang bisa mewarisi.”
Prapti Alpandi
Kader Pusaka DI Yogyakarta